Rabu, 24 November 2010

Tangga Aborsi


Ia tetap ada disana
walau terasah masa
menukik tajam ke lembah
curam menerjal batas usia
kokoh merekam detak sejarah

Kembali ku kesana
bertanya pada pohon beringin
sudah kah ia berkisah padamu tentangku?

Mendaki tangga menapak seirama
kita berkisah tentang dunia yang tak senada
Perih tetap terasa..
saat sepakat meniti jalan bersimpang
Genggaman tangan di gagang payung
masih terasa hangat menyentuh jemariku.
Serpih hujan awal November itu
Teriris hatiku menjadi jadi.

Masih kita melempar senyum
Di ujung tangga
Ku berpaling segera
menepis duka yang menghentak
tak tertahankan…

Sambil bergegas kutelan doa
semoga hidup menyapamu ramah

RTC

Tas Kain Perca


Saat ku tiba di sebuah toko batik ternama di kota Yogyakarta, hati ku sudah senang bukan kepalang. Akhir akhir ini aku memang lagi gandrung batik. Selain bahan batik enak dikenakan, rasanya ada kebanggaan tersendiri bila mendapatkan hasil ‘buruan’ desain dan corak warna batik yang cantik. Walau aku tak mengerti arti dari corak batik itu, aku tetap menikmatinya saat aku melumat keindahan aneka motif- motif tersebut dalam aneka corak dan warnanya.

Sore itu aku berhasil mendapatkan tiga helai blus. Harga nya pun tentu jauh lebih murah, sebelum ia memasuki mal ternama di kotaku. Usai berburu batik, Yogya rasanya makin menawan saja. Sebelum aku meninggalkan toko tsb, mataku masih mencari- cari apa yang masih bisa kubeli. Sesaat kemudian, mataku terarah pada tumpukan tas tas yang terbuat dari kain perca batik lawas. Seakan- akan ada kekuatan yang begitu kuat yang memaksaku, agar segera memasukkannya kedalam keranjang tas belanjaan ku. Tas batik ‘compang camping’ yang indah itu membawaku kepada sebuah kenangan..


Dalam ingatan masa kecilku, nenek ku amatlah cantik. Ia berkonde encim dan berkebaya encim pula. Kebayanya ada yang panjang dan ada yang pendek. Konon jika seorang encim memasuki usia tertentu, ia wajib mengganti kebaya pendeknya dengan yang panjang. Sepertinya jika seorang encim ‘memasuki’ usia kebaya panjang, ia telah ‘menjelma’ menjadi seorang yang lebih bijak dan dihormati. Demikian yang diceritakan kepadaku, saat aku masih kanak-kanak.

Sering aku mengagumi dan mengamati motif- motif kerancang bordir yang ada disetiap ujung segitiga kebaya nenekku. Biasanya kebaya si Mak, demikian aku memanggilnya, terbuat dari bahan yang tipis menerawang. Kerancang-kerancang itu menambah indahnya kostum sehari-hari Mak, yang terbordir rapih pada setiap ujung segitiga, kiri dan kanan kebayanya. Sebagai anak kecil, aku tentu belum bisa mengapresiasi keindahan itu. Yang ku ingat, aku sering meraba raba ujung segitiga kebaya Mak dan sesekali memilin milinnya dengan jari jari ku. Ada kedamaian dan keteduhan yang masih kurasakan, tatkala aku mengenangnya kembali kini.

Dibalik kebaya itu, ia memakai kutang jahitannya sendiri yang bertali-tali. Sering aku diminta untuk menyeratkan tali tali tersebut saat ia berdandan memoleskan bedak dingin disekujur leher dan wajahnya usai ia mandi. Bedak dingin yang bunder-bunder putih itu menebarkan semerbak aroma bunga melati.

Ketika terik matahari menampakkan wujudnya, Mak sering mengulen tepung beras menjadi butiran butiran kecil putih. Tak lupa ia bumbuhi dengan melati berkelopak lebat yang baru dipetik dari halaman depan rumahnya. Segera butiran butiran kecil putih yang dibunderkan dengan kedua belah telapak tangannya itu, memenuhi tampah yang menghias tepi sumur di halaman belakang rumah. Siap untuk dikeringkan dibawah sang surya.
Saya dan beberapa sepupu lainnya ikut ikutan membunderkan kelereng kelereng bola beras itu. Seringkali kami mempermainkan bola tepung beras itu ditangan kami yang kotor, sehingga ia menjadi berwarna kehitam-hitaman dan tidak layak guna lagi!

Itulah bedak dingin, dengan nama kerennya kini: foundation. Selain memberi rasa dingin di tubuh, mungkin ada daya tarik sendiri jika seorang ncim berpupur putih tampil dengan kebayanya yang menerawang. Yang pasti aku sangat terpesona dengan acara dandan si Mak.

Sesaat kemudian ia membuka almari bajunya. Banyak tumpukan kain batik yang tersusun rapi, disetiap ambal lemarinya. Diujung sana tampak tumpukan kain kain batik yang berwarna biru putih saja. Dari letak penyimpanannya, kelihatan deretan kain sarung ini jarang dipakai. Tak ada warna lain. Sejenak aku heran.. dan bertanya dalam dialek Minang: ”Mak, mengapa kain kain itu warnanya biru putih se?” Se itu bisa diartikan jeh dalam bahasa cerbon atau semacam dong atau deh dalam betawi. “ Sarong- sarong itu Mak pake, kalau Toa Ha saja”. Aku baru mengerti, rupanya sarung biru putih itu hanya dikenakannya jika ada sanak keluarga yang meninggal, jadi hanya untuk masa berkabung saja.

Sore itu, ia memakai kebaya dengan motif kerancang bunga krisan kuning kecil- kecil. Ada benang kuning yang terbordir diatas kain putih lenan itu. Ia membentuk sekelompok bunga dengan segitiga daun –daun yang mengitarinya. Indah sekali.. Berpadu dengan kain sarung motif kecoklatan, Mak tampak serasi mempesonaku.

Ia sudah lama menjanda. Bahkan aku tak pernah mengenal kakekku dari pihak ibuku ini. Sehari hari, ia menjajakan dari rumah ke rumah barang dagangannya, yakni bumbu rempah kambing, bumbu kue spekoek yang resep racikannya ia dapatkan turun temurun dari leluhurnya. Selain itu, ia menjajakan juga kain kain bahan baju dan kebaya yang ia kulak dari pusat pasar di kota Padang. Sepertinya, memakai istilah jaman sekarang, Mak ku adalah pedagang asong keliling. Jaman itu kan belum ada arisan. Jika ada, mungkin Mak ku bisa jadi disebut sebagai Ibu Arisan.

Mengetuk dari pintu ke pintu. Itulah model dagangan pada masa itu. Hampir semua ibu rumah tangga berada di rumah sepanjang hari. Mereka punya waktu untuk melayani Mak ku yang datang. Dari cerita yang ku cerna sekarang, tentu segala hot news yang terjadi di kota, tak luput pula menjadi bahan pembicaraan antara si pedagang keliling dan si nyonya rumah.

Nah, sore itu usai berdandan, ia siap berkeliling membawa barang dagangannya. Tumpukan kain kain itu, ia letakkan diatas kain segi empat yang dijahit dari berbagai corak batik kain perca. Ujung yang satu, ia simpulkan erat dengan ujung diagonal lainnya. Lantas ujung yang ketiga, ia tautkan dengan ujung keempat. Namun kali ini, tidak ia tarik dengan simpul yang erat. Ia sisakan ruang untuk tempat memasukkan tangan, agar ia bisa mengapit jinjingan itu diantara tangan dan sikutnya.
Kain perca segiempat itu telah menjelma menjadi sebuah tas yang rapih dan berseni. Berbekal sebuah payung bergagang kayu dan beratap kertas, ia siap menapaki jalan jalan di kota Padang. Aku masih ingat, tak lupa ia meneteskan minyak Kolonye di saputangannya. Barangkali, itulah bentuk cipratan parfum masa kini bagi perempuan yang jarang bersaputangan lagi.

Kenangan akan tas kain perca Mak ku ini telah menuntunku untuk segera membeli tas kain perca batik “compang camping”. Ia mampu membawaku sejenak kembali ke pesona tempo dulu dimana keindahan masih bertahta diatas nilai kejujuran semata.(Rosiany T. Chandra)