Sabtu, 14 Mei 2011

Yang Datang Dan Pergi



Pada hari kamis, 20 Januari 2011 di Aula Atas Pandu telah diadakan acara pisah sambut antara pastor dan bruder yang akan meninggalkan kita dengan pastor pastor baru yang akan bertugas di gereja Pandu.
Seperti diketahui, Br. Dwi akan mendapat tugas baru di Keuskupan Agats, Asmat - Papua. Pastor L. Tarpin menyusul pula dengan kepindahannya ke biara Kumara Warabrata di Jl. Sultan Agung, Bandung dengan mengemban tugas baru sebagai magister para frater disana.

Sebagai gantinya, Paroki Santa Perawan Maria Sapta Kedukaan memperoleh dua orang pastor baru dan seorang frater diakon. Mereka adalah Pastor Setevanus Budi Saptono, OSC , Pastor Mateus Antara Juwana, OSC dan Frater Diakon Mammouth KAMDP, OSC.
Empat tahun sudah berlalu, sejak Pastor Tono, demikian panggilan akrab Pastor S. Budi Saptono, pernah melayani di Pandu. Sedangkan Pastor Juwana meninggalkan parokinya di St. Jusuf – Cirebon, menuju Pandu. Yang disebut terakhir, adalah Frater Diakon Mammouth yang mudik ke Indonesia setelah bertugas di Generalat OSC, Roma - Italia selama 13 tahun.

Sore hari itu, acara diawali dengan rangkaian Ibadat Sabda dalam doa dan pujian. Selanjutnya renungan singkat diberikan oleh Bapak A.B.M Witono. Dalam renungan ini kita diingatkan betapa sebuah perhatian yang diberikan kepada seseorang akan berdampak besar pada pribadi orang tsb. Hadirin yang terdiri dari seluruh anggota DPP Pandu/Stasi, koordinator/ketua wilayah, ketua lingkungan, kategorial serta para undangan sekalian diajak untuk peka dalam menebarkan cinta kasih dengan memberikan perhatian kepada orang –orang disekitar kita.

Pembawa acara, Ibu Laurentia Ng mampu menghangatkan suasana malam hari itu dengan penampilannya yang spontan dan segar. Tak lupa ia mendaulat beberapa tokoh umat Pandu untuk tampil mengungkapkan kesan dan pesan mereka tentang Pastor Tarpin dan Br. Dwi. Mereka adalah Bpk Frans Garnaen, Bpk. Triawan dan Bpk. Sucoyo yang mewakili umat di Stasi St. Theodorus.

Terungkap, bahwa Pastor Tarpin dibalik senyum simpul dan suaranya yang menggelegar, ternyata adalah seorang yang penuh disiplin dan tegas. Ia tak segan segan akan menunjukkan raut wajah yang tak puas, jika ada yang tak mentaati soal waktu yang telah disepakati. Disampaikan oleh salah seorang dari mereka, bahwa Br. Dwi adalah seorang pribadi yang hangat dan selalu cepat tanggap akan sesuatu yang perlu segera ditangani.

Selanjutnya, pemberian kenang-kenangan kepada Pastor Tarpin dan Br. Dwi sebagai ungkapan rasa terima kasih umat kepada pelayanan mereka berdua selama di paroki Pandu. Seiiring dengan itu, ucapan selamat datang juga disampaikan kepada pastor Juwana dan pastor Tono, dengan harapan semoga dalam tugas dan pelayanannya nanti sungguh mencerminkan cinta Allah kepada umat paroki Pandu.

Ibadat di tutup dengan doa penutup dan berkat oleh pastor Darno yang sebelumnya diselingi dengan gurauan dan lelucon khas pastor Darno tentang Br. Dwi.
Acara ramah tamah dalam hidangan santap malam yang telah dipersiapkan ibu ibu WK, betul –betul mampu membawa umat ke dalam suasana keramah-tamahan yang terjalin dengan saling bertegur sapa dan bersenda gurau malam itu. Kilatan kamera disana- disini ikut memeriahkan acara penuh kenangan ini.(Rosiany T. Chandra)

Komunitas Sant' Egidio



Komunitas Sant’ Egidio adalah sebuah komunitas kaum awam Katolik yang pada asal mulanya dibentuk di kota Roma- Italia pada tahun 1968, setelah Konsili Vatikan II. Komunitas ini terbentuk pada awalnya, oleh semangat dari lima orang pemuda yang ingin belajar membaca kitab suci serta menghayatinya dalam kehidupan doa mereka sehari-hari.

Gerakan ini dipimpin oleh seorang pemuda, Andrea Riccardi. Dari kegiatan ini, muncullah aksi nyata perwujudan dari apa yang mereka baca, seperti memperhatikan orang-orang miskin dan menderita. Selain doa dan membaca kitab suci, pilar lain yang mendasari kegiatan mereka adalah persahabatan dengan orang miskin serta dialog.

Dengan berjalannya waktu, Sant’Egidio kini sudah hadir di 72 negara di dunia. Di Indonesia, komunitas Sant’ Egidio pertama kali lahir di Padang pada tahun 1990 oleh pendirinya, Maria Felisia. Ia mengenal komunitas ini ketika ia berkunjung ke Roma. Waktu itu ia diajak dan diperkenalkan kepada komunitas ini oleh Romo Heri Kartono, OSC yang saat itu sedang menyelesaikan studinya disana. Dari Padang komunitas ini menyebar ke berbagai kota seperti Pekanbaru, Jakarta, Duri, Yogyakarta, Atambua, Kefamenanu, Kupang, Nias, Medan, Aceh, Denpasar, Semarang, Pontianak, Dumai, Maumere dan pada tahun 2010 di Bandung. Anggota komunitas kebanyakan adalah mahasiswa, orang muda dan dewasa.

Baru- baru ini, pada hari Minggu tanggal 20 Feb 2011, telah diadakan misa syukur dan perayaan HUT Sant’ Egidio sedunia yang ke 43 dan HUT Sant’ Egidio Jakarta yang ke 15, di Aula D, Universitas Katolik Atmajaya Jakarta. Misa dipimpin oleh Mgr AM Sutrisnaatmaka, MSF ( Uskup Palangkaraya), yang didampingi oleh Romo Y Subagyo ( Vikjen Keuskupan Agung Jakarta), Romo Paulus Wirasmohadi Soerjo ( Vikjen Keuskupan Bandung) beserta empat konselebran lainnya. Misa ini dihadiri pula oleh Bapa Uskup Keuskupan Agung Jakarta, Mgr Ignatius Suharyo.

Sampai saat ini komunitas Sant’ Egidio- Jakarta, secara rutin melayani serta menjalin persahabatan dengan anak-anak di Sekolah Damai (Sunter). Ini adalah bentuk pelayanan pertama komunitas Sant’ Egidio Jakarta. Disamping kegiatan belajar, bermain dan bernyanyi, komunitas turut pula memperhatikan kesehatan serta keluarga mereka yang datang dari berbagai latar belakang etnis, agama dan suku budaya. Selain itu komunitas ini memberikan perhatian dan pelayanannya pula kepada lansia pada panti –panti jompo serta anak-anak jalanan yang terpaksa harus tinggal di jalanan Jakarta.

Di Bandung, salah satu kegiatan Sant’ Egidio yang sudah dimulai secara rutin pada setiap hari minggu adalah memberi pelajaran tambahan bagi anak-anak di daerah Jl. Pahlawan. Orang muda yang sudah bergabung kurang lebih 30 orang. Agar semangat ini bisa menjadi ragi diantara kita, mari bergabung bagi yang bersimpati dengan komunitas Sant’ Egidio di Bandung, melalui kontak Sant’ Egidio Bandung, Martina Setyasih/Tyas ( 081392842584)

(Rosiany T. Chandra)dimuat di KOMUNIKASI edisi Maret 2011

Pastor Matheus Antoro Juwono, OSC



Pastor Juwono bertugas di Pandu sejak akhir Januari yang lalu. Banyak dari umat yang belum mengenal Pastor yang murah senyum ini. Mari kita mengenalnya..
Pastor Juwono lahir di Yogyakarta, pada tanggal 25 September 1952. Ia mengenyam masa SD dan SMP di kota kelahirannya. Jenjang pendidikan selanjutnya ia teruskan ke SPG di kota Cimahi pada tahun 1967 dan lulus tiga tahun kemudian pada tahun 1970. Namun selanjutnya ia tak berkarir sebagai guru, tapi memutuskan untuk masuk Seminari Tinggi OSC di Pandu. Pada tahun 1978, ia lulus dari Sekolah Tinggi Filsafat & Teologi.

Masa pastoral, ia jalani di gereja Kristus Raja - Cigugur selama dua tahun, hingga 1979. Pada tahun yang sama, pada tanggal 19 September ia ditahbiskan menjadi imam di gereja St. Petrus-Katedral oleh Uskup Mgr Artnz bersama-sama dengan Pastor Widyo dan Pastor G. Lala.

Usai tahbisan, ia masih berkarya di Cigugur hingga akhir 1981. Kemudian ia ditugaskan beberapa bulan ke St. Mikael, Indramayu dan dilanjutkan kemudian ke gereja Hati Kudus Yesus, Tasikmalaya sebagai pastor paroki hingga 1986.
Pada tahun 1986, untuk beberapa bulan, ia kembali ke kota Bandung dan bertugas di paroki St. Paulus, Moh. Toha. Lantas pada tahun yang sama, ia berangkat dalam On Going Formation, ke Roma dan London selama sembilan bulan.

Sekembalinya, ia bertugas kembali di Cigugur, Subang, Pratista dan di biara Sang Kristus, Jl. Nias.
Pada tahun 1992 hingga 1993, ia berkarya di biara Sultan Agung, membina para frater disana. Pada tahun 1993-1996, ia bertugas di Seminari Menengah Cadas Hikmat.
Selanjutnya pada tahun 1996 hingga akhir 1998, ia menjadi sekretaris Provinsialat OSC di Jl. Nias. Selesai bertugas dibidang administratif, ia kembali melayani umat di paroki St. Jusuf – Cirebon hingga Januari 2011.

Kini pastor yang hobby beli buku Teologi & Filsafat ini, menjadi pastor rekan di gereja Pandu. Dalam suasana bincang- bincang, Pastor yang terkesan pendiam ini mengaku kalau ia tak suka menyanyi. Dari pengalamannya yang pernah bertugas di berbagai kota, ia melihat kenyataan bahwa umat di kota besar cenderung lebih mandiri dari yang di kota kecil. Sebagai imam, ia senantiasa ingin menanamkan iman katolik yang murni bagi setiap umatnya.

Untuk itu, secara sederhana ia ungkapkan pula bahwa Motto hidupnya adalah keinginan untuk menjadi imam yang baik saja.
Ketika ditanyakan, apa pengalaman hidup yang mengesankannya, ia mengatakan bahwa ia menanggapi hidup ini dengan mengalir begitu saja.

Selamat berkarya Romo …( Rosiany T Chandra)

Yang Ketiga Kalinya!



Senja hari, menjelang malam hari Minggu itu, tampak banyak pastor dan umat datang ke biara Pandu. Sebagian besar dari umat tampak membawa makanan dan masuk ke dalam biara seraya mempersiapkan segala sesuatunya mendampingi seksi Rumah Tangga.

Hari minggu itu, tanggal 3 April 2011, pastor Rob Stigter, OSC merayakan hari jarig nya. Siapa yang menyangka bahwa pastor yang masih berperawakan gesit dan lincah ini telah lama merajut usia, sejak saat ia dilahirkan di Den Haag, 72 tahun yang silam!. Ketika ditanyakan, apa resep awet muda dan awet lincahnya, ia mengatakan ;” Cukup menjaga apa yang dimakan dan setia bergerak dan berolahraga”.

Seperti yang sudah kita ketahui, ia memang senantiasa, mau tak mau, berlatih gerak dengan kehadiran Bruce, anjing biara, yang diasuhnya dengan sepenuh hati. Sejak kehadiran Pastor Rob di paroki, Bruce mendapat kasih sayang yang berlimpah. Mereka seiring dan sejalan dalam menuai kehangatan dalam balutan kebersamaan.

Pastor mengatakan, sepanjang yang ia ketahui, ia telah merayakan dua kali ulang tahunnya di Pandu sejak ia bertugas disini. Namun ada kejutan yang telah disampaikan Ceu Uum, pembantu di biara, kepadanya; bahwasanya ini adalah yang ketiga kalinya ia berulang tahun disini. Bagaimana mungkin? Rupa-rupanya, pada tahun 1965, saat ia masih seorang frater, ia pernah merayakan hari ulang tahunnya di Pandu. Ini diceritakan Ceu Uum ketika ia masih ikut orang tuanya yang telah membantu di biara pada tahun 1969. Tentu ini membawa kenangan tersendiri bagi Pastor Rob.

Dekorasi yang tampak unik di dalam biara adalah sebuah janur yang tergantung dengan asri di sebuah pojok ruangan, berisi ucapan selamat ulang tahun bagi pastor Rob. Ide yang kreatif dari Fr. Mammouth ini mampu menyemarakkan suasana hati Pastor Rob dan tamu tamu yang hadir sepanjang hari itu.

Usai menyanyikan lagu ulang tahun dengan speed yang kian di percepat dan meniup kue ulang tahun, tamu tamu yang hadir mempersatukan hati dalam doa syukur yang dipimpin oleh Romo Heri Kartono, OSC yang secara khusus datang dari Jakarta untuk menghadiri pemakaman Pastor Chris Tukiyat, OSC sekaligus bisa meramaikan perayaan jarig Pastor Rob.

Beberapa konfrater yang hadir adalah : Pst. Harimanto, Pst. Samong, Pst. Bekatmo, Pst. Markus, Pst. Tedjo Bawono, Pst. Blessing, Pst. Rutten dll serta tentunya para Romo dari biara Pandu sendiri.
Umat pun membaur dalam rasa dan kata. Sambil merasai kenikmatan santapan, mereka juga merajut kata –kata dengan penuh kehangatan antar sesama yang hadir disitu.

Gelukkige verjaardag Pastor 

Rosiany T Chandra

Stok Lama, Wajah baru



Tentu kita sudah tak asing dengan sosok yang berkumis rapih dan berkacamata minus ini, ketika ia tampil kembali diatas mimbar mengisi misa misa yang ada di Pandu. Dengan artikulasinya yang amat jelas, khotbahnya amat mudah dipahami dan menyapa setiap umat dengan akrab. Penampilannya berbalut percaya diri seakan berada di rumah sendiri. Tak ayal, ia memang ‘besar’ dan tumbuh di Pandu. Setiap pojok dari gereja Pandu dikenalnya dengan baik.

Sejak TK hingga SMP, ia memang bersekolah di sekolah Pandu dan menjadi putera altar semenjak menerima komuni pertama. Praktis pada masa kecilnya ia sering bermain di halaman pastoran dengan teman- temannya. Sejak itulah titian jalan kehidupannya kelak memang tak lepas lagi dari pastoran.

Pastor Setevanus Budi Saptono, OSC, yang kita sapa akrab dengan pastor Tonno kini bertugas kembali di Pandu, semenjak ia meninggalkan Pandu pada tahun 2006 untuk menerima tugas penggembalaan di St Helena – Lippo Karawaci, Tangerang. Ia adalah satu- satunya putera asli Pandu yang kini menjadi seorang biarawan.

Terlahir dari orang tua N. F Sukemi (dari kesatuan AURI) dan Christiana Djumilah (mantan perawat), ia adalah anak ke dua dari tiga bersaudara. Lulus SMP, pada tahun 1985 ia masuk Seminari Menengah Cadas Hikmat. Seiiring dengan itu ia bersekolah di SMA St Maria I di Jl Bengawan, Bandung. Kemudian pada tahun 1988, ia melanjutkan ke Novisiat di Jl Sultan Agung. Bersamanya ada Pastor Rosaryanto, Pastor Anton Subianto, Pastor Hendra Kimawan, Pastor Eka Wahyu, Pastor Tarpin dan Pastor Dedi Andreas, sebagai sesama biarawan OSC. Sejurus dengan itu ia berstatus mahasiswa Filsafat & Teologi Unpar.

Kaul I nya pada tahun 1990, disusul kaul kekal tiga tahun kemudian. Tahun Orientasi Pastoralnya ia selesaikan pada tahun 1992 di Cigugur. Selanjutnya ia menerima tahbisan diakon pada tanggal 26 Juni 1996 dan pada tanggal 4 Desember 1996 ditahbiskan sebagai imam bersama-sama dengan Pst Eka Wahyu dan Pst Dedi Andreas
Sebelum pentahbisannya, ia sudah dipercaya mengemban tugas sebagai Rektor Seminari Menengah Cadas Hikmat. Selain mengajar disitu, ia juga mengajar di ITENAS, STT Telkom dan St Maria sampai tahun 1998.

Tugas parokialnya yang pertama adalah di Agats, Papua, yakni pada tahun 1998 – 2003. Cukup lama juga ia bertugas disini serta mengalami banyak pengalaman hidup yang kelak mematangkan tapak perjalanannya sebagai seorang biarawan. Ketika sekembalinya dari Agats, selain sebagai pastor rekan di Pandu, ia pun aktif di Komsos Keuskupan Bandung, sebagai pemimpin di majalah keuskupan, KOMUNIKASI. Selain itu ia juga adalah salah satu tim dari Tribunal/Pengadilan Gereja Katolik seiiring dengan tugasnya di Pandu hingga 2006.

Pastor Tonno ikut meletakkan dasar-dasar dari paroki St Helena – Lippo Karawaci( paroki ke 58 di KAJ ), yang pada saat ia memulai tugasnya disana pada tahun 2006 masih berstatus sebagai stasi dari St Monika, BSD. Hingga pada awal tahun lalu (2010), ia berangkat ke Manila dalam On Going Formation selama sembilan bulan. Sekembalinya dari Filipina, ia mendapat tugas dari Propinsial untuk kembali ke ‘rumah’nya yang dulu, Pandu.

Ketika ditanyakan tentang pengalaman hidup di Agats, Papua, ia mengatakan: “Kendati tingkat kejenuhannya amat tinggi, Papua tetap menjadi daya tarik yang unik, dimana pada saat yang bersamaan ketika jiwa petualang seseorang itu dibangkitkan, di dalamnya, kita mengalami proses kematangan diri serta menemukan sarana dalam menggali sumber-sumber potensi yang ada, demi sebuah proses pendewasaan”, demikian papar Pastor yang gemar melukis karikatur ini.

Sebagai pastor rekan di Pandu, ia terlibat dalam pembinaan OMK. Ia menaruh simpati terutama pada mahasiswa-mahasiswa pendatang yang banyak tinggal di rumah-rumah kos. Ketika ditanyakan, bagaimana ia melihat Pandu saat ini, sosok stok lama, wajah baru ini mengatakan dengan bangga : “ Bangunan megah tegak berdiri, sebagian besar umat yang ia jumpai masih termasuk stok lama”. “ Model –model kegiatan memang tampil lebih segar dengan “baju baru”nya, namun corak kegiatan masih tetap mengacu pada pedoman yang sama”, demikian tambahnya.

Tentang keberadaan Ruang Adorasi dan Gua Maria, ia mengatakan paroki telah menanggapi baik kebutuhan psikologis umat akan sebuah oase keheningan ditengah-tengah letak gereja yang mau tak mau ikut dalam perkembangan tata letak kota yang kian padat.
Selain berolahraga badminton kegemarannya dan bernyanyi karaoke, pastor Tonno kembali diminta membantu di Tribunal, sebagai komisi kanonis, di Keuskupan Bandung.

MUDA BERKREASI, TUA BER REKREASI, demikian motto hidupnya.

Rosiany T Chandra

Pria Yang Ku Cinta



Masih dengan keringat bercucuran, aku membuka sarung tangan dan topi helmetku. Sinar mentari pagi yang terik membakar wajahku. Namun sepoi angin yang berhembus, sedikit menghalau gerah dan kegalauan hatiku. Aku berjalan ke arah dapur sederhana yang ada di ujung deretan kandang - kandang kuda. Ku seduh secangkir kopi pekat disana. Sambil menunggu air mendidih, mataku memandang ke arah kuda yang baru saja selesai kutunggangi. Aku kembali menghampiri mereka sambil menyuapkan wortel ke mulut si Drago yang dengan rakus melumatnya.

Drago, kuda kedua yang kutunggangi pagi itu. Mereka harus dipanasin setiap harinya , agar stamina dan kelenturannya tetap terjaga. Sambil menyeruput secangkir kopi hitam kesukaanku, aku berjalan menuju ranjang ayunan yang tertambat diantara dua pohon kembar yang berada tak jauh dari deretan kandang kuda. Kurebahkan diriku ke dalamnya. Amat nikmat terasa..

Pikiran ku melayang ke kontak FB tadi malam dengan salah seorang sahabat SMA ku. Heri bercerita bahwa Marcus telah kehilangan istri tercintanya, Vera saat melahirkan sepuluh tahun yang silam. Marcus, Vera, Heri dan yang lainnya adalah sahabat masa kecil ku. Selain akrab di sekolah semenjak SD hingga SMA, kami juga aktif sebagai misdinar di gereja yang letaknya bersebelahan dengan gedung sekolah kami. Vera dan Marcus memang sudah berpacaran sejak kelas I SMA. Usai tugas misa, biasanya kami masih berkumpul di belakang gereja sampai sampai pastor paroki seringkali ikut bergabung juga dalam permainan apa saja yang kami ciptakan bersama. Aku masih ingat, Heri sempat belajar mengemudikan mobil di halaman belakang parkiran gereja dengan komando Marcus yang belum mahir benar mengemudikan mobil ayahnya. Saat Vera dan Marcus menjalani pedekate, kami ikut usil menggoda mereka.

Marcus, sedikit berbeda dengan pemuda lain yang ku kenal saat itu. Ia putih, kurus, sensitif, pendiam namun murah senyum. Jika masa rekoleksi atau retret tiba, Marcus orang yang selalu bertanggung jawab dalam acara beres-beres, memasak dan mengemas segala perlengkapan lainnya. Dandanannya rapi dan selalu wangi. Jari jemarinya panjang dan terawat rapi. Selain itu ia seorang pemuda yang selalu mendengar, apapapun keluhanku. Kami bersahabat dekat waktu itu. Kendati tidak berkata banyak, namun jika sampai pada satu topik yang ia sukai, berjam –jam ia bisa bercerita dari sisi pengamatannya yang khas. Berbeda dengan diriku yang tomboy, cenderung kelelaki-lakian dan suka olahraga berkuda, diam diam aku menaruh hati padanya. Kiranya magnet perbedaan ini mempesona hatiku. Tiap minggu aku makin rajin ke gereja untuk bisa tugas bersama. Aku jatuh cinta padanya.

Dua dasa warsa telah berlalu, namun dalam setiap regukan kopi hangat pagi ini, ia telah menceritakan banyak tentang episode cintaku..
Tidak seorangpun tahu akan rahasia hatiku. Bukan zamannya pada saat itu mengumbar status di jejaring sosial. Kala itu terbersit juga keinginanku untuk menyampaikan padanya. Namun tak umum rasanya, seorang gadis mengutarakan apa yang ia rasakan pada saat itu. Lagipula, ia sudah amat dekat dengan Vera yang ditaksirnya. Bahkan ia sering men sharing kan dengan ku taktik pedekate nya yang tak dihiraukan oleh Vera. “ Karin, tolongin aku dong, bilangin Vera, jangan cuek- cuek amat!”, pinta Marcus kepada ku satu hari. Hatiku kecewa saat itu dan sedih juga sekaligus. Sebagai seorang sahabat yang baik kepada Marcus, tentu aku tak mau merusak pertemanan ini dan tetap menampilkan diriku yang siap menolong Marcus dan Vera.

Setelah mereka jadian, aku masih tetap menikmati kedekatan kami, walaupun dari waktu ke waktu terselip rasa bersalah. Sejurus dengan itu aku juga merasa lelah untuk mengalah. Marcus telah memilih hati dimana ia akan berlabuh. Dari tuturan Marcus maupun Vera, aku mengetahui mereka saling mencintai...

Rasa cinta itu masih kubawa selepas SMA. Tidak banyak yang kutahu lagi semejak kami kami berpisah. Panggilan yang sempat muncul pada saat aku masih SMP, datang lagi. Atas restu ibu bapak ku, aku berangkat ke Surabaya dan masuk salah satu biara disana.
Seiring waktu, aku menikmati suasana kehidupan religius disana. Tanpa kusadari, aku mengalami hal aneh di dalam diriku yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Perasaan ini muncul saat aku bergaul erat dengan salah satu suster disana. Satu hari, ketika tanganku tanpa sengaja bersentuhan dengan jemarinya, ada rasa mendesir yang berkecamuk didalam darahku yang membuatku berani untuk selanjutnya meletakkan jemariku dibalik jubahnya. Rupanya perbuatan tak senonoh ini telah dilaporkan kepada suster kepala biara. Tak pelak, esok harinya aku diminta untuk segera mengundurkan diri. Dengan rasa penyesalan yang mendalam, aku memohon ampun dan meminta maaf atas kejadian yang terjadi. Saat itu juga aku mengundurkan diri dalam rasa terpukul serta malu pada diriku sendiri.

Angin sepoi sepoi masih mengeringkan sisa keringatku di dalam buaian ayunan ini. Sebentar lagi murid-murid ku yang belajar menunggang akan tiba. Sudah hampir delapan tahun, bersama Vic, aku mengelola stable berkuda ini. Aku kembali menekuni hobbyku, sebagai profesi yang ku suka.

Pikiran tentang Marcus masih bermain dibenakku. Aku iba padanya yang telah ditinggal pergi istrinya. Aku masih mereguk tegukan terakhir dari cangkir kopiku. Lamunanku seketika buyar, ketika dari jauh kulihat murid-murid sudah berdatangan menghampiri.
Ketika aku menyiapkan segala sesuatunya, groom ku mengatakan ada seseorang yang ingin menemuiku untuk menanyakan tentang perihal sekolah berkuda ini. Aku berjalan ke arah sosok seseorang yang berperawakan kurus. Ia sedang membelai-belai kuda dan membelakangiku. “ Selamat siang , pak”, sapa ku padanya. Ia membalikkan tubuhnya. Aku amat terperanjat. “ Marcus?” Masih dalam keadaan terperangah…
Sesaat kemudian, kami berhamburan dalam pelukan dan pekikan riang gembira, sembari tak mampu berkata –kata.
“ Kamu ngapain disini?” tanyaku. “ Seseorang mengatakan bahwa tempat berkuda disini, aku bawa anakku yang ingin berkuda” katanya dengan polos.
Sorot matanya masih seperti dulu. Ia masih Marcus yang sensitif dan pendiam. Namun dari bahasa tubuhnya, aku menangkap bahwa ia senang bertemuku kembali. Aku pun demikian.

Vic, dari jauh memanggilku. Suaranya memecahkan keheningan yang terjadi diantara kami. Vic, memang orang yang sudah delapan tahun mendampingiku. My Victoria, wanita yang kucintai. Aku telah memilih hidup bersamanya dan nyaman bersamanya. Kupandangi Marcus sekali lagi sebelum aku beranjak mengajar, dia lah satu –satunya pria yang ku cinta!(Rosiany T Chandra)

Feng Shui Dan Shio



Ada banyak aneka adat istiadat dan budaya di Indonesia. Salah satunya yang mengambil peran di masyarakat kita adalah budaya Tionghoa. Sejauh budaya ini bisa memperkaya iman kita melalui nilai- nilai tradisi luhur yang terkandung di dalam kultur tersebut, tentu tidak akan terjadi benturan antara agama dan tradisi.

Berdasarkan hitungan kalender bulan Cina, sejak tanggal 3 Februari 2011 kita memasuki tahun shio kelinci. Ada 12 jenis binatang yang mewakili 12 shio yang ada. Diantaranya di mulai dengan tikus, kerbau, macan, keilinci, naga, ular, kuda, kambing, kera, ayam, anjing dan babi. Demikian siklus ini berulang lagi setiap duabelas tahun. Bagaimana sikap pandangan gereja katolik terhadap salah satu budaya Tionghoa ini? Juga terhadap adat istiadat Tionghoa lainnya, yang berhubungan dengan Feng Shui, kelahiran, pernikahan, kematian?

Untuk memperjelas semuanya, seksi wilayah dan komunitas alumni KEP paroki Santa Perawan Maria Sapta Kedukaan/Pandu, Bandung mengadakan seminar yang bertajuk ‘Pandangan Gereja Katolik Terhadap Tradisi Tionghoa’ dengan pembicara Romo Yandhie Buntoro, CDD & Bapak E. Christovani pada tanggal 15 Februari 2011 lalu di gereja Pandu.

Dalam uraiannya, baik Romo Yandhie maupun Bapak E. Christovani menyampaikan antara lain bahwa Feng Shui adalah faham tentang relasi antara manusia dengan alam sekitar yang didasari oleh logika ilmu pengetahuan. Jika dalam penerapannya dimanfaatkan guna mencapai keselarasan dengan wahana lingkungan, tentu tidak akan bertentangan dengan ajaran gereja katolik. Kendati demikian, kepercayaan Feng Shui bukanlah bagian dari iman Kristen (1 Samuel 2:7) yang mengajarkan tentang keselamatan yang kekal.

Sedangkan astrologi, ramalan atau percaya pada shio, juga bukan bagian dari iman orang Katolik, melainkan hanya untuk menandai tahun kelahiran saja, sesuai kebiasaan orang Cina zaman dulu yang menyebutkan kedua belas bulan yang ada dengan lambang binatang. Demikian antara lain yang disampaikan oleh Romo yang mahir bermain Pu- Er, sejenis alat musik gesek tradisional Cina ini.

Dalam salah satu sesi tanya jawab, ia menambahkan pula bahwa Feng Shui hanya tambahan wawasan yang tak perlu diimani dan tak bisa disamakan dengan jalan kebenaran dan hidup( Yoh 14 : 6) Rosiany T. Chandra

(dimuat di HIDUP no 14/3 April 2011)

Dari Gereja Di Lampung Hingga Madura




Pukul lima dini hari, Suster perawat Inge baru tiba di asrama keperawatan St Borromeus di Jl Suryakencana, Bandung. Ia baru saja turun dari bis malam, usai berlibur di Yogyakarta. Ia bergegas, karena harus segera dinas di Ruang Operasi RS St Borromeus subuh itu. Tatkala ia meloncati tapak landasan menuju lantai atas berikutnya, ia terpeleset ”Bruk…….!!”

Sesaat kemudian, tubuhnya pun tergeletak di lantai, terbanting dari ketinggian kira-kira enam meter ke bawah. Suara kegaduhan yang ditimbulkan, memecah keheningan dini hari itu. Seorang rekan yang bersamanya, segera berteriak minta tolong dan mengambil tandu dari rumah sakit Borromeus yang terletak di seberang asrama. Tak lama kemudian Suster Inge menjadi pasien rumah sakit ini, tempat dimana ia mengabdikan hampir seluruh usia produktifnya sebagai perawat.

Ia masih ingat betul, hari yang naas itu adalah tanggal 10 Oktober 1977. Selama 7 minggu ia bergelut dengan rasa sakit, setelah mengalami fraktur impressi pada tulang torakal dan lumbal serta servikal dari tulang lehernya. Ketika itu secara sadar ia tidak mau di operasi karena faham akan akibatnya berdasarkan pengalamannya selama tigabelas tahun sebagai suster kepala kamar bedah RS St Borromeus. Kendati sudah dinasehati oleh rekan dokter yang mengobatinya agar menjalani operasi, ia tetap memilih terapi teraksi, yakni sebuah terapi yang mengembalikan posisi tulang seperti semula oleh seorang dokter rehabilitasi medik.

Ditengah pergumulannya dengan rasa sakit dalam masa bedrest , ia berdoa dengan perasaan yang amat sedih. “ Sambil tersedu saya bilang pada Tuhan, ketika saya bekerja di ruang operasi, sering saya menerima pasien sudah dalam keadaan setengah sadar. Ketika pasien belum sadar betul dan tidak mampu mengucapkan terima kasih, saya tidak pernah pamrih dan tidak berharap apapun dari mereka, kecuali semata-mata hanya kesembuhan dari pasien yang saya tolong” tuturnya dengan lirih. “ Bapa, saat ini saya sangat kesakitan, kog saya diberi derita yang seperti ini?” jeritnya dalam salah satu doanya.

Melalui beberapa saat hening di ruang rawat inap yang berminggu ia lewati, ia melanjutkan doa-doanya : “ Tuhan Yesus, saya tidak mengharapkan apa apa dari Engkau, jika Engkau masih menghendaki aku bekerja sebagai perawat seperti sebelumnya, tolong berilah aku pemulihan seperti sedia kala”. Itulah satu-satunya permohonan yang ia ulangi dalam setiap doa-doa yang didaraskan.

Selepas masa perawatan, ia mendapat cuti selama satu bulan. Waktu ini ia pergunakan untuk berkeliling dari satu gereja ke gereja lainnya. Konon ada yang mengatakan padanya, jika seseorang datang mengunjungi gereja gereja yang belum pernah dikunjungi, ia boleh memohon tiga permintaan di gereja gereja itu yang bisa dikabulkan. Ziarahnya berawal dari arah barat, gereja di Lampung sampai ke arah timur, Surabaya dan Madura. Walau ada tiga permohonan yang bisa disampaikan, Suster Inge tetap hanya menyampaikan sebuah doa permohonan yang ia ulangi berkali–kali setiap masuk ke gereja baru : ”Sembuhkan saya ya Bapa seperti semula, agar saya mampu bekerja kembali seperti sedia kala”

Tiga bulan kemudian, ia pulih dan kembali bertugas di kamar operasi setelah sebelumnya, beberapa saat ditempatkan di bagian administrasi roentgen sebagai masa transisi. Beberapa minggu bertukar peran sebagai pasien, telah membuatnya lebih memahami akan kebutuhan pasien yang bukan hanya mengharapkan sebuah pelayanan medis saja, melainkan juga akan sentuhan kasih sayang perhatian pada saat seseorang tergolek lemah tak berdaya.

Pernah Bercita-Cita Jadi Dokter

Suster Inge Irawati lahir di Purwokerto 74 tahun yang silam. Sejak kecil ia bercita-cita ingin menjadi seorang dokter. Namun karena keterbatasan biaya, keinginan ini terpaksa dilupakannya. Keinginannya berkarir di bidang medis terwujudkan ketika ia diterima sebagai siswa Sekolah Pengatur Perawat RS St Borromeus pada tahun 1961 dan lulus pada tahun 1964 dengan Cum Laude. Ia menempuh masa pendidikan dibawah bimbingan salah satu direktrisnya, alm Sr biarawati Angelbertha CB yang terkenal sangat disiplin serta menerapkan pola kedisiplinan ini pula kepada murid-muridnya baik di sekolah maupun di asrama tempat mereka tinggal. Pedoman dasar kedisiplinan ini berpengaruh kelak dalam keseharian suster Inge. “Suster Inge orangnya jujur, disiplin baja, kerja keras tak kenal waktu, tapi hatinya lembut dan mau menghargai orang lain!”, demikian tutur salah satu mantan rekan kerjanya, dr. Kuswardono.

Setamat dari sekolah perawat, ia menjalani ikatan dinas selama satu tahun di RS St Borromeus dan dilanjutkan kemudian di berbagai tempat, dari bidang internis, bedah, UGD dll sampai menjadi suster kepala kamar bedah hingga tahun 1983. Karirnya menanjak terus ketika pada tahun yang sama, ia diangkat menjadi Kepala Bidang Perawatan, yang menjalankan fungsi wakil direktur perawatan hingga masa pensiunnya pada tahun 1993. Karena tanggung jawab dan loyalitas pengabdiannya sudah teruji beberapa dekade, ia dikontrak kembali selama enam tahun hingga 1999.

Tetap Bersemangat Di Usia Senja

Dari awal masa pensiun hingga kini, ia tetap ingat akan permohonan doanya yang dikabulkan Tuhan. Ia tetap ingin bekerja melayani sesama. Di Yayasan Dharma Ibu, selama dua periode (2000-2007) ia mengurus bagian pendidikan serta mengelola keuangan koperasi Lestari milik yayasan. Sebelum memasuki masa pensiun pun, pada tahun 1993 ia sudah aktif sebagai anggota Lions Club, organisasi internasional yang bergerak dibidang sosial. Selain itu , disela sela pekerjaannya, ia masih sempat berlatih untuk mengisi paduan suara di parokinya, Hati Tak Bernoda Santa Perawan Maria, Buahbatu-Bandung. Disini, kembali ia dipercaya sebagai bendahara koperasi Surya Kasih dari tahun 2000 hingga sekarang.

Dengan senyum khas di bibirnya, Suster Inge tetap semangat dalam setiap pelayanan yang ia lakukan. Sebulan dua kali, ia merebus sejumlah telur untuk dibagikan di posyandu kepada balita-balita sebagai program penambahan gizi dari Lions Club Bandung Lestari. Dengan tertatih–tatih dan dibantu dengan sebuah tongkat penyangga, ia tetap semangat siap berangkat, jika jadwal pembagian tiba. Setiap balita yang mendapatkan bingkisan tersebut darinya, disapanya dengan penuh cinta kasih.

Hingga masa tuanya, ia tidak pernah berkeluarga, walau mengalami beberapa kali masa pacaran. Ketika ini ditanyakan, apakah ia menyesali keputusannya untuk hidup sendiri. Ia mengatakan bahwa, di masa mudanya, kesempatan itu hilang begitu saja, dimana salah satunya akibat ia tetap harus berjaga stand by di kamar bedah, ada atau tidak ada pasien yang hendak di operasi. “Nyaris tidak ada waktu bergaul yang tersisa tempo itu” ujarnya . “Tenaga medis yang tersedia kala itu tidak sebanyak yang tersedia sekarang” sambungnya dengan sorot mata yang ramah.

Walau tenaga medis bertambah, ia mencermati bahwa nilai nilai spiritual yang mendasari pelayanan ini kini kian memudar. “Cinta kasih yang tercurahkan kepada pasien mutlak harus tetap terpelihara”, pesannya. “Jangan sampai ditengah penambahan fasilitas, terjadi penurunan kualitas”, demikian lanjutnya dengan mimik serius.
Kesendiriannya kini tidak pernah ia sesali, karena beragam pelayanan yang ia berikan telah memaknai titian kehidupannya sembari menorehkan aneka warna pelangi bagi semangat hidupnya.

Rosiany T Chandra(dimuat di majalah HIDUP Nr 20, 15 Mei 2011)

Dia Akan Melengkapi



Sehari sebelum hari Jumat (23/4/2010) , saya menerima sebuah pesan singkat dari Danny Karjo. Isinya mengabarkan bahwa keesokan harinya akan diadakan penggantian Sakramen Mahakudus di ruang adorasi pada pkl.05.30 di Jl.Pandu 27 Bandung. Mgr. Yohanes Pujasumarta berkenan hadir untuk memimpin misa ekaristi dalam mengawali ritual kudus ini.

Malam hari menjelang tidur, saya baru ingat lagi akan pesan singkat tadi. Saya memutuskan untuk hadir agar bisa memotret acara ini untuk kepentingan buletin Pandu, BERITA KITA.

Esok subuh, saya sudah berada di lokasi sekitar pkl.05.20. Saya bergegas ke ruang adorasi agar saya punya waktu untuk berdoa sejenak. Namun sesampai di pintu ruang adorasi, ternyata misa telah dimulai. Sejenak saya terhenti ragu , sedikit heran kalau misa telah dimulai lebih awal. Bapak Uskup yang berdiri tepat di depan pintu masuk, mengisyaratkan agar saya melanjutkan langkah saya kedalam.

Ada sekitar 10-12 umat berkumpul di ruang yang tak terbilang luas ini. Saya segera duduk bersila tepat didepan meja altar dadakan ini. Hanya tempat ini yang tersisa bagi saya, dan itupun pas di depan pintu masuk. Pada saat itu saya justru merasa beruntung, karena bisa memotret dengan leluasa dari posisi paling depan.

Pagi itu saya tak datang ke ruang adorasi dengan setumpuk doa permohonan. Tujuan utama saya adalah hanya untuk memotret event special ini, dimana kehadiran Bapak Uskup bisa saya bagikan kepada segenap pembaca BERITA KITA. Hanya terbersit pada saat itu, saya hanya ingin bersyukur saja atas semua anugerah yang saya terima.
Sesudah menerima komuni langsung dari Bapak Uskup yang mendatangi umat satu persatu, saya pun larut dalam doa sesudah komuni.

Saat itu saya pun hanya bersyukur tanpa mengucapkan hal yang lain padaNYA. Sekonyong konyong kemudian, ada yang melintas di benak saya: “You are not alone…, don’t be afraid ”. Saya tidak mau/bisa mengatakan bahwa saya mendengar suara tersebut.

Pengalaman ini sangat pribadi dan baru pertama kali terjadi dalam ratusan ekaristi yang telah saya alami.
Yang terjadi kemudian, saya begitu terharu dan berlinang air mata. Tak tahu juga mengapa. Saya tak mengatakan apapun kepadaNya, namun Dia telah berkunjung ke dalam hati saya.

Masih dalam linangan air mata, usai misa saya bergegas berupaya kembali ke mobil, dengan harapan agar tak ada yang menyaksikan saya dalam keadaan terharu tersebut. Tak diduga, Pastor Darno yang berdiri di depan pintu ruang adorasi berpapasan dengan saya yang terburu buru. Mau tak mau saya harus pamit kepadanya. Ia menyaksikan keharuan saya. Lalu sekilas bahu saya ditepuk beliau. Saya tambah terharu dan secepat kilat berlalu ke mobil.

Di dalam mobil, saya masih ber bengong - bengong ria bertanya dalam hati, fenomena apakah ini ?
Hari ini saya menemukan jawabannya: Kita hanya perlu bersyukur. Dia akan melengkapi kita! (Rosiany T.Chandra)

Menghidupkan Firman Allah Yang Membeku




Seksi Liturgi paroki Santa Perawan Maria Sapta Kedukaan(Pandu) baru-baru ini mewujudkan lontaran idea dari komunitas lektornya untuk menyelenggarakan sebuah workshop yang bertajuk : ‘Menjadi Pelayan Liturgi Yang Oke’. Lokakarya yang bertempat di Aula gereja Pandu, pada hari Minggu, tanggal 27 maret 2011 ini menghadirkan dua orang pembicara, yakni Ibu Maria Oentoe dan Pastor Eka Wahyu Djoko Santoso, OSC.

Ibu Maria Oentoe adalah seorang pengajar senior para lektor dari Keuskupan Agung Jakarta. Sedangkan pastor Eko, demikian panggilan akrabnya, adalah koordinator unit retret dari Rumah Retret Pratista. Dua pembicara itu saling melengkapi saat workshop yang dibagi dalam lima sesi. Acaranya berlangsung dari pkl. 09.00 – 16.00 dengan break santap siang.

Tidak disangka, workshop ini mendapat tanggapan yang amat baik tidak hanya dari paroki paroki yang ada di kota Bandung, tetapi juga dari luar kota seperti Subang, Garut dan Purwakarta. Hal ini nampak dari banyaknya paroki yang mengirimkan entah lektor ataupun utusannya dari minimal lima sampai duapuluh orang peserta. Total tercatat ada 243 peserta yang mengikuti workshop ini. Angka yang jauh melebihi target panitia!

Kehadiran Allah, pertama-tama dirasakan lewat Sabda. Tanpa pewartaan Sabda, kita tak akan mampu mengenali kehadiranNya lewat Pemecahan Roti. Namun kekuatan Sabda ini tidak terletak pada saat kita mendengarnya saja, melainkan dalam daya ubahnya yang mengerjakan karya ilahi ketika kita mendengarkannya. Dalam tindakan mendengarkan itulah Allah hadir menyapa dan mengubah hidup kita. Ketika seorang lektor membacakan kutipan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, saat itulah ia ingin menegaskan kembali kehadiran Sang ilahi dalam hidup manusia. Peran seorang lektor menjadi penting, karena merupakan salah satu bagian kunci dari penyampaian serta penghayatan sebuah liturgi, sarana bagi terjalinnya hubungan antar manusia dengan Allah.

Demikian beberapa hal mendasar yang disampaikan oleh Pastor Eko, sebelum masuk ke sesi berikutnya, yakni saat ibu Maria Oentoe membahas lebih dalam tentang tehnik pengolahan vokal, serta aspek-aspek lain yang harus diperhatikan saat seorang lektor bertugas di atas mimbar.

Ibu Maria Oentoe menyampaikan bahwa dalam membaca firman Tuhan yang akan disampaikan, seorang lektor diwajibkan untuk bisa melihat serta memahami makna yang terkandung dalam naskah yang akan dibacanya. Selain itu, ada beberapa aspek yang perlu dikuasainya, seperti beberapa ketrampilan teknis berikut : pengenalan bentuk huruf, unsur linguistik serta kemampuan menyuarakan firman Tuhan yang membeku dalam naskah menjadi Firman yang hidup dan berdaya.

Untuk itu diperlukan pengucapan kata dan frasa yang tepat, intonasi yang wajar dengan kecepatan yang sesuai pula, sehingga pada akhirnya Firman Tuhan dapat “dipindahkan” ke dalam hati dan budi orang yang mendengarkannya. Dalam membaca, seorang lektor tidak diperkenankan untuk meletakkan pikiran atau perasaan pribadi ke dalam bacaannya. “ Membaca Firman Tuhan, bukanlah sebuah bentuk deklamasi atau dramatisasi sebuah sandiwara”, demikian pesan Ibu Maria.

Pada akhir sesi, bukan sekedar materi teorinya saja yang dibahas, namun praktek membaca serta evaluasinya pun di bahas bersama-sama demi tercapainya dinamika pembacaan yang diinginkan.
Dengan dibagikannya sertifikat keikutsertaan kepada seluruh peserta : “Mari menjadi pelayan liturgi yang oke!!”

Rosiany T Chandra (dimuat di KOMUNIKASI 367 MEI 2011)

Persaudaraan Lintas Batas Sejak Kecil



Menyambut Hari Pendidikan Nasional (2 mei 2011), Paroki Santa Perawan Maria Sapta Kedukaan ( Pandu ), Bandung mengajak anak anak Pra dan TK untuk bermain bersama di aula paroki. Kegiatan ini menjadi unik karena anak-anak balita yang bergabung pagi hari itu berasal dari tiga sekolah dengan latar belakang agama & budaya yang berbeda.

Selain murid dari sekolah TK Katolik Indryasana, milik WK cabang Bandung, gereja mengundang pula murid murid sekolah dari TK BKB Kemas (Bina Kelompok Balita) yang letaknya tidak jauh dari gereja dan anak anak PAUD Ceria ( binaan gereja Pandu) yang sebagian besar didampingi oleh orang tua mereka yang beragama Islam. Total ada delapan puluh lima anak dengan tigabelas orang guru yang mendampingi.

Perayaan gabungan tahunan ini dibuka dengan doa oleh masing masing pembina secara Muslim dan Katolik. Tampak anak – anak berlarian riang gembira bersama dan berkumpul untuk saling mengenal dan membangun persahabatan diantara mereka dalam banyak permainan- permainan yang digelar. Mereka asyik bermain tanpa mengenal dan mempermasalahkan perbedaan SARA yang ada diantara mereka. Pertemanan dan kebersamaan lah yang mereka utamakan.

“Persaudaraan akan lebih mudah terjalin sejak kecil”, demikian tutur Romo Agustinus Sudarno, OSC, sebagai penggagas kegiatan ini. “Selain itu, komunikasi akan lebih terbina sedini mungkin”, lanjut pastor kepala paroki Pandu ini.
Selain bermain dan bernyanyi bersama, anak- anak mendapat paket makan siang serta bingkisan berupa paket susu dan snack yang sudah disiapkan oleh para donatur yang mendukung acara persaudaraan dini ini.(Rosiany T Chandra)