Kamis, 29 Desember 2011

Pastor ala IL Divo


Keakraban yang terjalin diantara para alumni KEP Paroki St Laurentius - Bandung bukan hanya telah menghangatkan persahabatan antara mereka, melainkan juga telah melahirkan suatu idea kreatif untuk memberikan sesuatu yang unik bagi gereja. Karena itu terbersitlah sebuah rencana untuk menggelar suatu Charity Concert yang mengusung nama Opera van Santa Claus.

Opera van Santa Claus ini telah sukses diselenggarakan di The Venue Hall Eldorado - Bandung pada tanggal 15 Desember yang lalu. Tak kurang dari 1500 karcis habis terjual dari target semula 1000 karcis. Habisnya karcis ini bahkan terjadi beberapa minggu sebelum hari H. Jumlah sebanyak ini sama sekali tak diduga oleh panitia yang seluruhnya berjumlah 84 orang.
Rupanya banyak penonton tergelitik untuk menyaksikan acara yang didukung oleh 250 orang pemain ini, karena mereka secara khusus ingin melihat gaya dan gerak delapan orang pastor yang ikut tampil dalam opera yang diramu dengan kocak dan heboh ini. “ Saya ingin menyaksikan bagaimana beda pedampilan pastor di mimbar dan di
pentas!”, ujar Ibu Linda sambil tergelak-gelak saat ditanya alasannya
ikut menonton.

Memang yang menjadi pelakon utama dengan dialog live ini adalah Pastor Eko Wahju, OSC yang berperan sebagai Santa Claus, sedangkan Pastor Bayu Ajie, Pr adalah dalang dari Opera yang dirancang oleh Project P ini. Ketika banyak umat yang memuji acting Pastor Eko yang jenaka, ia berujar: “ Melalui gaya Poject P yang segar ini, sabda Yesus tetap dikumandangkan dan dimuliakan”. Sedangkan Pastor Bayu yang memang seorang pecinta wayang, telah berhasil memadu kepiawaiannya dalam mendalangi sang Santa dalam berpetualang untuk membagi-bagikan kado kepada berbagai lapisan masyarakat. Selain itu Pastor Budi Wibowo, OSC dengan tak kalah lucu dan imutnya mampu beradu acting dengan Cindy Bernadette yang hadir sebagai bintang tamu, disamping penyanyi Once dan group musik D’Cinnamons.

“ Tiketnya terjangkaulah”, ujar Mario yang mengeluarkan Rp.15.000,-untuk datang menonton tampilan teman-temannya dari PSM Unpar. “Kami sengaja mematok harga tiket VVIP, seharga Rp.250.000,- guna menutupi kesenjangan bagi tiket umum tersebut”, papar Bu Nanoet sebagai ketua panitia. “ Agar lebih banyak orang bisa ikut ambil bagian dalam usaha penggalangan dana demi persiapan pemekaran gereja St. Laurentius”, demikian imbuhnya ketika ditanyakan tujuan diadakannya malam sosial ini.

Selanjutnya di puncak acara, lima orang pastor tampil di pentas dengan koreografi ala gaya panggung Il Divo, sehingga penampilan mereka dengan baju ordo yang khas bernuansa hitam putih merah tersebut telah mengundang tepuk tangan riuh penonton yang mendapati pastor mereka kali ini tampil dengan sensasi yang berbeda. Para pastor dari Ordo Salib Suci ini dengan serius telah berlatih untuk menyuguhkan karya Mozart, die Zauberfloette ke atas panggung.

“Opera Van Santa Claus ini selain sebagai ajang untuk saling
mengeratkan keluarga KEP, juga bertujuan untuk menggugah peran serta OMK, dan berbagai kelompok koor, sekaligus juga keterlibatan para pastor, yang menunjukkan bahwa kepedulian terhadap gereja adalah menjadi tanggung jawab kita bersama”, demikian sampai Pastor Yulius Hirnawan, OSC dari St. Laurentius. (Rosiany T Chandra)

LIONS CLUB INDONESIA


Lions Club adalah sebuah organisasi non-pemerintah terbesar berskala internasional yang berdiri sejak tahun 1917 di Oak Brook, Illinois, USA. Saat itu sejumlah club independen menanggapi secara positif gagasan Melvin Jones – seorang agen perusahaan asuransi, untuk mempersatukan diri mengabdi pada tugas-tugas kemanusiaan tanpa mempersoalkan politik, agama, kebangsaan dan kepentingan pribadi para anggotanya. Lalu terbentuklah sebuah organisasi, tempat dimana berkumpul orang-orang yang dipersatukan oleh semangat kebersamaan tadi dalam memberi dan berdedikasi untuk menolong sesama. Seiiring dengan berjalannya waktu, Lions Club kini telah berkembang menjadi empatpuluhenamribu club dengan jumlah 1,46 juta anggota yang tersebar di 206 negara di dunia.

Lions Club Indonesia lahir pada tanggal 18 November 1969. Kini, kurang lebih tercatat 5500 anggota dari empat distrik yang terdiri dari sejumlah club-club yang tersebar di banyak kota-kota di Indonesia, termasuk kota Bandung.

AKTIFITAS

Di Bandung terdapat sebelas Lions Club, yang dikoordinir oleh seorang ketua wilayah. Hak otonomi yang diberikan kepada setiap club serta kebijaksanaan untuk mengkonsentrasikan kegiatan pada pengabdian yang benar-benar dibutuhkan masyarakat, menyebabkan masing-masing club mempunyai keunikan sendiri-sendiri dalam bentuk pelayanan bakti sosialnya. Salah satu contoh kegiatan dari Lions Club Bandung Lestari yang saat ini sedang dilaksanakan adalah kepedulian pada kebutaan/penglihatan. Para Lions membaktikan dirinya secara sukarela menjaring anak anak SD (dari sekolah yang kondisinya memprihatinkan) dalam pemeriksaan mata gratis, serta menyediakan kacamatanya sekaligus. Selain itu, beberapa club lain mengkhususkan diri pada pembinaan anak asuh, pemberian gizi berupa makanan tambahan pada balita di beberapa posyandu. Kemudian ada club yang memfasilitasi pengumpulan massa untuk pendonoran darah, ataupun pada penghijauan alam serta pengadaan fasilitas MCK serta saluran air bersih.

Disamping kegiatan rutin tersebut, Lions Club juga tanggap mengulurkan bantuan berupa kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan atas bencana alam yang terjadi, seperti pada saat banjir dan gempa yang melanda Indonesia beberapa waktu yang lalu. Untuk menggalang kebersamaan dari beberapa club yang ada di Bandung, dari waktu ke waktu, diadakan pula kegitan pelayanan bersama berupa operasi bibir sumbing, sunatan massal serta pemberian kaki palsu bagi korban bencana/kecelakaan.

MOTTO LIONS

Aktifitas pelayanan yang dilakukan Lions adalah sesuai dengan yang termakna dalam kata LIONS itu sendiri : L= Liberty, I=Intelligence, O=Our Nation’s, S= Safety, yang artinya adalah Untuk Kebebasan, Kecerdasan dan Keselamatan Bangsa dan Negara kita. Dengan memilih motto ‘We Serve’ atau ‘Kami Mengabdi’, kiranya setiap pribadi Lion menjadikan lambang tersebut sebagai simbol kebanggaan dalam setiap pelayanan yang mereka berikan pada masyarakat.

Pada umumnya setiap orang yang mempunyai semangat pelayanan, baik pria ataupun wanita yang memiliki kepribadian yang baik dan reputasi yang terpuji didalam masyarakat dapat menjadi anggota Lions Club. Namun keanggotaan di dalam Lions Club hanya dapat diperoleh berdasarkan undangan/sponsor dari seorang Lions.

Dana yang diperlukan bagi berbagai kegiatan sosial tersebut, dihimpun dari berbagai kreatifitas acara penggalangan dana yang diselenggarakan masing-masing Lions Club, seperti pertandingan charity golf atau acara hiburan lainnya. Dana yang terkumpul di kas sosial akan disalurkan secara aktif dan bertanggung jawab kepada berbagai proyek demi membangun kepentingan umum dalam peran serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan lingkungan tanpa membedakan latar belakang budaya, suku dan golongan.( Rosiany T Chandra)

WULAN, JANGAN MENYERAH!


Pada awalnya saat membaca judul buku "Wulan, Jangan Menyerah," pembaca tentu menduga bahwa Wulan adalah sosok seorang wanita muda dan ceria. Ternyata Wulan yang dimaksud adalah singkatan dari "Warga Usia Lanjut." Buku ini berisi sepuluh kisah nyata dari para WULAN tersebut yang ditulis oleh Ny. M. A. S. Teko, seorang aktifis wanita katolik yang telah sepuh. Sehari sebelum HUT nya yang ke 80, pada tanggal 8 Oktober 2011, telah diadakan acara bedah buku tersebut di Gedung Wanita, Jl. RE Martadinata, Bandung. Bu Teko, demikian ia akrab disapa, adalah ibu tujuh orang putera puteri yang bersuamikan bapak F.X. Teko Sukarmin, seorang pensiunan polisi.

Buku ini ia tulis dengan tujuan untuk memberi nasehat serta memotivasi anak cucu serta menyapa siapa saja, terutama warga usia lanjut, agar dalam perjalanan hidup tetap memiliki tekad untuk berbudi luhur dan jujur sekaligus tidak cepat menyerah. “ Bukan matahari terbit saja yang indah, namun suasana matahari terbenam pun punya gaya dan pesonanya sendiri”, demikian pesan yang disampaikan bu Teko, ketika mengibaratkan peran Wulan dalam siklus hidup alami. Selain itu, Bu Teko juga terinspirasi oleh tulisan Ruslan Abdulgani di sebuah media cetak beberapa tahun yang lalu, yang mengatakan bahwa secara alami, segala ciptaan Tuhan pasti menua, demikian pula daun-daun hijau akan mengering, namun tetap bisa menjadi pupuk yang subur pada akhirnya.

Untuk mengisahkan perjuangan serta produktivitas mereka, Bu Teko yang hingga saat ini masih aktif sebagai direktris dari LPIP (Lembaga Pendidikan Indonesia Perancis), di dalam bukunya bercerita tentang sepuluh pribadi wulan yang layak menjadi contoh agar pedoman hidup : “Aku sanggup- Aku bisa” bisa memotivasi siapa saja agar tetap produktif di usia senja.

Selain masih tetap mengajar public speaking di lembaga pendidikan miliknya, Bu Teko adalah pendamping serta pengasuh para tuna netra dalam mengembangkan kemampuan berkomunikasi serta kepercayaan diri mereka. Selain itu ibu yang fasih berbahasa Belanda dan Inggris ini adalah seorang mantan pembawa acara langganan Pemda kota Bandung bagi tamu-tamu agung dari dalam maupun luar negeri. Kini Bu Teko, umat paroki Hati Tak Bernoda Santa Perawan Maria- Buah batu, Bandung ini juga masih aktif di berbagai organisasi seperti Wanita Katolik, Legio Maria, disamping memberi berbagai pelatihan baik di dalam maupun luar kota. Disamping itu, untuk kebugaran tubuhnya, ia masih bermain tenis serta sesekali masih bertanding dalam suasana persahabatan ke luar kota.

Sepertinya semangat Tidak Cepat Menyerah, Aku Sanggup, Aku bisa, yang tertoreh dalam sepenggal puisi di dalam buku inilah, yang ingin ia bagikan kepada kita semua, khususnya warga lanjut usia.( Rosiany T Chandra)

Pastor Leo Van Beurden, OSC TAK PERNAH DIDOAKAN, TAK PERNAH DIMIMPIKAN


Barangkali kita masih belum lupa, bahwa pada hari Jumat, 29 April 2011 lalu adalah hari perkawinan Pangeran William dengan Kate dari negeri Inggris. Hari itu banyak orang yang nongkrong di depan TV, guna langsung menyaksikan peristiwa bersejarah itu.

Situasi itu pula yang sepertinya terjadi di ruang rekreasi pastoral Gereja Katedral, Bandung. Tak lama kemudian, seseorang menyampaikan pada Pastor Leo, bahwa ada telepon dari negeri Belanda untuknya. Ia pun digiring ke arah arena tempat berkumpulnya tamu- tamu yang ingin menyaksikan “ peristiwa bersejarah” tersebut.
Ternyata yang menelepon adalah walikota Kerkdriel, kota kecil tempat kelahiran Pastor Leo di negeri Belanda. Masih dengan terheran-heran, Pastor Leo menjawab suara dari video call yang ditayangkan Skype melalui layar tancap yang telah dipersiapkan itu. “ Apakah anda bisa melihat saya ? “, terdengar suara dari seberang sana. “ Ya, saya melihat anda, seorang bapak dengan kumis yang terhias rapi! “, demikian gurau Pastor Leo yang memang dari sononya kocak. Hadirin pun gelak tertawa, baik yang ada di Katedral saat itu, maupun yang ada di negeri Belanda, seperti yang tampak jelas di latar belakang layar.

Barisan Kesatriaan

Sejurus berselang, sang walikota mengambil sebuah lencana dan mengarahkannnya ke kamera, sehingga tampak jelas bentuk serta warna lencana tersebut. ”Orde Van Oranje – Nassau memberikan penghargaan ini kepada anda dan sekaligus mengangkat anda sebagai Ridder in de Orde Van Oranje – Nassau”, pesan sang walikota dalam bahasa Belanda. Langsung riuh gemuruh suara tepuk tangan bersamaan terdengar bersamaan, baik dari Katedral, Bandung maupun yang berasal dari sejumlah penonton yang ada di Belanda. Itu adalah kali pertama kali bagi Orde Van Oranje - Nassau, memberikan sebuah penghargaan melalui sebuah tele-conference.
Ini adalah sebuah kejutan luar biasa yang sedikitpun tak pernah mampir dibenaknya. Seperti yang ia ungkapkan kemudian: “ Sama sekali tak pernah di doakan, tak pernah di impikan, tak pernah disangkakan! “

Ridder in de Orde Van Oranje – Nassau artinya adalah Ksatria dari Orde Van Oranje – Nassau. Orde Van Oranje - Nassau adalah keluarga dimana ratu dan raja Belanda berasal. Penghargaan ini diberikan setiap tahun oleh Kerajaan Belanda kepada orang-orang yang dianggap telah berjasa bagi sebuah karya pelayanan di bidang sosial kemasyarakatan. Singkatnya, Pastor Leo Van Beurden resmi masuk dalam barisan ksatriaan dari Orde Van Oranje – Nassau sejak 27 Desember 2010 dengan nomer 10.003604, demikian yang tertera pada serifikat dan lencana yang ia terima secara fisik pada tanggal 19 Juni 2011 di negeri Belanda, langsung dari sang walikota Kerkdriel.

Sebuah Kejutan Bagi Imamat ke Empat Puluh

Semula, kejutan ini akan diberikan sebagai hadiah bagi imamatnya yang ke empatpuluh, pada 27 September tahun lalu. Namun karena berbagai kendala yang dihadapi, terutama tentang status kewarganegaraannya yang sudah WNI, ternyata memakan waktu lebih lama dari perkiraan semula. “Meski demikian, akhirnya berbagai surat rekomendasi yang diperlukan berhasil dikumpulkan oleh berbagai pihak yang sudah membantu, terutama dari seorang rekan sesama OSC di Bandung, yang dikontak oleh Gerard, kakak saya.”, tambah pastor Leo. Usaha itu kemudian membuahkan hasil, ketika Februari 2011, didapatlah sebuah kepastian dari Orde Van Oranje – Nassau.
Sejak itu diaturlah berbagai strategi yang diperlukan, bagaimana mengupayakan pemberian penghargaan tersebut pada tanggal 29 April 2011, mengingat pada tanggal itu Pastor Leo tidak bisa berada di Belanda.

Karya Sosial Kemasyarakatan

“Sebenarnya masih banyak orang lain yang lebih berjasa dan layak menerima penghargaan ini dari saya “ ujar Pastor yang sejak 1971 berkarya di Indonesia ini. “Namun saya bersyukur dan beruntung karena toch, pada akhirnya saya merasa bangga, karena merasa ada yang menghargai pekerjaan saya” , ungkapnya dalam logat Belanda yang kental.
Salah satu yang mendasari keputusan pemberian penghargaan ini adalah, semangat misi pelayanannya yang tak pernah surut di luar negeri, tiga bulan semenjak ia ditahbiskan di negeri kelahirannya. Selain itu, karya sosialnya terutama di bidang pendidikan, koperasi serta pelayanan orang sakit tentu mendapat catatan tertentu dalam keseluruhan penilaian tersebut. Di bidang pendidikan, Pastor yang humoris ini adalah ketua Yayasan Salib Suci sejak Mei 1999 hingga kini. Yayasan ini membawahi enampuluhsembilan sekolah katolik ( tigabelasribu anak) yang tersebar di Jabar, bukan hanya di Bandung, melainkan sampai ke Indramayu, Pamanukan, Ciledug- Cirebon, Jatibarang ( duapuluh enam lokasi) dll. Kecintaan serta totalitasnya pada dunia pendidikan tak perlu diragukan lagi, dimana ia turut serta membangun dalam meletakkan nilai – nilai dasar di sejumlah sekolah katolik tersebut pada awalnya. ” Saya berusaha supaya anak-anak mendapat pendidikan; pertama budi pekerti, kemudian menjadi orang yang cerdas, jujur, berdisiplin, bersih dan cinta sesama manusia”, ungkapnya.
Keprihatinannya pada bidang sosial ekonomi juga tampak dalam karya nyatanya dalam membangun koperasi bagi nelayan di Indramayu, pada masa awal kedatangannya di Indonesia.

Sejurus itu, tanggung jawab sebagai pastor kepala, St. Petrus- Bandung tetap ia lakoni sehari-hari. "Seminggu sekali orang-orang yang merasa lapar dan tidak kebagian berkat yang Tuhan sediakan, ya gelandangan, pemulung, fakir miskin datang ke halaman saya dan diberi makanan. Mereka bisa makan sampai kenyang dan hanya bayar dua ribu rupiah.” ujar pastor yang tak canggung bergaul dengan lapisan masyarakat manapun ini. Menyikapi soal kerukunan antar umat, mantan Vikjend Keuskupan Bandung ( 1988- 1997) ini berkata: “Saya berusaha menjalin hubungan yang baik dengan tokoh-tokoh agama lain dengan mengadakan pertemuan dengan mereka”

Selain mengemban karya pastoral dimana ia ditempatkan, pastor kelahiran 1942 ini, masih sempat menulis tiga buah seri buku ‘How To Enjoy The Holy Bible’ yang sampai kini masih dicetak ulang. Dua buku berisi kumpulan khotbah-khotbahnya juga sudah di terbitkan.
Agaknya semua yang ia kerjakan, telah mendapat perhatian khusus dan menjadi bagian yang penting dari Orde Van Oranje - Nassau, dimana dalam keputusannya memang tak terkait dengan agama tertentu.

“ Saya berterima kasih kepada umat dan Keuskupan Bandung, terlebih-lebih kepada teman se ordo, OSC ( Ordo Salib Suci), yang telah memungkinkan saya bisa berkembang hingga saat ini “, demikian pesannya pada akhir pembicaraan.(Rosiany T. Chandra)

Mau Diusirpun Tetap Nongol



Ketika ayah Nanoet secara pribadi mohon izin kepadanya untuk menikah kembali pada tahun 1997, ia sontak tidak menghalanginya. Hal itu terjadi karena ia tahu persis betapa pahit dan pelik rasa hati itu kala tujuh tahun silam berselang, pernikahannya tidak direstui oleh ayahnya.

Wanita pengusaha sebuah Resto ternama di kota kembang yang bernama lengkap Meyanna Nugroho ini, kembali teringat akan peristiwa pada waktu ia akan menikah dengan tambatan hatinya, Jonni BS Nugroho, yang kini telah menjadi suaminya sejak 25 Desember 1989.
Nanoet, demikian ia sehari-hari disapa, adalah bungsu dari empat bersaudari yang perempuan semuanya. Kendati ayah dan ibu Nanoet beragama islam, Nanoet dan saudari lainnya pernah mengenyam pendidikan di sekolah katolik. Lulus Sekolah Menengah Atas St. Angela pada tahun 1985, Nanoet lalu diterima di fakultas FISIP, jurusan Hubungan Internasional, Universitas Katolik Parahyangan. Ia bertemu Jonni, pada acara Malam Gembira yang diselenggarakan oleh himpunan mahasiswa FISIP. Nanoet tampil sebagai salah satu pengisi acara dalam malam keakraban tersebut; sementara Jonni, adalah ketua kelompok Padhyangan yang melatih acara yang akan ditampilkan. Sejurus kemudian, rupanya
hati mereka saling berpaut, dan sejak 1987 mereka resmi berpacaran.

Backstreet

Ayah Nanoet, seorang dosen dan ketua jurusan di sebuah universitas terpandang di Bandung, tentu saja tak memberi restu atas hubungan mereka itu karena Jonni seorang katolik yang tak seiman dengan Nanoet. Walaupun saat itu Jonni sudah bekerja, Nanoet tetap tidak bisa meyakinkan ayahnya. Ibu Nanoet (almarhum) yang pernah mengenyam pendidikan Belanda, lebih lunak. Tak bisa dihindari, mereka pun pacaran secara backstreet dengan sepengetahuan ibunya. Kini, ibu dari dua putra (Bimo, 20) dan (Adhi 15) itu mengenang bahwa hanya itulah satu-satunya jalan saat itu untuk tetap bisa menjalin kasihnya dengan Jonni. Nanoet dan Jonni tidak pernah berkecil hati atas kurangnya dukungan itu dan tetap memperjuangkan cinta mereka. Sehari-hari Nanoet tetap giat menyelesaikan kuliahnya dan tidak pernah sekalipun menaruh benci pada ayahnya. Sebaliknya, keluarga Jonni, sebuah keluarga katolik yang terpandang di kota Bandung, sejak dari awal tidak pernah menghalangi kehadiran Nanoet.

Pada tahun 1989, saat ia menyusun skripsi, Jonni melamarnya. “Pada saat itu hanya satu hal yang timbul dibenak saya, yakni; saya ingin menikah dengan Jonni!” serunya dengan tekad yang bulat. Sebenarnya Jonni pun siap untuk pindah agama. Namun oleh alasan yang sederhana, yakni masalah pendidikan anak nantinya, akhirnya Nanoet-lah yang pindah agama. “ Saat itu aku mau menjadi katolik, karena ingin menikah dengan Mas Jonni, itu saja alasannya”, akunya dengan jujur danspontan.

Diusir
Diam-diam ia sudah mempersiapkan segala sesuatunya, baik untuk
baptisan maupun untuk hari pernikahannya. Ibunya mengetahui rencananya tersebut, namun tidak bisa berbuat banyak karena tidak ingin menimbulkan amarah ayah Nanoet yang belum mengetahui rencana mereka. Akhirnya menjelang Natal, pada tanggal 21 Desember 1989, Nanoet dibaptis menjadi katolik. Ketika kenyataan ini toch diketahui sang ayah, tak pelak hari itu juga Nanoet diusir oleh ayahnya keluar dari rumah. Padahal itu adalah empat hari menjelang hari pernikahan mereka yang sudah ditetapkan, pada tanggal 25 Desember 1989. “ Biar bapak bilang, aku bukan anak bapak, namun kenyataannya darah bapak mengalir padaku, jadi aku tetap anak bapak”, ratap Nanoet pada saat terpaksa
meninggalkan rumah orang tuanya hampir 22 tahun yang silam.

Satu-satunya tempat ia bisa mengungsi sementara waktu, adalah ke
tempat eyang dari ibu. Sehari menjelang pernikahannya, ia pun
mengalami teror yang tidak menyenangkan dalam upaya menggagalkan rencana pernikahannya. Sekali lagi Nanoet tidak pernah meratapi atau berkecil hati dalam menghadapi semuanya. Ia dan Jonni tetap tegar dan telaten menjalaninya. Hari Natal, tanggal 25 Desember 1989, menjadi moment yang bersejarah saat cinta mereka diikrarkan dalam sakramen perkawinan di gereja Salib Suci- Kemuning. Saat itu adik ibunya dan kakak yang tertua yang menjadi wali Nanoet. “ Yang aku rasakan saat itu adalah sedih dan gembira, yang ku tak tahu mana porsinya yang lebih besar” demikian ujar wanita yang termasuk cantik ini. “Selain itu, perasaan deg-deg dan was-was akan terjadinya sesuatu juga mencekam ku”, tambahnya dengan mimik yang serius. Bahwa, pada akhirnyasemua saudaranya mendukung pernikahan ini, adalah kenyataan yang amat ia syukuri.

Batu ditetesin bolong
“ Layaknya batu kalau di tetesin terus akhirnya juga akan bolong”,
demikian prinsip nya dalam menghadapi ayahnya. “ Biar aku diusir, aku tetap nongol di rumah orang tuaku setelah kami menikah” ujarnya tanpa sedikitpun menyiratkan rasa dendam. “ Kendati aku dan Mas Jonni tidak diajak berbicara oleh ayah, kami tetap hadir dalam acara yang diadakan oleh keluarga seperti tidak terjadi apa-apa”, tambah Nanoet sambil meminum juice di sore yang terik itu.

Sampai suatu ketika, saat ayah Nanoet ingin menikah kembali,
sepeninggal ibunda tercinta pada tahun 1996, Nanoet sama sekali tidak menentang rencana ayahnya. Ia faham betul, bagaimana rasanya menjalani pernikahan yang tak mendapat restu saat itu.

Silaturahmi yang sefihak ini berlanjut terus setelah pernikahan
ayahnya. Rupanya aksi “kuat-kuatan” dari Nanoet ini membuahkan hasil. Sampai pada suatu ketika di malam takbiran di tahun 2000, ayah Nanoet bertanya singkat padanya:” Jonni mana?” “ Suruh kesini”, pinta ayahnya luluh. Bukan main senangnya Nanoet dan Jonni saat itu. Menunggu tiba hari yang berbahagia ini selama sepuluh tahun lamanya, bukanlah waktu yang sebentar. Seiiring dengan berjalannya waktu, hubungan mereka pun mencair dan makin membaik.

Aktif di gereja
Selain mengelola resto miliknya, Nanoet sudah mulai aktif di gereja
sejak 1994. Mantan ketua lingkungan dalam dua periode ini juga mengisi hobbi menyanyinya sebagai pemazmur di parokinya, St.
Laurentius-Bandung. Selain sebagai anggota koor St. Caecelia, ia pun
adalah ketua KEP (2007) serta menjadi tim pemerhati sekolah SD St.
Jusuf I/II. Ternyata ia punya cerita khusus, ketika ditanyakan awal
keterlibatannya yang semula hanya sebagai katolik KTP saja.

Pada tahun 2006, suaminya mengalami patah tulang rusuk dalam
kecelakaan saat mengendarai motor gede. Kondisi Jonni pada saat itu termasuk parah dan ia sempat menerima sakramen perminyakan. Bersama dengan warga lingkungan, Nanoet berdoa serta memohon agar suaminya dipulihkan. ”Tuhan, sampai Jonni sembuh, aku terserah Tuhan deh, mau suruh apa saja, aku akan jalani”, demikian janjinya dalam doa. Mujizat pun terjadi, Jonni tidak perlu menjalani operasi yang seyogyanya akan dilaksanakan untuk menghentikan pendarahan yang semula membenam dirongga dadanya.

Pada hari Jumat Agung itu, Jonni pun keluar dari rumah sakit dan
perlahan-lahan segera pulih. Sejak saat itu Nanoet , sesuai janjinya,
ingin berbagi dengan senang hati dalam berbagai bentuk pelayanannya digereja.
Menekuni hidup ini dalam ketelatenan dengan tak menyimpan rasa dendam sedikitpun, telah menolong Nanoet ringan dalam menjalani setiap tapak yang ditempuhnya.(Rosiany T Chandra)

Sabtu, 16 Juli 2011

Prof. Robertus Wahyudi Triweko, Ph.D.


KARYA ILMIAH BAGI MASYARAKAT

Acapkali ia mengawali aktifitasnya di pagi hari dengan mengikuti misa di stasi St Theodorus – Sukawarna, Bandung yang terletak persis di depan rumah tinggalnya. Rumah tinggal Rektor Unpar yang baru terpilih ini, sama sekali tidak menyiratkan kemegahan seperti posisi yang akan diembannya. Bahkan cenderung sederhana namun terasa ramah, sama seperti sikap si tuan rumah yang hangat menyapa.

Hasil rapat seluruh organ yayasan yang terdiri dari Pembina, Pengurus dan Pengawas Yayasan Universitas Katolik Parahyangan pada tanggal 17 Juni 2011 yang lalu, telah menetapkan pria yang santun ini menjadi Rektor Universitas Katolik Parahyangan untuk periode 2011-2015, yang baru akan dilantik Oktober mendatang. Ia adalah Prof. Robertus Wahyudi Triweko, Ph.D.

Triweko, pria kelahiran Karanganyar, Surakarta, limapuluh tujuh tahun yang silam ini berhasil mengungguli dua calon Rektor lainnya, yakni: Dr. Ulber Silalahi dan Dr. Pius Sugeng Prasetyo. Keputusan tersebut didasarkan pada berbagai penilaian, yang dimulai dari sesi wawancara, serangkaian tes hingga presentasi program kerja pada seluruh Civitas Academica yang disaksikan oleh segenap anggota yayasan. Penilaian dari dua konsultan eksternal yang terlibat, juga menjadi dasar keputusan yayasan dalam memilihnya, untuk menggantikan posisi Dr. Cecilia Lauw yang akan segera berakhir.

Guru Besar Hidroteknik

Sejak menyelesaikan program studi Sarjana Teknik Sipil di Fakultas Teknik, Universitas Katolik Parahyangan pada tahun 1980, ia mengajar di almamaternya. Berbagai tugas dan jabatan struktural pun pernah diembannya, antara lain Pembantu Rektor Bidang Administrasi dan Keuangan, Pembantu Rektor Bidang Kerjasama, Ketua Program Magister Teknik Sipil dan Dekan Fakultas Teknik Sipil sampai pada ketika dikukuhkan sebagai Guru Besar Hidroteknik pada bulan Desember tahun 2007.
“Serangkaian pengalaman menjalani proses seleksi bakal calon Rektor Unpar, yang terbuka bagi peminat dari luar kampus Unpar, telah memperkaya saya. Seandainya saya tak terpilihpun, proses pemilihan ini sudah menjadi sebuah pembelajaran yang tak ternilai harganya”, paparnya dengan mimik tulus, yang mencerminkan kerendah hatiannya.

Keterlibatan Di Area Publik dan Swasta

Seperti yang ada dalam pemaparan rencana visi dan misi arah program kerja yang sudah ia presentasikan, ia melihat beberapa pemahaman tentang permasalahan yang dihadapi Unpar saat ini. Pemahaman tersebut tertuang dalam dua butir keprihatinan yang akan menjadi basis penataan program kerjanya mendatang. “ Pertama, saya melihat semangat kerja adalah kunci utama yang perlu dibangkitkan dari sebuah sumber daya manusia”, sampainya dengan sorot mata optimis. “Dengan semangat itu pula, dedikasi yang diiringi dengan konsolidasi dalam rangka transformasi ini, akan menghasilkan semangat kebersamaan”, demikian tambah suami dari Cresentia Triweko.

Lebih lanjut ia berharap, agar melalui kebersamaan ini, nilai nilai dasar yang sudah ditanamkan oleh para pendiri Unpar bisa digali, disegarkan dan dirumuskan kembali. Sejurus itu, ia memaparkan bahwa, program pelatihan kepemimpinan, lokakarya teknik pengajaran, pertemuan ilmiah dsb nya, diharapkan mampu meningkatkan kualitas serta kepercayaan diri para dosen yang tetap adalah tulang punggung sebuah Universitas. Jalinan kerjasama Unpar dengan beberapa univeristas di luar negeri akan memfasilitasi pilihan studi lanjut para dosen untuk program doktoral, yang menjadi syarat utama bagi posisi dosen tetap.

“Kedua, terkait dengan pengembangan Unpar ke depan, perlu dilakukan penataan sistem di tubuh Unpar, agar visi dan misi Unpar lebih menggema” ujar Triweko. Dewasa ini, belum banyak kontribusi nyata dari Universitas di Indonesia pada umumnya kepada pembangunan bangsa. Salah satu misi Unpar yang ingin diwujudkannya adalah, realisasi pengkajian ilmiah serta penerbitan karya dan jurnal ilmiah bagi kepentingan publik/lembaga pemerintah.

Triweko antusias, melalui karya ilmiah tersebut, keterlibatan karya dosen dan mahasiswa di masyarakat dapat memberi manfaat secara langsung kepada yang membutuhkan. Dengan demikian, peran serta Univeristas secara aktif dalam membangun masyarakat dan bangsa akan menjadi nyata, sesuai visi Unpar yang berbunyi : ‘Menjadi Komunitas Akademik Beriman Yang Mengembangkan Potensi Lokal Pada Tataran Internasional Demi Peningkatan Martabat Manusia.’
“ Keterlibatan Universitas Katolik Parahyangan di area publik dan di area swasta yang belum terbangun, akan dibina di waktu mendatang”, janjinya dengan optimis.

Ketika disinggung tentang Fakultas Teknik Arsitektur yang disebut-sebut sebagai yang terbaik di Unpar, ia mengatakan bahwa sebenarnya di Unpar tak ada istilah fakultas favorit. Masyarakatlah yang telah memberi penilaian tersebut. Sedangkan Fakultas Filsafat yang di masa lalu identik dengan fakultas para calon imam, ia berkomentar : “Sudah beberapa tahun ini, Fakultas Filsafat mengembangkan program studi Filsafat Budaya yang terbuka bagi awam/non katolik, sehingga cap yang diberikan kepada fakultas tersebut, tak sepenuhnya benar lagi”, tandas ayah dari tiga orang puteri ini.

Menanggapi tentang sempat timbul atau sekurangnya ketidakharmonisan di masa lalu antara pihak rektorat dengan yayasan, Triweko berpendapat :”Kuncinya adalah hal komunikasi. Layaknya dalam sebuah keluarga besar, seiring dengan komunikasi yang terbuka, produktifitas akan meningkat”. Ia tidak menampik ketika dikatakan Unpar adalah sebuah universitas katolik yang tidak terlalu membawa bendera katolik. Namun Triweko beraspirasi: “Kendati di ruangan ruangan tidak ada salib, semangat katolisitas itu tidak hanya ditampilkan dalam wujud simbol-simbol saja, namun lebih pada perilaku dan sikap yang mencerminkan kekatolikan itu sendiri”. “ “Selain itu, hal tersebut adalah warisan dari para pendiri, yang pada dasarnya ingin memberikan proses pembelajaran bagi setiap orang, tanpa membedakan agama tertentu”, ujarnya dengan bijaksana.

Mengggereja

Triweko, yang punya hobbi fotografi dan penikmat wisata alam ini, tampak bugar dan sangat bersahaja dalam bertutur kata. Setiap kalimat yang diucapkannya selalu didasari data detail yang cermat, menandakan sikap ketelitiannya. Mewarnai kesibukannya di Unpar, beberapa tahun yang lalu, ia masih sempat menjabat sebagai ketua Stasi St. Theodorus, Paroki Pandu, Bandung selama dua periode. “Sampai saat ini ia masih menjadi wakil ketua PGAK Stasi dan masih sempat menghadiri pertemuan lingkungan”, demikan sampai Pak Suraji, mantan ketua lingkungannya.

“ Pak Triweko, adalah seorang yang ulet, teliti serta teguh memegang visi dan misi Unpar. Ia juga seorang yang humanis serta memiliki kemampuan dokumentasi yang bagus”, kesan Pak Hubertus, dosen di Unpar, sekaligus umat satu lingkungan.

Menyikapi kemungkinan adanya potensi lokal yang bisa dijadikan sumber hal yang positif bagi dunia pendidikan di luar negeri, ia berfilosofi: ”Ketika kita ingin tumbuh sebagai pohon yang besar, kita harus berakar di tempat itu dulu, agar tak mudah roboh”.(Rosiany T Chandra)

BERITA HILANG YANG HEBOH




Siang hari Selasa itu (14/6/2011), seorang ibu mendadak menelepon saya. Karena panggilan tsb tak terangkat oleh saya, melalui seseorang, sampailah berita itu kepada saya juga, dalam rupa sebuah pesan singkat di telpon genggam saya, yang berbunyi : “ Bruce hilang di Dago Pakar. Sampai sore ini Pastor Rob masih sedang mencarinya.”

Saya amat terkejut membaca pesan singkat tsb. Yang terlintas di benak saya pada saat itu, kog bisa ya, Bruce hilang pada hari selasa itu. Setahu saya, Pst Rob, Bruce dan saya suka menapaki bukit dago pakar pada hari Sabtu pagi. Lalu untuk mencari tahu berita yang jelas, saya pun segera menelepon Pst Rob. Beliau mengangkatnya dan mengatakan tadi pagi bersama Bruce dan dua orang teman, jalan ke dago pakar naik angkot. Saat itu sudah mendekati pkl 14.00 siang. Mereka sudah mencarinya sejak pagi.
Ketika pada saat kejadian, Bruce yang seperti biasanya bebas berlarian, lari turun ke bawah jurang saat melihat seekor kera dan lari ingin mengejarnya. Pada saat itu, kemungkinan karena asyik berlari dan mengejar, ia kehilangan arah dan kemudian terjebak dalam sebuah palung di dasar jurang. Ia tak bisa membebaskan diri dari situasi tsb.

Saat itu Pst Rob (72 tahun!), dengan dibantu oleh beberapa tukang Ojek, turun menyusuri jurang, sambil memanggil-manggil Bruce. Awalnya suara gonggongnya masih terdengar, namun perlahan suara gonggongnya mulai samar dan akhirnya tak terdengar sama sekali. Mereka tak bisa melihat, dimana posisi sebenarnya ia berada saat itu.
Setelah kejadian, Pst Rob baru bercerita, betapa ia hampir terperosot kebawah jurang, ketika untung tepat pada saat itu ia berhasil berpegangan pada ranting atau akar pohon yang ada diantara semak belukar di sisi jurang itu. Bagi anda yang pernah jalan di bukit dago pakar, mungkin mempunyai bayangan betapa curamnya pemandangan kebawah pada sisi jurang, dimana kita biasa jalan di atas jalan setapak itu.

Usai berbicara dengan Pst Rob di telpon, saya termangu sesaat, dan menjadi lebih mencemaskan keadaan beliau daripada keadaan si Bruce sebenarnya. Kendati saya juga ikut menyayangkan hilangnya si Bruce, namun kondisi Pst Rob saat itu yang pasti belum makan siang dan kelelahan sejak pagi mencari lebih mengkuatirkan saya. Untuk menenangkan hati saya, saya menelepon Pst Darno, utk melaporkan hilangnya si Bruce, dan sekaligus sharing kecemasan saya pada beliau. Akhirnya Pst Darno mengatakan sambil menenangkan, bahwa kalau Bruce sampai tak diketemukan, sudahlah… nanti cari anjing baru lagi.

Sesaat kemudian, saya menelepon balik Pst Rob, ingin menyampaikan agar ia mengakhiri saja pencarian tsb demi keselamatan Pst Rob sendiri. Namun telepon tak bisa dihubungi lagi. Rupa rupanya, kemudian hari Pst Rob mengatakan bahwa batere telponnya habis.

Berbagai pikiran melintas di benak saya pada saat saya tak berhasil menghubungi beliau lagi. Sedikit ada penyesalan pada saya, karena memang sudah beberapa minggu itu, saya tidak bisa mengajak Pst Rob dan Bruce untuk jalan di dago pakar karena berbagai kesibukan saya. Seandainya saya menyempatkannya, tentu mereka tak harus naik angkot untuk ke dago pakar dan mungkin kehilangan Bruce tak akan terjadi. Berandai…andai.. sambil perasaan saya tetap kuatir, harap cemas dan sedih juga sekaligus tak kan ketemu Bruce lagi, si anjing biara saleh yang setia menemani kami berjalan di dago pakar.

Dalam pada itu, saya masukkan berita kehilangan ini di grup BB Pandu. Wah.. respons nya macam-macam, antara lain ada yang prihatin, cemas, sedih dsb. Tapi banyak yang ikut mendoakan juga bagi keselamatan anjing dan majikannya. Bahkan ada yang menanyakan, yang hilang pst Rob atau si Bruce! Ha ha ha….
Akhirnya, malam itu datang juga berita dari Pst Rob ke telepon saya, yang mengatakan bahwa, Bruce tidak ditemukan. Namun, kata Pst Rob, ia meninggalkan nomer telponnya pada tukang ojek yang ikut mencari tadi. Siapa tau, jika mereka menemukan , bisa menghubungi dia. Yah.. saya ikut sedih juga, namun di sisi lain bergembira bahwa Pst Rob telah pulang ke Pandu dalam keadaan sehat walafiat.

Hanya lima menit berselang, berdering telpon saya lagi. Suara Pst Rob di seberang sana yang dengan lantang mengatakan : “ Bruce sudah ditemukan oleh tukang ojeg! “. Wah.. saya senang bukan kepalang. Sontak, saya menjerit dan loncat gembira sambil tetap menggenggam telpon. Anak saya, sambil kaget bertanya ada apa. Ha ha ha. Tanpa basa basi, saya pun menawarkan Pst Rob, agar esok pagi kita segera menjemput sang anjing biara.

Singkat cerita, esok subuh saya segera meluncur ke Pandu sambil menyetir Innova saya, yang sudah saya tatakin kertas koran yang banyak di bagian belakangnya, tempat bagi Bruce. Di dago pakar, kita bertemu dengan bapak tukang ojeg dan kemudian menghampiri rumahnya. Kami melewati track baru yang indah sekali pemandanganya.

Akhirnya terjadilah juga perjumpaan yang mengharukan itu.. Bruce berlari ke arah kami, seperti yang terjadi di film film yang mengisahkan pertemuan yang mengharukan…hix….hix…..guk…guk… Ia menggoyang-goyangkan ekornya.. Terima kasih ya untuk semua pendoa di grup BB hari itu yang dengan tulus sudah mendoakan.

Di akhir pertemuan, pak Ojek berkata: “ Tadi malam usai ditemukan, kami gendong ia naik ojeg ke rumah, kami beri dia minum air, namun dia tidak mau. Tapi ketika diberi susu, ia baru mau. Lantas kami beri ia nasi, ia juga ga mau makan. Namun ketika kami beri ia sosis, ia lahap sekali!”
Nah loh!! Mentang –mentang anjing nya orang londo, emoh makanan lokal ya. Ha ha ha ha ha……..

Inilah sepenggal kisah dari biara Pandu..(Rosiany T Chandra)

PENGHARGAAN BAGI KETUA LINGKUNGAN/WILAYAH




Dewan Pastoral Keuskupan Bandung memulai safari Konferensi Ketua Wilayah/Lingkungan se Keuskupan Bandung ini dari Wilayah Palem Suci ( Pandu, Lembang, Sukajadi, Cimahi). Dan yang menjadi tuan rumah pada acara yang diadakan pada hari Rabu, libur Nasional (29/6) tersebut adalah Paroki Pandu.

Acara di pagi hari yang dihadiri oleh seluruh ketua wilayah dan ketua lingkungan( kurang lebih 178 peserta) di wilayah Palem Suci ini, diawali dengan ibadat pagi yang kemudian ditutup dengan menyanyikan lagu mars Komunitas Basis.
“Konferensi ini bukanlah semua seminar atau ceramah, tetapi merupakan sebuah ajang bagi kita untuk bekerja bersama-sama, saling berbicara, serta bertukar fikiran”, ujar Vikjend Romo Wirasmohadi Suryo, Pr dalam sambutannya mewakili Administrator Apostolik Keuskupan Bandung, Mgr Ignatius Suharyo yang berhalangan hadir. Kemudian ia menambahkan pula bahwa, pertemuan ini diadakan sebagai bentuk penghargaan bagi seluruh ketua wilayah dan ketua lingkungan, sebagai gembala kelompok terkecil dari Dewan Keuskupan. Sambutan berikutnya adalah dari Pastor T. Warhadi, OSC yang mewakili Pandu dan Bapak Rukiyat dari Dewan Keuskupan Bandung.

Seperti kita ketahui, tema pastoral Keuskupan Bandung 2011 adalah Komunitas Basis. Untuk lebih menghayati tema pastoral ini, Dewan Keuskupan Bandung telah mengundang Romo Dr. Andang Binawan, SJ untuk membekali para pengurus wilayah/lingkungan.
“Lingkungan diharapkan dapat menjadi sebuah komunitas basis yang bukan hanya sekedar satu persekutuan doa.” sampai Romo Andang. ” Untuk itu sebuah pola kepemimpinan yang partisipatif di lingkungan ikut memainkan peran penting dalam mendukung Komunitas Basis yang dicanangkan ini” tambah Dokor Filsafat ini menjelaskan. Lebih jauh ia menandaskan bahwa, kepemimpinan yang partisipatif itu laksana menggiring air dengan cinta, yang mengibaratkan paroki dengan lingkungannya adalah sebuah struktur paguyuban umat beriman sebagai tubuh mistik Kristus..

“ Dari fata fakta yang ada di kota besar, tak dipungkiri bahwa keterikatan emosional umat pada paroki tertorial cenderung menurun, yang mengakibatkan umat sulit diajak terlibat baik dalam kegiatan maupun kepengurusan lingkungan”, ujar Romo Andang yang menjadi pengajar di STF Driyarkara. Selain itu ia memaparkan bahwa agama semakin tersingkir seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Untuk mengantisipasinya, pengurus lingkungan diharapkan mampu mengembangkan kreatifitas dalam mengolah kegiatan di lingkungannya agar menjadi sebuah kebutuhan umat. Dengan demikian partisipasi umat bisa digugah melalui kebutuhan tersebut. Dalam hal ini fungsi teknologi bisa dimanfaatkan sebagai media penyebar informasi.
“Seperti seorang gembala yang mengenal baik domba-dombanya, demikian juga halnya dengan seorang pengurus lingkungan wajib memiliki kepekaan serta pengatahuan akan data data umatnya” pesan Romo Andang. “Dengan demikian gaya berpastoral yang berbasis data akan menjadi kenyataan” tambahnya kemudian.

Sesi tanya jawab yang dipandu oleh moderator Bapak Endang (Ketua Komisi Kateketik Keuskupan Bandung) mendapat respons baik dari hadirin yang memenuhi Aula atas Pandu itu. Acara yang dihadiri Pastor Yulius, OSC (St. Laurentius), Pst Widyasuhardjo, OSC ( St Ignatius- Cimahi) ini tak terasa bergulir hingga pkl.13.00.

Rangkaian acara selanjutnya adalah pembagian sertifikat penghargaan yang ditanda tangani oleh Uskup Agung KAJ, Mgr Ignatius Suharyo, selaku Administrator Apostolik Keuskupan Bandung kepada masing-masing ketua lingkungan yang diterima oleh masing-masing pastor paroki. Acara sepanjang pagi hingga siang hari itu dipandu oleh MC, Ibu Endah Sulistyawati yang menyemarakkan acara dengan selingan berbagai kuis, games plus hadiah menarik lainnya. Peserta merasa segar terus hingga akhir acara yang ditutup dengan sesi foto bersama serta ramah tamah dengan seluruh partisipan yang hadir.(Rosiany T Chandra)

KOMUNIKASI Agustus 2011

PESTA NEGERI PELANGI


Dalam menyambut liburan sekolah, sekurangnya limarustigapuluh anak usia sekolah berkumpul dan bermain bersama di hamparan rumput halaman depan Panti Asuhan Desa Putera (milik KAJ) di Srengseng Sawah, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, pada hari Minggu, tanggal 3 juli 2011. Keceriaan anak –anak ini dikemas oleh segenap anggota komunitas Sant’ Egidio dalam sebuah acara yang diberi nama: ‘Pesta Negeri Pelangi’.

“Negeri Pelangi melambangkan dunia masa depan, dimana kita berusaha untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan manusiawi, dunia yang lebih bersolidaritas serta dunia yang mencintai bumi, ekologi & alam seisinya”, demikian ujar Yolanda Octavia sebagai ketua panitia Pesta Negeri Pelangi 2011.

Pesta ini didukung oleh kurang lebih seratus duapuluhlima anggota komunitas serta relawan, dengan menyajikan rangkaian stand stand permainan bagi anak-anak dan remaja, yang bercirikan nilai perdamaian, solidaritas, saling menghormati serta perlindungan terhadap alam. Selain itu komunitas Sant’ Egidio juga ingin mengajarkan anak- anak tentang nilai persahabatan dengan sesama, baik itu terhadap yang lebih tua, lebih muda maupun sebaya tanpa mempersoalkan berbagai perbedaan latar belakang, ras dan budaya. Sejurus dengan itu, undangan pun disebar ke berbagai panti asuhan dan sekolah dari berbagai yayasan agama/non agama dari mulai Jakarta hingga Bandung, Rangkasbitung, Serang dan Cibubur.

Anak –anak berbaur gembira menikmati aneka permainan tanpa memperdulikan teriknya sinar mentari pagi hingga siang hari itu, sama seperti mereka pun tak mempersoalkan dari sekolah atau panti asuhan mana mereka berasal. Selain mendapatkan sebuah tas yang berisi kaos, topi serta air mineral, anak- anak mendapatkan berbagai snack serta paket makan siang yang dinikmati bersama dengan seluruh peserta baik pembina, volunteer dan segenap anggota komunitas Sant’ Egidio.

Kehadiran Pastor Francesco Marini SX, Romo Agus Riyanto, MSF (Pastor Kepala Paroki Ratu Rosari Jaga Karsa), Br Tarcisius, BM (direktur PA Desa Putera) serta bruder bruder dari Budi Mulia turut memeriahkan Pesta Negeri Pelangi. (Rosiany T Chandra)

Telah dimuat di majalah HIDUP Nr 29 ( 17 Juli 2011)

DEKLARASI KEGEMBIRAAN KAUM MUDA


“Saya menyadari bahwa hidup saya adalah sebuah kegembiraan. Saya mencari Rahmat dalam setiap keadaan karena diperbaharui oleh hubungan kreatif saya dengan semesta alam, dengan gagah berani saya menempuh kehidupan saya dengan kegembiraan, kebaikan, keindahan, dan kegembiraan yang semakin bertambah. Karena saya hidup dalam kegembiraan saat demi saat. Saya merupakan berkah bagi semua orang yang saya kenal, semua yang saya dukung, dan semua yang saya kasihi. Saya melihat dunia saya melalui kacamata kegembiraan dan saya menjadi ceria, dilindungi, dan dikasihi seutuhnya.”

Berbagai rangkaian acara dalam menyambut Bandung Diocese Youth Day 2011 (BDYD), sebenarnya sudah terdengar gaungnya sejak diadakannya perlombaan Futsal pada bulan April yang lalu. Namun puncak acara Hari Kaum Muda Keuskupan Bandung ini betul betul terasa gemanya pada hari Sabtu, 2 Juli 2011 di GOR Pajajaran, Bandung. Segenap kaum muda Katolik berkumpul bersama untuk sebuah acara yang dikemas dengan tema : “Orang Muda Peduli Budaya”.

“ Diharapkan melalui BDYD ini, keprihatinan terhadap kemerosotan nilai moral kaum muda bisa dibangkitkan kembali. Selain itu wujud figur yang bisa diteladani kaum muda sekiranya dapat ditampilkan pula, ditengah merebaknya berbagai pergeseran nilai figur mana yang pantas diidolakan, terkait banyak berita miring seputar tokoh tokoh yang banyak diberitakan di mass media akhir- akhir ini”, demikian ungkap Pastor Antonius Haryanto, Pr sebagai ketua Komisi Kepemudaan Keuskupan Bandung, penggagas acara temu anak muda ini. “ Temu acara ini menunjukkan pula bahwa Gereja peduli pada orang muda”, tambah Pastor Haryanto.

Perayaan Kaum Muda ini dibuka dengan misa yang dipimpin oleh Administrator Apostolik Keuskupan Bandung, Mgr Ignatius Suharyo sebagai selebran yang didampingi konselebran, Pastor Dwi Harsanto, Pr (Sekr. Eksekutif Komisi Kepemudaan KWI) dan Pastor Antonius Haryanto, Pr serta beberapa konselebran lainnya.
Dalam homilinya, Bapa Uskup mengutip injil I Timotius 4:12 yang berbunyi: Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu.

Menanggapi ayat itu, Bapa Uskup mengajak kaum muda agar dalam semangat antusiasme, memberi bentuk pada budaya kehidupan serta mempunyai kerinduan untuk mewujudkan daya kehidupan itu sendiri, sesuai makna antusiasme ( dari kata enteos = dalam Allah). “Semangat tanpa kenal lelah sebagai sumber kegembiraan, dapat terwujud ketika kita hidup di dalam Allah”, demikian Bapa Uskup mengakhiri homili misa petang itu yang kemudian dirangkaikan dengan sebuah Deklarasi Kegembiraan yang disuarakan oleh beberapa kaum muda dengan penuh antusias.

Kurang lebih 2500 kaum muda ambil bagian dalam pentas seni dan budaya seusai misa yang bernuansa inkulturasi. Rangkaian perjumpaan kaum muda yang indah ini selain diisi dengan aneka perlombaan( jingle, vocal group, fotografi serta pentas seni), juga dimeriahkan oleh terselenggaranya lima bidang workshop( liturgi, wirausaha, lingkungan hidup, teater rakyat dan politik) yang telah dilaksanakan beberapa hari sebelum puncak acara.

Hasil dari beberapa workshop ini diharapkan, mampu menjawab berbagai keprihatinan kaum muda dalam mewujudkan mimpi mereka. Disamping itu melalui gerakan ini, antusiasme kaum muda katolik bisa digairahkan serta bisa melahirkan beberapa aspirasi yang berkaitan dengan budaya nilai; agar hasil kreasi budaya ini bisa menjadi andalan bagi berjalannya Komunitas Basis yang bisa menggerakkan paroki mereka masing-masing, sesuai arah tema pastoral Keuskupan Bandung 2011. (Rosiany T Chandra)

Telah dimuat di majalah HIDUP Nr 29( 17 Juli 2011)

Perbaharui Diri Dalam Konvenda VIII


Sekitar limaratus orang perwakilan pengurus serta aktivis yang
tergabung dalam BPK PKK (Badan Pelayanan Keuskupan PembaharuanKarismatik Katolik) berkumpul pada tanggal 17-19 Juni 2011 di Grand Hotel Lembang, Bandung. Mereka adalah para peserta Konvensi DaerahVIII Pembaharuan Karismatik Katolik yang berasal dari tiga keuskupan (Jakarta, Bandung dan Bogor). BPK PKK Keuskupan Bandung kali ini mendapat giliran sebagai tuan rumah penyelenggara Konvenda, kegiatan yang bergulir sekali dalam tiga tahun itu.

Dengan mengusung tema “ Jangan biarkan kerajinanmu kendor, biarlahrohmu bernyala-nyala, dan layanilah Tuhan ( Roma 12:11), seluruh peserta Konvenda diajak untuk melihat kembali perjalanan iman dan karya pelayanan Gerakan Pembaharuan Karismatik Katolik. Tema tadi berusaha menggugah semangat dan kesadaran para peserta bahwa pembaharuan diri para aktivis adalah modal spiritual guna berkecimpung dalam upaya pembaharuan gereja lokal dalam terang dan kuasa Roh Kudus.

Rangkaian acara selama tiga hari ini, diawali dengan misa agung pembukaan oleh Mgr Ignatius Suharyo sebagai selebran utama, didampingi beberapa imam konselebran lainnya. Selanjutnya, acara Konvenda ini diisi dengan adorasi, pujian dan penyembahan (praise & worship), berbagai ceramah, sambung rasa & tukar pikiran, serta lokakarya tentang kurnia dan tantangan Roh Kudus. “Diharapkan rangkaian acara ini dapat menyulut inspirasi untuk menjadikan diri mereka menyala nyala berkat sentuhan & siraman Roh Kudus, hingga siap diutus untuk melayani siapapun, agar
banyak orang semakin bersemangat dan penuh sukacita dalam mengikuti Tuhan kita Yesus Kristus”, demikian papar Moderator BPK PKK Keuskupan Bandung, Pastor Yustinus Hilman Pujiatmoko, Pr.

Selaras dengan topik ceramah, “ Back to Basic” , oleh Bapak Felix Ali Chendra, Pastor Hilman menandaskan bahwa salah satu ciri khas dari pembaharuan Karismatik Katolik adalah karunia Roh Kudus. Karunia ini lah yang harus dipunyai oleh para aktivis di setiap Persekutuan Doa, yang tentu akan mempengaruhi perjalanan PD tersebut. “Apa jadinya bila PD tidak mempunyai karunia, persekutuan itu akan tumpul bahkan mati sebab menjadi suatu komunitas tanpa Roh, tanpa Spirit yang hidup dan
menghidupkan”, ujar Pastor Hilman menambahkan.

Selain ceramah di atas, masih ada ceramah umum II yang bertajuk
"Biarlah Rohmu menyala-nyala” (Pastor Eka Wahyu Djoko Santoso, OSC), ceramah umum III “Duc in Altum”( Bpk Endie Raharja), ceramah umum IV "Empowered Leadership" (Pastor John Bunay, Pr). Untaian ceramah ini disambung beberapa lokarya tentang metode narasi serta pemberdayaan SDM dalam komunikasi, pujian, penyembahan, regenerasi dsbnya. “Rangkaian tema dan kegiatan itu telah dikemas sedemikian rupa untuk memperkaya peserta”, tutur Ibu Susilawaty Surjana, koordinator BPK PKK Keuskupan Bandung.

Ketika ditanyakan bagaimana jalur dan pola pengembangan gerakan
Karismatik Katolik saat ini, Pastor Hilman mengatakan bahwa,
pengembangan di jalur parokial bertumbuh seirama dengan jalur
kategorial, misalnya tumbuhnya PDKK di komunitas mahasiswa,
pengusaha, guru dsbnya. “Semoga lewat Konvenda VIII ini, para pucuk pimpinan maupun basis akar rumput gerakan Karismatik Katolik sungguh memahami aneka karunia Tuhan, agar semakin banyak orang yang diperbaharui dan digerakkan oleh
Roh Kudus sendiri sehingga lebih banyak umat yang terlibat agar Gereja kita semakin hidup dan berbuah bagi banyak orang”, harap Pastor Y.Hilman Pujiatmoko, Pr ( Rosiany T Chandra)

Telah dimuat di majalah HIDUP Nr 27 (3 Juli 2011)

Minggu, 12 Juni 2011

KETIKA HATI SUDAH BERPAUT




Alkisah, hiduplah seekor kuda belang nan elok di sebuah desa di Prambanan yang tak jelas namanya. Sama seperti nasib hidupnya yang tak jelas, demikian pula identitasnya pada saat itu. Sehari –hari ia membantu pekerjaan induk semangnya, yaitu menarik andong, istilah kerennya, delman.

Sama seperti induk semangnya, hidupnya pun dari hari ke hari amat prihatin. Ia sudah cukup bersyukur bila mendapat jatah makan dedak sehari sekali. Menjelang malam, biasanya hanya rumput yang menjadi kudapannya menyongsong hari esok subuh yang akan dimulai dengan rutinitas yang sama, yakni mengangkut penumpang demi beberapa lembar uang ribuan bagi induk semangnya.

Otot punggungnya yang ringkih menanggung beban, tak pernah dihiraukannya. Kompresan air hangat yang diberikan induk semang sedikitpun tak mengurangi reda nyeri otot yang masih amat belia, bahkan cenderung menghilangkan semua bulu surainya yang terurai indah.

Perawakannya tidak gagah. Baru dua setengah tahun usianya. Ototnya pun belum terbentuk sempurna. Namun belang hitam putih yang berbercak di tubuhnya membuatnya tampak ceria dan lucu bak mainan bernyawa. Di bawah terik mentari siang, tubuhnya berkilau bercampur keringat bercucuran, menambah bercak belangnya kian menawan. Ia pun tak sempat merenungi nasibnya. Yang ia ketahui, ayahnya konon adalah seekor kuda balap yang pernah juara. Ia hanya harus pasrah…mengapa nasibnya jauh berbeda dengan sang ayah, yang tak pernah ia kenal apalagi datang menjenguknya.

Satu hari, seorang pemuda, pemilik sebuah stable pacuan kuda di Pangandaran datang berwisata ke Prambanan. Ia amat tertarik dan jatuh hati dengan si belang, saat ia menaiki andong yang di hela oleh si belang. Si pemuda bertanya pada induk semangnya, apa si belang mau di lepas oleh pemiliknya. Walau dengan berat hati si belang meninggalkan induk semangnya, apa mau dikata, ia tak bisa menolak takdir.

Singkat cerita, si belang pun berpindah induk semang dan pindah ke kandang yang lebih lumayan di Pangandaran. Nasib mujur sedikit mulai berubah. Ia mendapat nama Joko Wanalu, identitasnya yang baru sesuai nasibnya yang baru pula. Joko menempati kandang sendiri dengan asupan makanan kuda pacu yang lebih memadai. Joko Wanalu tak perlu bangun pagi pagi lagi untuk menghela andong. Si Joko masih punya waktu di pagi hari untuk menikmati semilirnya angin pantai Pangandaran serta berjemur di bawah teriknya mentari. Kali ini tidak dalam berpeluh basah, namun dalam suasana santai merumput di pagi hari. Oleh pemiliknya, ia dirawat baik, terlebih lagi kasih sayang yang berlimpah.

Oleh sebab ia mantan kuda andong, saat dituntun ia perlu sedikit di tarik bak menarik sapi yang di cocok hidungnya. Ia tak terbiasa berjalan tanpa beban yang harus diangkutnya. Perlahan dengan penuh kesabaran sang pemuda melatihnya dengan penuh kasih dan kesabaran. Hari demi hari berlalu, sebulan kemudian, gizi yang terserap menampakkan hasil. Joko Wanalu menjelma menjadi seekor kuda yang kendati tetap kecil, namun gagah dan berwibawa.

Suatu hari, ia disertakan dalam sebuah pacuan kuda. Tak disangka, keiukutsertaannya yang pertama kali itu membuahkan hasil juara pertama. Tak terkira senangnya ia dan dan sang pemilik Joko Wanalu. Seiring dengan waktu, pengalaman bertandingnya pun bertambah. Juga dalam pertandingan tunggang serasi dan jumping. Satu saat ia dipindahkan oleh pemiliknya ke Bandung.

Joko Wanalu bertambah usianya. Ia mulai tertarik pada lawan jenisnya. Satu hari ia jatuh cinta pada seekor kuda yang imut imut belia, yang bernama Azumi. Azumi adalah seekor kuda yang berwarna abu abu dengan bercak putih. Surainya yang indah tertiup angin amat memikat hati Joko Wanalu. Saat merasa di perhatikan, Azumi pun mulai menebarkan pesonanya, Dengan suara nyaringnya, ia mulai meringkik sambil mengibas-ngibaskan surainya…..dengan harapan pesonanya berbalas. Joko Wanalu mendekati Azumi yang memang sedang birahi. Perlu diketahui, masa birahi kuda betina memang hanya sebulan sekali pada saat ovulasi saja. Dan itu berlangsung satu dua hari saja.

Temaram sinar bulan malam itu menjadi saksi betapa indahnya kasih berpaut antara dua hati. Pemilik Joko Wanalu dan Azumi memang membiarkan itu semua terjadi. Induk semang mereka yang sama, bisa ikut merasakan kebahagiaan mereka.

Saat itu, sang pemuda pun sedang memadu kasih dengan gadisnya. Terinspirasi oleh paduan kasih Joko Wanalu dan Azumi, sang pemuda pun ingin segera meminang sang kekasih dan menikahinya. Sejurus berselang, Azumi mengandung dan sebelas bulan kemudian, lahirlah baby Elena, bayi mungil yang lucu dan menggemaskan. Konon, Elena adalah anak pertama Azumi, walau ia sudah pernah beberapa kali menjalin kasih dengan kuda lain.

Suatu hari, Joko Wanalu menarik hati seorang wisatawan yang sedang bertandang ke kandang. Ia ingin menghadiahkan Joko Wanalu kepada anaknya. Pemuda, pemilik Joko Wanalu yang memang sedang memerlukan biaya bagi pernikahannya, sepakat memberikan si Joko pada penawar baru.

Dengan berat hati Joko Wanalu harus meninggalkan Azumi terkasih dan baby Elena. Apa mau dikata… Hancurlah hati Azumi. Joko Wanalu adalah cinta terbesarnya. Sepeninggal Joko Wanalu, Azumi tidak pernah menebarkan pesonanya lagi pada siapapun. Untuk menghibur hati Azumi, ia pun pernah beberapa kali dijodohkan ke kuda yang lain. Namun perkawinan tak pernah membuahkan hasil. Cinta jiwa raganya sudah berpaut pada Joko Wanalu..

Tak kehilangan akal, pemilik Azumi kembali mencari Joko Wanalu ke kandang lain yang juga terletak di Bandung. Joko Wanalu ditemui dalam keadaan sehat. Hidupnya berkecukupan. Kandangnya indah luas. Makanan berlimpah dan hidup di sayang-sayang. Mantan kuda andong ini tak perlu berpacu lagi. Kini ia menjadi kuda pajangan yang hanya sesekali saja ditunggang oleh anak si pemilik baru. Joko Wanalu mendapat nama baru yang keren : Toblerone, sejurus dengan nasibnya yang berubah.

Namun takdir berkata lain. Tragis, Joko Wanalu ternyata ditemukan dalam keadaan sudah dikebiri…..!!
Hancurlah hati Azumi, jika saja ia mengetahuinya. Menangis darah pun tak ada artinya.( Rosiany T Chandra)

Terlahir dari sebuah kisah nyata
ket Foto : dari atas ke bawah :Elena, Azumi, Joko Wanalu

Sabtu, 14 Mei 2011

Yang Datang Dan Pergi



Pada hari kamis, 20 Januari 2011 di Aula Atas Pandu telah diadakan acara pisah sambut antara pastor dan bruder yang akan meninggalkan kita dengan pastor pastor baru yang akan bertugas di gereja Pandu.
Seperti diketahui, Br. Dwi akan mendapat tugas baru di Keuskupan Agats, Asmat - Papua. Pastor L. Tarpin menyusul pula dengan kepindahannya ke biara Kumara Warabrata di Jl. Sultan Agung, Bandung dengan mengemban tugas baru sebagai magister para frater disana.

Sebagai gantinya, Paroki Santa Perawan Maria Sapta Kedukaan memperoleh dua orang pastor baru dan seorang frater diakon. Mereka adalah Pastor Setevanus Budi Saptono, OSC , Pastor Mateus Antara Juwana, OSC dan Frater Diakon Mammouth KAMDP, OSC.
Empat tahun sudah berlalu, sejak Pastor Tono, demikian panggilan akrab Pastor S. Budi Saptono, pernah melayani di Pandu. Sedangkan Pastor Juwana meninggalkan parokinya di St. Jusuf – Cirebon, menuju Pandu. Yang disebut terakhir, adalah Frater Diakon Mammouth yang mudik ke Indonesia setelah bertugas di Generalat OSC, Roma - Italia selama 13 tahun.

Sore hari itu, acara diawali dengan rangkaian Ibadat Sabda dalam doa dan pujian. Selanjutnya renungan singkat diberikan oleh Bapak A.B.M Witono. Dalam renungan ini kita diingatkan betapa sebuah perhatian yang diberikan kepada seseorang akan berdampak besar pada pribadi orang tsb. Hadirin yang terdiri dari seluruh anggota DPP Pandu/Stasi, koordinator/ketua wilayah, ketua lingkungan, kategorial serta para undangan sekalian diajak untuk peka dalam menebarkan cinta kasih dengan memberikan perhatian kepada orang –orang disekitar kita.

Pembawa acara, Ibu Laurentia Ng mampu menghangatkan suasana malam hari itu dengan penampilannya yang spontan dan segar. Tak lupa ia mendaulat beberapa tokoh umat Pandu untuk tampil mengungkapkan kesan dan pesan mereka tentang Pastor Tarpin dan Br. Dwi. Mereka adalah Bpk Frans Garnaen, Bpk. Triawan dan Bpk. Sucoyo yang mewakili umat di Stasi St. Theodorus.

Terungkap, bahwa Pastor Tarpin dibalik senyum simpul dan suaranya yang menggelegar, ternyata adalah seorang yang penuh disiplin dan tegas. Ia tak segan segan akan menunjukkan raut wajah yang tak puas, jika ada yang tak mentaati soal waktu yang telah disepakati. Disampaikan oleh salah seorang dari mereka, bahwa Br. Dwi adalah seorang pribadi yang hangat dan selalu cepat tanggap akan sesuatu yang perlu segera ditangani.

Selanjutnya, pemberian kenang-kenangan kepada Pastor Tarpin dan Br. Dwi sebagai ungkapan rasa terima kasih umat kepada pelayanan mereka berdua selama di paroki Pandu. Seiiring dengan itu, ucapan selamat datang juga disampaikan kepada pastor Juwana dan pastor Tono, dengan harapan semoga dalam tugas dan pelayanannya nanti sungguh mencerminkan cinta Allah kepada umat paroki Pandu.

Ibadat di tutup dengan doa penutup dan berkat oleh pastor Darno yang sebelumnya diselingi dengan gurauan dan lelucon khas pastor Darno tentang Br. Dwi.
Acara ramah tamah dalam hidangan santap malam yang telah dipersiapkan ibu ibu WK, betul –betul mampu membawa umat ke dalam suasana keramah-tamahan yang terjalin dengan saling bertegur sapa dan bersenda gurau malam itu. Kilatan kamera disana- disini ikut memeriahkan acara penuh kenangan ini.(Rosiany T. Chandra)

Komunitas Sant' Egidio



Komunitas Sant’ Egidio adalah sebuah komunitas kaum awam Katolik yang pada asal mulanya dibentuk di kota Roma- Italia pada tahun 1968, setelah Konsili Vatikan II. Komunitas ini terbentuk pada awalnya, oleh semangat dari lima orang pemuda yang ingin belajar membaca kitab suci serta menghayatinya dalam kehidupan doa mereka sehari-hari.

Gerakan ini dipimpin oleh seorang pemuda, Andrea Riccardi. Dari kegiatan ini, muncullah aksi nyata perwujudan dari apa yang mereka baca, seperti memperhatikan orang-orang miskin dan menderita. Selain doa dan membaca kitab suci, pilar lain yang mendasari kegiatan mereka adalah persahabatan dengan orang miskin serta dialog.

Dengan berjalannya waktu, Sant’Egidio kini sudah hadir di 72 negara di dunia. Di Indonesia, komunitas Sant’ Egidio pertama kali lahir di Padang pada tahun 1990 oleh pendirinya, Maria Felisia. Ia mengenal komunitas ini ketika ia berkunjung ke Roma. Waktu itu ia diajak dan diperkenalkan kepada komunitas ini oleh Romo Heri Kartono, OSC yang saat itu sedang menyelesaikan studinya disana. Dari Padang komunitas ini menyebar ke berbagai kota seperti Pekanbaru, Jakarta, Duri, Yogyakarta, Atambua, Kefamenanu, Kupang, Nias, Medan, Aceh, Denpasar, Semarang, Pontianak, Dumai, Maumere dan pada tahun 2010 di Bandung. Anggota komunitas kebanyakan adalah mahasiswa, orang muda dan dewasa.

Baru- baru ini, pada hari Minggu tanggal 20 Feb 2011, telah diadakan misa syukur dan perayaan HUT Sant’ Egidio sedunia yang ke 43 dan HUT Sant’ Egidio Jakarta yang ke 15, di Aula D, Universitas Katolik Atmajaya Jakarta. Misa dipimpin oleh Mgr AM Sutrisnaatmaka, MSF ( Uskup Palangkaraya), yang didampingi oleh Romo Y Subagyo ( Vikjen Keuskupan Agung Jakarta), Romo Paulus Wirasmohadi Soerjo ( Vikjen Keuskupan Bandung) beserta empat konselebran lainnya. Misa ini dihadiri pula oleh Bapa Uskup Keuskupan Agung Jakarta, Mgr Ignatius Suharyo.

Sampai saat ini komunitas Sant’ Egidio- Jakarta, secara rutin melayani serta menjalin persahabatan dengan anak-anak di Sekolah Damai (Sunter). Ini adalah bentuk pelayanan pertama komunitas Sant’ Egidio Jakarta. Disamping kegiatan belajar, bermain dan bernyanyi, komunitas turut pula memperhatikan kesehatan serta keluarga mereka yang datang dari berbagai latar belakang etnis, agama dan suku budaya. Selain itu komunitas ini memberikan perhatian dan pelayanannya pula kepada lansia pada panti –panti jompo serta anak-anak jalanan yang terpaksa harus tinggal di jalanan Jakarta.

Di Bandung, salah satu kegiatan Sant’ Egidio yang sudah dimulai secara rutin pada setiap hari minggu adalah memberi pelajaran tambahan bagi anak-anak di daerah Jl. Pahlawan. Orang muda yang sudah bergabung kurang lebih 30 orang. Agar semangat ini bisa menjadi ragi diantara kita, mari bergabung bagi yang bersimpati dengan komunitas Sant’ Egidio di Bandung, melalui kontak Sant’ Egidio Bandung, Martina Setyasih/Tyas ( 081392842584)

(Rosiany T. Chandra)dimuat di KOMUNIKASI edisi Maret 2011

Pastor Matheus Antoro Juwono, OSC



Pastor Juwono bertugas di Pandu sejak akhir Januari yang lalu. Banyak dari umat yang belum mengenal Pastor yang murah senyum ini. Mari kita mengenalnya..
Pastor Juwono lahir di Yogyakarta, pada tanggal 25 September 1952. Ia mengenyam masa SD dan SMP di kota kelahirannya. Jenjang pendidikan selanjutnya ia teruskan ke SPG di kota Cimahi pada tahun 1967 dan lulus tiga tahun kemudian pada tahun 1970. Namun selanjutnya ia tak berkarir sebagai guru, tapi memutuskan untuk masuk Seminari Tinggi OSC di Pandu. Pada tahun 1978, ia lulus dari Sekolah Tinggi Filsafat & Teologi.

Masa pastoral, ia jalani di gereja Kristus Raja - Cigugur selama dua tahun, hingga 1979. Pada tahun yang sama, pada tanggal 19 September ia ditahbiskan menjadi imam di gereja St. Petrus-Katedral oleh Uskup Mgr Artnz bersama-sama dengan Pastor Widyo dan Pastor G. Lala.

Usai tahbisan, ia masih berkarya di Cigugur hingga akhir 1981. Kemudian ia ditugaskan beberapa bulan ke St. Mikael, Indramayu dan dilanjutkan kemudian ke gereja Hati Kudus Yesus, Tasikmalaya sebagai pastor paroki hingga 1986.
Pada tahun 1986, untuk beberapa bulan, ia kembali ke kota Bandung dan bertugas di paroki St. Paulus, Moh. Toha. Lantas pada tahun yang sama, ia berangkat dalam On Going Formation, ke Roma dan London selama sembilan bulan.

Sekembalinya, ia bertugas kembali di Cigugur, Subang, Pratista dan di biara Sang Kristus, Jl. Nias.
Pada tahun 1992 hingga 1993, ia berkarya di biara Sultan Agung, membina para frater disana. Pada tahun 1993-1996, ia bertugas di Seminari Menengah Cadas Hikmat.
Selanjutnya pada tahun 1996 hingga akhir 1998, ia menjadi sekretaris Provinsialat OSC di Jl. Nias. Selesai bertugas dibidang administratif, ia kembali melayani umat di paroki St. Jusuf – Cirebon hingga Januari 2011.

Kini pastor yang hobby beli buku Teologi & Filsafat ini, menjadi pastor rekan di gereja Pandu. Dalam suasana bincang- bincang, Pastor yang terkesan pendiam ini mengaku kalau ia tak suka menyanyi. Dari pengalamannya yang pernah bertugas di berbagai kota, ia melihat kenyataan bahwa umat di kota besar cenderung lebih mandiri dari yang di kota kecil. Sebagai imam, ia senantiasa ingin menanamkan iman katolik yang murni bagi setiap umatnya.

Untuk itu, secara sederhana ia ungkapkan pula bahwa Motto hidupnya adalah keinginan untuk menjadi imam yang baik saja.
Ketika ditanyakan, apa pengalaman hidup yang mengesankannya, ia mengatakan bahwa ia menanggapi hidup ini dengan mengalir begitu saja.

Selamat berkarya Romo …( Rosiany T Chandra)

Yang Ketiga Kalinya!



Senja hari, menjelang malam hari Minggu itu, tampak banyak pastor dan umat datang ke biara Pandu. Sebagian besar dari umat tampak membawa makanan dan masuk ke dalam biara seraya mempersiapkan segala sesuatunya mendampingi seksi Rumah Tangga.

Hari minggu itu, tanggal 3 April 2011, pastor Rob Stigter, OSC merayakan hari jarig nya. Siapa yang menyangka bahwa pastor yang masih berperawakan gesit dan lincah ini telah lama merajut usia, sejak saat ia dilahirkan di Den Haag, 72 tahun yang silam!. Ketika ditanyakan, apa resep awet muda dan awet lincahnya, ia mengatakan ;” Cukup menjaga apa yang dimakan dan setia bergerak dan berolahraga”.

Seperti yang sudah kita ketahui, ia memang senantiasa, mau tak mau, berlatih gerak dengan kehadiran Bruce, anjing biara, yang diasuhnya dengan sepenuh hati. Sejak kehadiran Pastor Rob di paroki, Bruce mendapat kasih sayang yang berlimpah. Mereka seiring dan sejalan dalam menuai kehangatan dalam balutan kebersamaan.

Pastor mengatakan, sepanjang yang ia ketahui, ia telah merayakan dua kali ulang tahunnya di Pandu sejak ia bertugas disini. Namun ada kejutan yang telah disampaikan Ceu Uum, pembantu di biara, kepadanya; bahwasanya ini adalah yang ketiga kalinya ia berulang tahun disini. Bagaimana mungkin? Rupa-rupanya, pada tahun 1965, saat ia masih seorang frater, ia pernah merayakan hari ulang tahunnya di Pandu. Ini diceritakan Ceu Uum ketika ia masih ikut orang tuanya yang telah membantu di biara pada tahun 1969. Tentu ini membawa kenangan tersendiri bagi Pastor Rob.

Dekorasi yang tampak unik di dalam biara adalah sebuah janur yang tergantung dengan asri di sebuah pojok ruangan, berisi ucapan selamat ulang tahun bagi pastor Rob. Ide yang kreatif dari Fr. Mammouth ini mampu menyemarakkan suasana hati Pastor Rob dan tamu tamu yang hadir sepanjang hari itu.

Usai menyanyikan lagu ulang tahun dengan speed yang kian di percepat dan meniup kue ulang tahun, tamu tamu yang hadir mempersatukan hati dalam doa syukur yang dipimpin oleh Romo Heri Kartono, OSC yang secara khusus datang dari Jakarta untuk menghadiri pemakaman Pastor Chris Tukiyat, OSC sekaligus bisa meramaikan perayaan jarig Pastor Rob.

Beberapa konfrater yang hadir adalah : Pst. Harimanto, Pst. Samong, Pst. Bekatmo, Pst. Markus, Pst. Tedjo Bawono, Pst. Blessing, Pst. Rutten dll serta tentunya para Romo dari biara Pandu sendiri.
Umat pun membaur dalam rasa dan kata. Sambil merasai kenikmatan santapan, mereka juga merajut kata –kata dengan penuh kehangatan antar sesama yang hadir disitu.

Gelukkige verjaardag Pastor 

Rosiany T Chandra

Stok Lama, Wajah baru



Tentu kita sudah tak asing dengan sosok yang berkumis rapih dan berkacamata minus ini, ketika ia tampil kembali diatas mimbar mengisi misa misa yang ada di Pandu. Dengan artikulasinya yang amat jelas, khotbahnya amat mudah dipahami dan menyapa setiap umat dengan akrab. Penampilannya berbalut percaya diri seakan berada di rumah sendiri. Tak ayal, ia memang ‘besar’ dan tumbuh di Pandu. Setiap pojok dari gereja Pandu dikenalnya dengan baik.

Sejak TK hingga SMP, ia memang bersekolah di sekolah Pandu dan menjadi putera altar semenjak menerima komuni pertama. Praktis pada masa kecilnya ia sering bermain di halaman pastoran dengan teman- temannya. Sejak itulah titian jalan kehidupannya kelak memang tak lepas lagi dari pastoran.

Pastor Setevanus Budi Saptono, OSC, yang kita sapa akrab dengan pastor Tonno kini bertugas kembali di Pandu, semenjak ia meninggalkan Pandu pada tahun 2006 untuk menerima tugas penggembalaan di St Helena – Lippo Karawaci, Tangerang. Ia adalah satu- satunya putera asli Pandu yang kini menjadi seorang biarawan.

Terlahir dari orang tua N. F Sukemi (dari kesatuan AURI) dan Christiana Djumilah (mantan perawat), ia adalah anak ke dua dari tiga bersaudara. Lulus SMP, pada tahun 1985 ia masuk Seminari Menengah Cadas Hikmat. Seiiring dengan itu ia bersekolah di SMA St Maria I di Jl Bengawan, Bandung. Kemudian pada tahun 1988, ia melanjutkan ke Novisiat di Jl Sultan Agung. Bersamanya ada Pastor Rosaryanto, Pastor Anton Subianto, Pastor Hendra Kimawan, Pastor Eka Wahyu, Pastor Tarpin dan Pastor Dedi Andreas, sebagai sesama biarawan OSC. Sejurus dengan itu ia berstatus mahasiswa Filsafat & Teologi Unpar.

Kaul I nya pada tahun 1990, disusul kaul kekal tiga tahun kemudian. Tahun Orientasi Pastoralnya ia selesaikan pada tahun 1992 di Cigugur. Selanjutnya ia menerima tahbisan diakon pada tanggal 26 Juni 1996 dan pada tanggal 4 Desember 1996 ditahbiskan sebagai imam bersama-sama dengan Pst Eka Wahyu dan Pst Dedi Andreas
Sebelum pentahbisannya, ia sudah dipercaya mengemban tugas sebagai Rektor Seminari Menengah Cadas Hikmat. Selain mengajar disitu, ia juga mengajar di ITENAS, STT Telkom dan St Maria sampai tahun 1998.

Tugas parokialnya yang pertama adalah di Agats, Papua, yakni pada tahun 1998 – 2003. Cukup lama juga ia bertugas disini serta mengalami banyak pengalaman hidup yang kelak mematangkan tapak perjalanannya sebagai seorang biarawan. Ketika sekembalinya dari Agats, selain sebagai pastor rekan di Pandu, ia pun aktif di Komsos Keuskupan Bandung, sebagai pemimpin di majalah keuskupan, KOMUNIKASI. Selain itu ia juga adalah salah satu tim dari Tribunal/Pengadilan Gereja Katolik seiiring dengan tugasnya di Pandu hingga 2006.

Pastor Tonno ikut meletakkan dasar-dasar dari paroki St Helena – Lippo Karawaci( paroki ke 58 di KAJ ), yang pada saat ia memulai tugasnya disana pada tahun 2006 masih berstatus sebagai stasi dari St Monika, BSD. Hingga pada awal tahun lalu (2010), ia berangkat ke Manila dalam On Going Formation selama sembilan bulan. Sekembalinya dari Filipina, ia mendapat tugas dari Propinsial untuk kembali ke ‘rumah’nya yang dulu, Pandu.

Ketika ditanyakan tentang pengalaman hidup di Agats, Papua, ia mengatakan: “Kendati tingkat kejenuhannya amat tinggi, Papua tetap menjadi daya tarik yang unik, dimana pada saat yang bersamaan ketika jiwa petualang seseorang itu dibangkitkan, di dalamnya, kita mengalami proses kematangan diri serta menemukan sarana dalam menggali sumber-sumber potensi yang ada, demi sebuah proses pendewasaan”, demikian papar Pastor yang gemar melukis karikatur ini.

Sebagai pastor rekan di Pandu, ia terlibat dalam pembinaan OMK. Ia menaruh simpati terutama pada mahasiswa-mahasiswa pendatang yang banyak tinggal di rumah-rumah kos. Ketika ditanyakan, bagaimana ia melihat Pandu saat ini, sosok stok lama, wajah baru ini mengatakan dengan bangga : “ Bangunan megah tegak berdiri, sebagian besar umat yang ia jumpai masih termasuk stok lama”. “ Model –model kegiatan memang tampil lebih segar dengan “baju baru”nya, namun corak kegiatan masih tetap mengacu pada pedoman yang sama”, demikian tambahnya.

Tentang keberadaan Ruang Adorasi dan Gua Maria, ia mengatakan paroki telah menanggapi baik kebutuhan psikologis umat akan sebuah oase keheningan ditengah-tengah letak gereja yang mau tak mau ikut dalam perkembangan tata letak kota yang kian padat.
Selain berolahraga badminton kegemarannya dan bernyanyi karaoke, pastor Tonno kembali diminta membantu di Tribunal, sebagai komisi kanonis, di Keuskupan Bandung.

MUDA BERKREASI, TUA BER REKREASI, demikian motto hidupnya.

Rosiany T Chandra

Pria Yang Ku Cinta



Masih dengan keringat bercucuran, aku membuka sarung tangan dan topi helmetku. Sinar mentari pagi yang terik membakar wajahku. Namun sepoi angin yang berhembus, sedikit menghalau gerah dan kegalauan hatiku. Aku berjalan ke arah dapur sederhana yang ada di ujung deretan kandang - kandang kuda. Ku seduh secangkir kopi pekat disana. Sambil menunggu air mendidih, mataku memandang ke arah kuda yang baru saja selesai kutunggangi. Aku kembali menghampiri mereka sambil menyuapkan wortel ke mulut si Drago yang dengan rakus melumatnya.

Drago, kuda kedua yang kutunggangi pagi itu. Mereka harus dipanasin setiap harinya , agar stamina dan kelenturannya tetap terjaga. Sambil menyeruput secangkir kopi hitam kesukaanku, aku berjalan menuju ranjang ayunan yang tertambat diantara dua pohon kembar yang berada tak jauh dari deretan kandang kuda. Kurebahkan diriku ke dalamnya. Amat nikmat terasa..

Pikiran ku melayang ke kontak FB tadi malam dengan salah seorang sahabat SMA ku. Heri bercerita bahwa Marcus telah kehilangan istri tercintanya, Vera saat melahirkan sepuluh tahun yang silam. Marcus, Vera, Heri dan yang lainnya adalah sahabat masa kecil ku. Selain akrab di sekolah semenjak SD hingga SMA, kami juga aktif sebagai misdinar di gereja yang letaknya bersebelahan dengan gedung sekolah kami. Vera dan Marcus memang sudah berpacaran sejak kelas I SMA. Usai tugas misa, biasanya kami masih berkumpul di belakang gereja sampai sampai pastor paroki seringkali ikut bergabung juga dalam permainan apa saja yang kami ciptakan bersama. Aku masih ingat, Heri sempat belajar mengemudikan mobil di halaman belakang parkiran gereja dengan komando Marcus yang belum mahir benar mengemudikan mobil ayahnya. Saat Vera dan Marcus menjalani pedekate, kami ikut usil menggoda mereka.

Marcus, sedikit berbeda dengan pemuda lain yang ku kenal saat itu. Ia putih, kurus, sensitif, pendiam namun murah senyum. Jika masa rekoleksi atau retret tiba, Marcus orang yang selalu bertanggung jawab dalam acara beres-beres, memasak dan mengemas segala perlengkapan lainnya. Dandanannya rapi dan selalu wangi. Jari jemarinya panjang dan terawat rapi. Selain itu ia seorang pemuda yang selalu mendengar, apapapun keluhanku. Kami bersahabat dekat waktu itu. Kendati tidak berkata banyak, namun jika sampai pada satu topik yang ia sukai, berjam –jam ia bisa bercerita dari sisi pengamatannya yang khas. Berbeda dengan diriku yang tomboy, cenderung kelelaki-lakian dan suka olahraga berkuda, diam diam aku menaruh hati padanya. Kiranya magnet perbedaan ini mempesona hatiku. Tiap minggu aku makin rajin ke gereja untuk bisa tugas bersama. Aku jatuh cinta padanya.

Dua dasa warsa telah berlalu, namun dalam setiap regukan kopi hangat pagi ini, ia telah menceritakan banyak tentang episode cintaku..
Tidak seorangpun tahu akan rahasia hatiku. Bukan zamannya pada saat itu mengumbar status di jejaring sosial. Kala itu terbersit juga keinginanku untuk menyampaikan padanya. Namun tak umum rasanya, seorang gadis mengutarakan apa yang ia rasakan pada saat itu. Lagipula, ia sudah amat dekat dengan Vera yang ditaksirnya. Bahkan ia sering men sharing kan dengan ku taktik pedekate nya yang tak dihiraukan oleh Vera. “ Karin, tolongin aku dong, bilangin Vera, jangan cuek- cuek amat!”, pinta Marcus kepada ku satu hari. Hatiku kecewa saat itu dan sedih juga sekaligus. Sebagai seorang sahabat yang baik kepada Marcus, tentu aku tak mau merusak pertemanan ini dan tetap menampilkan diriku yang siap menolong Marcus dan Vera.

Setelah mereka jadian, aku masih tetap menikmati kedekatan kami, walaupun dari waktu ke waktu terselip rasa bersalah. Sejurus dengan itu aku juga merasa lelah untuk mengalah. Marcus telah memilih hati dimana ia akan berlabuh. Dari tuturan Marcus maupun Vera, aku mengetahui mereka saling mencintai...

Rasa cinta itu masih kubawa selepas SMA. Tidak banyak yang kutahu lagi semejak kami kami berpisah. Panggilan yang sempat muncul pada saat aku masih SMP, datang lagi. Atas restu ibu bapak ku, aku berangkat ke Surabaya dan masuk salah satu biara disana.
Seiring waktu, aku menikmati suasana kehidupan religius disana. Tanpa kusadari, aku mengalami hal aneh di dalam diriku yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Perasaan ini muncul saat aku bergaul erat dengan salah satu suster disana. Satu hari, ketika tanganku tanpa sengaja bersentuhan dengan jemarinya, ada rasa mendesir yang berkecamuk didalam darahku yang membuatku berani untuk selanjutnya meletakkan jemariku dibalik jubahnya. Rupanya perbuatan tak senonoh ini telah dilaporkan kepada suster kepala biara. Tak pelak, esok harinya aku diminta untuk segera mengundurkan diri. Dengan rasa penyesalan yang mendalam, aku memohon ampun dan meminta maaf atas kejadian yang terjadi. Saat itu juga aku mengundurkan diri dalam rasa terpukul serta malu pada diriku sendiri.

Angin sepoi sepoi masih mengeringkan sisa keringatku di dalam buaian ayunan ini. Sebentar lagi murid-murid ku yang belajar menunggang akan tiba. Sudah hampir delapan tahun, bersama Vic, aku mengelola stable berkuda ini. Aku kembali menekuni hobbyku, sebagai profesi yang ku suka.

Pikiran tentang Marcus masih bermain dibenakku. Aku iba padanya yang telah ditinggal pergi istrinya. Aku masih mereguk tegukan terakhir dari cangkir kopiku. Lamunanku seketika buyar, ketika dari jauh kulihat murid-murid sudah berdatangan menghampiri.
Ketika aku menyiapkan segala sesuatunya, groom ku mengatakan ada seseorang yang ingin menemuiku untuk menanyakan tentang perihal sekolah berkuda ini. Aku berjalan ke arah sosok seseorang yang berperawakan kurus. Ia sedang membelai-belai kuda dan membelakangiku. “ Selamat siang , pak”, sapa ku padanya. Ia membalikkan tubuhnya. Aku amat terperanjat. “ Marcus?” Masih dalam keadaan terperangah…
Sesaat kemudian, kami berhamburan dalam pelukan dan pekikan riang gembira, sembari tak mampu berkata –kata.
“ Kamu ngapain disini?” tanyaku. “ Seseorang mengatakan bahwa tempat berkuda disini, aku bawa anakku yang ingin berkuda” katanya dengan polos.
Sorot matanya masih seperti dulu. Ia masih Marcus yang sensitif dan pendiam. Namun dari bahasa tubuhnya, aku menangkap bahwa ia senang bertemuku kembali. Aku pun demikian.

Vic, dari jauh memanggilku. Suaranya memecahkan keheningan yang terjadi diantara kami. Vic, memang orang yang sudah delapan tahun mendampingiku. My Victoria, wanita yang kucintai. Aku telah memilih hidup bersamanya dan nyaman bersamanya. Kupandangi Marcus sekali lagi sebelum aku beranjak mengajar, dia lah satu –satunya pria yang ku cinta!(Rosiany T Chandra)

Feng Shui Dan Shio



Ada banyak aneka adat istiadat dan budaya di Indonesia. Salah satunya yang mengambil peran di masyarakat kita adalah budaya Tionghoa. Sejauh budaya ini bisa memperkaya iman kita melalui nilai- nilai tradisi luhur yang terkandung di dalam kultur tersebut, tentu tidak akan terjadi benturan antara agama dan tradisi.

Berdasarkan hitungan kalender bulan Cina, sejak tanggal 3 Februari 2011 kita memasuki tahun shio kelinci. Ada 12 jenis binatang yang mewakili 12 shio yang ada. Diantaranya di mulai dengan tikus, kerbau, macan, keilinci, naga, ular, kuda, kambing, kera, ayam, anjing dan babi. Demikian siklus ini berulang lagi setiap duabelas tahun. Bagaimana sikap pandangan gereja katolik terhadap salah satu budaya Tionghoa ini? Juga terhadap adat istiadat Tionghoa lainnya, yang berhubungan dengan Feng Shui, kelahiran, pernikahan, kematian?

Untuk memperjelas semuanya, seksi wilayah dan komunitas alumni KEP paroki Santa Perawan Maria Sapta Kedukaan/Pandu, Bandung mengadakan seminar yang bertajuk ‘Pandangan Gereja Katolik Terhadap Tradisi Tionghoa’ dengan pembicara Romo Yandhie Buntoro, CDD & Bapak E. Christovani pada tanggal 15 Februari 2011 lalu di gereja Pandu.

Dalam uraiannya, baik Romo Yandhie maupun Bapak E. Christovani menyampaikan antara lain bahwa Feng Shui adalah faham tentang relasi antara manusia dengan alam sekitar yang didasari oleh logika ilmu pengetahuan. Jika dalam penerapannya dimanfaatkan guna mencapai keselarasan dengan wahana lingkungan, tentu tidak akan bertentangan dengan ajaran gereja katolik. Kendati demikian, kepercayaan Feng Shui bukanlah bagian dari iman Kristen (1 Samuel 2:7) yang mengajarkan tentang keselamatan yang kekal.

Sedangkan astrologi, ramalan atau percaya pada shio, juga bukan bagian dari iman orang Katolik, melainkan hanya untuk menandai tahun kelahiran saja, sesuai kebiasaan orang Cina zaman dulu yang menyebutkan kedua belas bulan yang ada dengan lambang binatang. Demikian antara lain yang disampaikan oleh Romo yang mahir bermain Pu- Er, sejenis alat musik gesek tradisional Cina ini.

Dalam salah satu sesi tanya jawab, ia menambahkan pula bahwa Feng Shui hanya tambahan wawasan yang tak perlu diimani dan tak bisa disamakan dengan jalan kebenaran dan hidup( Yoh 14 : 6) Rosiany T. Chandra

(dimuat di HIDUP no 14/3 April 2011)

Dari Gereja Di Lampung Hingga Madura




Pukul lima dini hari, Suster perawat Inge baru tiba di asrama keperawatan St Borromeus di Jl Suryakencana, Bandung. Ia baru saja turun dari bis malam, usai berlibur di Yogyakarta. Ia bergegas, karena harus segera dinas di Ruang Operasi RS St Borromeus subuh itu. Tatkala ia meloncati tapak landasan menuju lantai atas berikutnya, ia terpeleset ”Bruk…….!!”

Sesaat kemudian, tubuhnya pun tergeletak di lantai, terbanting dari ketinggian kira-kira enam meter ke bawah. Suara kegaduhan yang ditimbulkan, memecah keheningan dini hari itu. Seorang rekan yang bersamanya, segera berteriak minta tolong dan mengambil tandu dari rumah sakit Borromeus yang terletak di seberang asrama. Tak lama kemudian Suster Inge menjadi pasien rumah sakit ini, tempat dimana ia mengabdikan hampir seluruh usia produktifnya sebagai perawat.

Ia masih ingat betul, hari yang naas itu adalah tanggal 10 Oktober 1977. Selama 7 minggu ia bergelut dengan rasa sakit, setelah mengalami fraktur impressi pada tulang torakal dan lumbal serta servikal dari tulang lehernya. Ketika itu secara sadar ia tidak mau di operasi karena faham akan akibatnya berdasarkan pengalamannya selama tigabelas tahun sebagai suster kepala kamar bedah RS St Borromeus. Kendati sudah dinasehati oleh rekan dokter yang mengobatinya agar menjalani operasi, ia tetap memilih terapi teraksi, yakni sebuah terapi yang mengembalikan posisi tulang seperti semula oleh seorang dokter rehabilitasi medik.

Ditengah pergumulannya dengan rasa sakit dalam masa bedrest , ia berdoa dengan perasaan yang amat sedih. “ Sambil tersedu saya bilang pada Tuhan, ketika saya bekerja di ruang operasi, sering saya menerima pasien sudah dalam keadaan setengah sadar. Ketika pasien belum sadar betul dan tidak mampu mengucapkan terima kasih, saya tidak pernah pamrih dan tidak berharap apapun dari mereka, kecuali semata-mata hanya kesembuhan dari pasien yang saya tolong” tuturnya dengan lirih. “ Bapa, saat ini saya sangat kesakitan, kog saya diberi derita yang seperti ini?” jeritnya dalam salah satu doanya.

Melalui beberapa saat hening di ruang rawat inap yang berminggu ia lewati, ia melanjutkan doa-doanya : “ Tuhan Yesus, saya tidak mengharapkan apa apa dari Engkau, jika Engkau masih menghendaki aku bekerja sebagai perawat seperti sebelumnya, tolong berilah aku pemulihan seperti sedia kala”. Itulah satu-satunya permohonan yang ia ulangi dalam setiap doa-doa yang didaraskan.

Selepas masa perawatan, ia mendapat cuti selama satu bulan. Waktu ini ia pergunakan untuk berkeliling dari satu gereja ke gereja lainnya. Konon ada yang mengatakan padanya, jika seseorang datang mengunjungi gereja gereja yang belum pernah dikunjungi, ia boleh memohon tiga permintaan di gereja gereja itu yang bisa dikabulkan. Ziarahnya berawal dari arah barat, gereja di Lampung sampai ke arah timur, Surabaya dan Madura. Walau ada tiga permohonan yang bisa disampaikan, Suster Inge tetap hanya menyampaikan sebuah doa permohonan yang ia ulangi berkali–kali setiap masuk ke gereja baru : ”Sembuhkan saya ya Bapa seperti semula, agar saya mampu bekerja kembali seperti sedia kala”

Tiga bulan kemudian, ia pulih dan kembali bertugas di kamar operasi setelah sebelumnya, beberapa saat ditempatkan di bagian administrasi roentgen sebagai masa transisi. Beberapa minggu bertukar peran sebagai pasien, telah membuatnya lebih memahami akan kebutuhan pasien yang bukan hanya mengharapkan sebuah pelayanan medis saja, melainkan juga akan sentuhan kasih sayang perhatian pada saat seseorang tergolek lemah tak berdaya.

Pernah Bercita-Cita Jadi Dokter

Suster Inge Irawati lahir di Purwokerto 74 tahun yang silam. Sejak kecil ia bercita-cita ingin menjadi seorang dokter. Namun karena keterbatasan biaya, keinginan ini terpaksa dilupakannya. Keinginannya berkarir di bidang medis terwujudkan ketika ia diterima sebagai siswa Sekolah Pengatur Perawat RS St Borromeus pada tahun 1961 dan lulus pada tahun 1964 dengan Cum Laude. Ia menempuh masa pendidikan dibawah bimbingan salah satu direktrisnya, alm Sr biarawati Angelbertha CB yang terkenal sangat disiplin serta menerapkan pola kedisiplinan ini pula kepada murid-muridnya baik di sekolah maupun di asrama tempat mereka tinggal. Pedoman dasar kedisiplinan ini berpengaruh kelak dalam keseharian suster Inge. “Suster Inge orangnya jujur, disiplin baja, kerja keras tak kenal waktu, tapi hatinya lembut dan mau menghargai orang lain!”, demikian tutur salah satu mantan rekan kerjanya, dr. Kuswardono.

Setamat dari sekolah perawat, ia menjalani ikatan dinas selama satu tahun di RS St Borromeus dan dilanjutkan kemudian di berbagai tempat, dari bidang internis, bedah, UGD dll sampai menjadi suster kepala kamar bedah hingga tahun 1983. Karirnya menanjak terus ketika pada tahun yang sama, ia diangkat menjadi Kepala Bidang Perawatan, yang menjalankan fungsi wakil direktur perawatan hingga masa pensiunnya pada tahun 1993. Karena tanggung jawab dan loyalitas pengabdiannya sudah teruji beberapa dekade, ia dikontrak kembali selama enam tahun hingga 1999.

Tetap Bersemangat Di Usia Senja

Dari awal masa pensiun hingga kini, ia tetap ingat akan permohonan doanya yang dikabulkan Tuhan. Ia tetap ingin bekerja melayani sesama. Di Yayasan Dharma Ibu, selama dua periode (2000-2007) ia mengurus bagian pendidikan serta mengelola keuangan koperasi Lestari milik yayasan. Sebelum memasuki masa pensiun pun, pada tahun 1993 ia sudah aktif sebagai anggota Lions Club, organisasi internasional yang bergerak dibidang sosial. Selain itu , disela sela pekerjaannya, ia masih sempat berlatih untuk mengisi paduan suara di parokinya, Hati Tak Bernoda Santa Perawan Maria, Buahbatu-Bandung. Disini, kembali ia dipercaya sebagai bendahara koperasi Surya Kasih dari tahun 2000 hingga sekarang.

Dengan senyum khas di bibirnya, Suster Inge tetap semangat dalam setiap pelayanan yang ia lakukan. Sebulan dua kali, ia merebus sejumlah telur untuk dibagikan di posyandu kepada balita-balita sebagai program penambahan gizi dari Lions Club Bandung Lestari. Dengan tertatih–tatih dan dibantu dengan sebuah tongkat penyangga, ia tetap semangat siap berangkat, jika jadwal pembagian tiba. Setiap balita yang mendapatkan bingkisan tersebut darinya, disapanya dengan penuh cinta kasih.

Hingga masa tuanya, ia tidak pernah berkeluarga, walau mengalami beberapa kali masa pacaran. Ketika ini ditanyakan, apakah ia menyesali keputusannya untuk hidup sendiri. Ia mengatakan bahwa, di masa mudanya, kesempatan itu hilang begitu saja, dimana salah satunya akibat ia tetap harus berjaga stand by di kamar bedah, ada atau tidak ada pasien yang hendak di operasi. “Nyaris tidak ada waktu bergaul yang tersisa tempo itu” ujarnya . “Tenaga medis yang tersedia kala itu tidak sebanyak yang tersedia sekarang” sambungnya dengan sorot mata yang ramah.

Walau tenaga medis bertambah, ia mencermati bahwa nilai nilai spiritual yang mendasari pelayanan ini kini kian memudar. “Cinta kasih yang tercurahkan kepada pasien mutlak harus tetap terpelihara”, pesannya. “Jangan sampai ditengah penambahan fasilitas, terjadi penurunan kualitas”, demikian lanjutnya dengan mimik serius.
Kesendiriannya kini tidak pernah ia sesali, karena beragam pelayanan yang ia berikan telah memaknai titian kehidupannya sembari menorehkan aneka warna pelangi bagi semangat hidupnya.

Rosiany T Chandra(dimuat di majalah HIDUP Nr 20, 15 Mei 2011)