Kamis, 29 April 2010

DARAH BIRU


DARAH BIRU

Hari kamis (29/04/2010), seperti yang sudah disepakati beberapa hari sebelumnya, saya, Andy, Karina dan Adi berangkat ke Puncak untuk men survey tempat retret tahunan dari Lions Club Bandung Lestari, yakni sebuah wadah dimana kami bergabung dalam aktifitas sosial di luar pekerjaan kami sehari hari. Kami ingin melihat tempat yang telah dibooking untuk awal Juni ini apakah sudah sesuai dengan apa yang kami harapkan.

Karina dan Adi adalah pasangan suami istri yang menyenangkan dan sekaligus unik. Mereka datang dari latar belakang budaya yang berbeda. Namun tampaknya perpaduan ini justru menambah semarak suasana rumah tangga mereka. Adi yang bernama lengkap Raden Jozef Leonardus Soepraptomo Adipoetranto Oetomo Tjokrosoedarmo ini bertemu dengan Karina / Tjoa Huei Ling, kira kira 34 tahun yang silam di PK ( Pemuda Katolik ). Pada saat itu mereka sama sama aktif dalam organisasi kemahasiswaan ini. Saat mereka mulai bertaut hati, tentu saja hubungan ini ditentang oleh kedua belah pihak keluarga. Adi berasal dari keturunan keluarga darah biru dan kedua orang tuanya adalah pendidik. Ibunya, seorang alumnus sekolah puteri Mendut, mengajar di SMP St.Jusuf Bandung. Ayahnya adalah seorang guru di salah satu SMA di Bandung. Sedangkan Ling Ling, demikian ia akrab disapa, berasal dari keturunan etnis tionghoa, cucu seorang saudagar emas yang cukup terpandang saat itu.

Mereka terpaksa berpacaran backstreet selama lima tahun! Saat Adi berkuliah di negeri Belanda, mereka tetap menjalin cinta kasih melalui surat menyurat. Pada saat Adi kembali ke tanah air, konon surat surat tersebut dibawa pulang kembali ketanah air yang kala itu ditimbang beratnya ada dua kilo lebih!

Pada saat dimana orang tua Ling Ling belum merestui, suatu hari bertanyalah kakek Ling Ling kepadanya tentang alamat Adi di Belanda. Tanpa diduga oleh Adi, satu hari ia menerima sepucuk surat dari kakek Ling Ling yang berisikan surat perkenalan kakeknya kepada Adi. Alangkah senangnya Adi pada saat itu. Ia masih menyimpan surat itu sampai saat ini. Ternyata surat itu adalah pertanda lampu hijau bagi hubungan mereka.

Bersamaan dengan itu, kedua orang tua Ling Ling diberi pengertian oleh kakeknya. Sejurus kemudian Pastor Van Dorn yang mengenal baik keluarga Adi, ikut memberi masukan kepada kedua belah keluarga dan sekaligus ikut mendukung pasangan ini. Mulai saat itu, kedua belah pihak keluarga pun saling merestui. Ling Ling menceritakan betapa bahagianya ia saat itu, kala pertama kali Adi secara resmi apel kerumahnya. Kunjungan ini amat mengharukan mereka, karena sebelumnya mereka biasanya bertemu secara diam diam atas pertolongan teman teman melalui kegiatan sosial mereka.

Kini mereka telah hidup rukun selama 29 tahun! Adi tampaknya menjadi menantu kesayangan di keluarga Ling Ling. Mereka telah dikarunia tiga orang putra: Steven, Michael dan Andrew. Tak lama lagi Steven akan segera menikah dengan pilihan hatinya. Ketika anak anak ditanyakan, apa mereka merasa sebagai orang pribumi atau keturunan? Salah satu dari mereka menjawab: ipan-ipan, yang artinya dalam bahasa cina adalah setengah setengah! Kelebihannya, mereka justru bisa merasakan kenyamanan di lingkungan manapun mereka berada.

Rasa keanekaragaman yang tidak dimiliki oleh orang lain ! (Rosiany T.Chandra)

Senin, 26 April 2010

MENGENANG GUS DUR



Pada hari senin tanggal 12 April 2010 Gramedia Pustaka Utama bekerja sama dengan Majelis Jemaat & MY Cinema GKI menyelenggarakan diskusi MENGENANG GUS DUR di gedung Gereja Kristen Indonesia yang berada di Jalan Maulana Yusuf - Bandung. Dalam temu wicara ini, panitia mengundang beberapa nara sumber sebagai pembicara.

Mereka adalah Prof Dr Franz Magnis – Suseno (guru besar Filsafat STF Driyarkara-Jakarta & rohaniawan), Prof Dr Jalaluddin Rakhmat (Cendikiawan Muslim Indonesia) dan Damien Dematra , penulis buku Sejuta Hati Untuk Gus Dur.

Acara ini menjadi unik karena bertempat di Gereja Kristen Indonesia, dimana pembicaranya adalah seorang Romo dari gereja katolik dan seorang aktivis dari cendikiawan muslim. Suasana diramaikan pula oleh penampilan muda mudi dari Universitas Sunan Gunnung Jati dalam acara hiburan yang mempersembahkan lagu lagu yang berirama khasidah. Sepertinya tema yang diusung panitia malam itu : GUS DUR : Pemikiran, Karya dan Masa Depan Kehidupan Keberagamaan Di Indonesia sangat menggema gaungnya di tengah tengah hadirin yang memadati bangku bangku yang tersedia.

Romo Magnis, demikian ia sering disapa, memang seorang sahabat dari alm. Gus Dur. Ia menggambarkan bahwa sosok Gus Dur adalah satu perpaduan antara pribadi yang jujur dan licik. Ditambahkan pula bahwa secara pribadi Gus Dur yang ia kenal adalah seorang yang bicara ceplas ceplos seadanya. Namun dibalik semua itu, Gus Dur adalah seorang tokoh yang amat benci pada segala yang berbentuk fundamentalis. Ia amat terbuka dalam menerima segala perbedaan. Dari beliau pula tema pluralisme yang diusung acara ini menjadi milik keberagaman hadirin yang memenuhi ruangan malam hari itu.

Nilai nilai pluralisme itu sendiri terlihat dari kehadiran pengunjung yang berasal dari berbagai latar belakang suku, agama dan budaya. Lagu bernuansa islami yang bergema di awal dan sesi break acara di dalam gedung gereja menambah suasana kebersamaan dari lintas agama. Terdengar seorang ibu yang memakai jilbab berbisik dengan sesama pengunjung : “Saya baru pertama kali berkunjung ke gereja dan diterima dengan tangan terbuka”.

Boleh dibilang Gus Dur adalah seorang tokoh yang telah mengawali era keterbukaan ini. Kang Jalal, demikian Prof Dr Jalaluddin Rakhmat akrab disapa, menyampaikan bahwa Gus Dur adalah seorang sahabat yang telah merubah pola pikirnya yang tadinya adalah seorang fundamentalis. Ia mengenang banyak pengajaran-pengajaran Gus Dur itu lewat sebuah contoh dan lelucon yang membuat ia tertawa namun berfikir jauh.

Pembicara yang ketiga adalah Damien Dematra, penulis buku Sejuta Hati Untuk Gus Dur. Ia menjelaskan bahwa buku tersebut ditulis hanya dalam tempo waktu satu minggu setelah Gus Dur wafat. Buku ini adalah bentuk ekspresi rasa duka, rasa kecewa dan ‘amarah’ penulis kepada situasi yang ada. Damien mengatakan bahwa sebenarnya ia sedang menyiapkan pembuatan film dokumenter tentang Gus Dur yang seyogianya akan di launch tahun ini. “Keadaan berkata lain”, demikian ungkapnya tentang 'amarah' kekecewaannya.

Acara malam itu adalah gratis dan semua hadirin mendapat paket makan malam yang telah disediakan oleh panitia.Tersedia pula kopi dan teh sebagai pelengkap. Doorprize berupa buku buku dari Gramedia dibagikan kepada yang berhasil menjawab beberapa pertanyaan quiz yang diajukan MC.

Langkah awal tentang nilai pluralisme hidup keberagamaan yang telah dicanangkan oleh Gus Dur sepertinya mendapat wujud yang nyata dalam diskusi malam itu. Semoga sikap ini tak terbatas hanya di dalam ruangan saja, namun melintas jauh dan menempati banyak hati umat beragama di Indonesia.(Rosiany T.Chandra)