Kamis, 29 Desember 2011

Pastor ala IL Divo


Keakraban yang terjalin diantara para alumni KEP Paroki St Laurentius - Bandung bukan hanya telah menghangatkan persahabatan antara mereka, melainkan juga telah melahirkan suatu idea kreatif untuk memberikan sesuatu yang unik bagi gereja. Karena itu terbersitlah sebuah rencana untuk menggelar suatu Charity Concert yang mengusung nama Opera van Santa Claus.

Opera van Santa Claus ini telah sukses diselenggarakan di The Venue Hall Eldorado - Bandung pada tanggal 15 Desember yang lalu. Tak kurang dari 1500 karcis habis terjual dari target semula 1000 karcis. Habisnya karcis ini bahkan terjadi beberapa minggu sebelum hari H. Jumlah sebanyak ini sama sekali tak diduga oleh panitia yang seluruhnya berjumlah 84 orang.
Rupanya banyak penonton tergelitik untuk menyaksikan acara yang didukung oleh 250 orang pemain ini, karena mereka secara khusus ingin melihat gaya dan gerak delapan orang pastor yang ikut tampil dalam opera yang diramu dengan kocak dan heboh ini. “ Saya ingin menyaksikan bagaimana beda pedampilan pastor di mimbar dan di
pentas!”, ujar Ibu Linda sambil tergelak-gelak saat ditanya alasannya
ikut menonton.

Memang yang menjadi pelakon utama dengan dialog live ini adalah Pastor Eko Wahju, OSC yang berperan sebagai Santa Claus, sedangkan Pastor Bayu Ajie, Pr adalah dalang dari Opera yang dirancang oleh Project P ini. Ketika banyak umat yang memuji acting Pastor Eko yang jenaka, ia berujar: “ Melalui gaya Poject P yang segar ini, sabda Yesus tetap dikumandangkan dan dimuliakan”. Sedangkan Pastor Bayu yang memang seorang pecinta wayang, telah berhasil memadu kepiawaiannya dalam mendalangi sang Santa dalam berpetualang untuk membagi-bagikan kado kepada berbagai lapisan masyarakat. Selain itu Pastor Budi Wibowo, OSC dengan tak kalah lucu dan imutnya mampu beradu acting dengan Cindy Bernadette yang hadir sebagai bintang tamu, disamping penyanyi Once dan group musik D’Cinnamons.

“ Tiketnya terjangkaulah”, ujar Mario yang mengeluarkan Rp.15.000,-untuk datang menonton tampilan teman-temannya dari PSM Unpar. “Kami sengaja mematok harga tiket VVIP, seharga Rp.250.000,- guna menutupi kesenjangan bagi tiket umum tersebut”, papar Bu Nanoet sebagai ketua panitia. “ Agar lebih banyak orang bisa ikut ambil bagian dalam usaha penggalangan dana demi persiapan pemekaran gereja St. Laurentius”, demikian imbuhnya ketika ditanyakan tujuan diadakannya malam sosial ini.

Selanjutnya di puncak acara, lima orang pastor tampil di pentas dengan koreografi ala gaya panggung Il Divo, sehingga penampilan mereka dengan baju ordo yang khas bernuansa hitam putih merah tersebut telah mengundang tepuk tangan riuh penonton yang mendapati pastor mereka kali ini tampil dengan sensasi yang berbeda. Para pastor dari Ordo Salib Suci ini dengan serius telah berlatih untuk menyuguhkan karya Mozart, die Zauberfloette ke atas panggung.

“Opera Van Santa Claus ini selain sebagai ajang untuk saling
mengeratkan keluarga KEP, juga bertujuan untuk menggugah peran serta OMK, dan berbagai kelompok koor, sekaligus juga keterlibatan para pastor, yang menunjukkan bahwa kepedulian terhadap gereja adalah menjadi tanggung jawab kita bersama”, demikian sampai Pastor Yulius Hirnawan, OSC dari St. Laurentius. (Rosiany T Chandra)

LIONS CLUB INDONESIA


Lions Club adalah sebuah organisasi non-pemerintah terbesar berskala internasional yang berdiri sejak tahun 1917 di Oak Brook, Illinois, USA. Saat itu sejumlah club independen menanggapi secara positif gagasan Melvin Jones – seorang agen perusahaan asuransi, untuk mempersatukan diri mengabdi pada tugas-tugas kemanusiaan tanpa mempersoalkan politik, agama, kebangsaan dan kepentingan pribadi para anggotanya. Lalu terbentuklah sebuah organisasi, tempat dimana berkumpul orang-orang yang dipersatukan oleh semangat kebersamaan tadi dalam memberi dan berdedikasi untuk menolong sesama. Seiiring dengan berjalannya waktu, Lions Club kini telah berkembang menjadi empatpuluhenamribu club dengan jumlah 1,46 juta anggota yang tersebar di 206 negara di dunia.

Lions Club Indonesia lahir pada tanggal 18 November 1969. Kini, kurang lebih tercatat 5500 anggota dari empat distrik yang terdiri dari sejumlah club-club yang tersebar di banyak kota-kota di Indonesia, termasuk kota Bandung.

AKTIFITAS

Di Bandung terdapat sebelas Lions Club, yang dikoordinir oleh seorang ketua wilayah. Hak otonomi yang diberikan kepada setiap club serta kebijaksanaan untuk mengkonsentrasikan kegiatan pada pengabdian yang benar-benar dibutuhkan masyarakat, menyebabkan masing-masing club mempunyai keunikan sendiri-sendiri dalam bentuk pelayanan bakti sosialnya. Salah satu contoh kegiatan dari Lions Club Bandung Lestari yang saat ini sedang dilaksanakan adalah kepedulian pada kebutaan/penglihatan. Para Lions membaktikan dirinya secara sukarela menjaring anak anak SD (dari sekolah yang kondisinya memprihatinkan) dalam pemeriksaan mata gratis, serta menyediakan kacamatanya sekaligus. Selain itu, beberapa club lain mengkhususkan diri pada pembinaan anak asuh, pemberian gizi berupa makanan tambahan pada balita di beberapa posyandu. Kemudian ada club yang memfasilitasi pengumpulan massa untuk pendonoran darah, ataupun pada penghijauan alam serta pengadaan fasilitas MCK serta saluran air bersih.

Disamping kegiatan rutin tersebut, Lions Club juga tanggap mengulurkan bantuan berupa kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan atas bencana alam yang terjadi, seperti pada saat banjir dan gempa yang melanda Indonesia beberapa waktu yang lalu. Untuk menggalang kebersamaan dari beberapa club yang ada di Bandung, dari waktu ke waktu, diadakan pula kegitan pelayanan bersama berupa operasi bibir sumbing, sunatan massal serta pemberian kaki palsu bagi korban bencana/kecelakaan.

MOTTO LIONS

Aktifitas pelayanan yang dilakukan Lions adalah sesuai dengan yang termakna dalam kata LIONS itu sendiri : L= Liberty, I=Intelligence, O=Our Nation’s, S= Safety, yang artinya adalah Untuk Kebebasan, Kecerdasan dan Keselamatan Bangsa dan Negara kita. Dengan memilih motto ‘We Serve’ atau ‘Kami Mengabdi’, kiranya setiap pribadi Lion menjadikan lambang tersebut sebagai simbol kebanggaan dalam setiap pelayanan yang mereka berikan pada masyarakat.

Pada umumnya setiap orang yang mempunyai semangat pelayanan, baik pria ataupun wanita yang memiliki kepribadian yang baik dan reputasi yang terpuji didalam masyarakat dapat menjadi anggota Lions Club. Namun keanggotaan di dalam Lions Club hanya dapat diperoleh berdasarkan undangan/sponsor dari seorang Lions.

Dana yang diperlukan bagi berbagai kegiatan sosial tersebut, dihimpun dari berbagai kreatifitas acara penggalangan dana yang diselenggarakan masing-masing Lions Club, seperti pertandingan charity golf atau acara hiburan lainnya. Dana yang terkumpul di kas sosial akan disalurkan secara aktif dan bertanggung jawab kepada berbagai proyek demi membangun kepentingan umum dalam peran serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan lingkungan tanpa membedakan latar belakang budaya, suku dan golongan.( Rosiany T Chandra)

WULAN, JANGAN MENYERAH!


Pada awalnya saat membaca judul buku "Wulan, Jangan Menyerah," pembaca tentu menduga bahwa Wulan adalah sosok seorang wanita muda dan ceria. Ternyata Wulan yang dimaksud adalah singkatan dari "Warga Usia Lanjut." Buku ini berisi sepuluh kisah nyata dari para WULAN tersebut yang ditulis oleh Ny. M. A. S. Teko, seorang aktifis wanita katolik yang telah sepuh. Sehari sebelum HUT nya yang ke 80, pada tanggal 8 Oktober 2011, telah diadakan acara bedah buku tersebut di Gedung Wanita, Jl. RE Martadinata, Bandung. Bu Teko, demikian ia akrab disapa, adalah ibu tujuh orang putera puteri yang bersuamikan bapak F.X. Teko Sukarmin, seorang pensiunan polisi.

Buku ini ia tulis dengan tujuan untuk memberi nasehat serta memotivasi anak cucu serta menyapa siapa saja, terutama warga usia lanjut, agar dalam perjalanan hidup tetap memiliki tekad untuk berbudi luhur dan jujur sekaligus tidak cepat menyerah. “ Bukan matahari terbit saja yang indah, namun suasana matahari terbenam pun punya gaya dan pesonanya sendiri”, demikian pesan yang disampaikan bu Teko, ketika mengibaratkan peran Wulan dalam siklus hidup alami. Selain itu, Bu Teko juga terinspirasi oleh tulisan Ruslan Abdulgani di sebuah media cetak beberapa tahun yang lalu, yang mengatakan bahwa secara alami, segala ciptaan Tuhan pasti menua, demikian pula daun-daun hijau akan mengering, namun tetap bisa menjadi pupuk yang subur pada akhirnya.

Untuk mengisahkan perjuangan serta produktivitas mereka, Bu Teko yang hingga saat ini masih aktif sebagai direktris dari LPIP (Lembaga Pendidikan Indonesia Perancis), di dalam bukunya bercerita tentang sepuluh pribadi wulan yang layak menjadi contoh agar pedoman hidup : “Aku sanggup- Aku bisa” bisa memotivasi siapa saja agar tetap produktif di usia senja.

Selain masih tetap mengajar public speaking di lembaga pendidikan miliknya, Bu Teko adalah pendamping serta pengasuh para tuna netra dalam mengembangkan kemampuan berkomunikasi serta kepercayaan diri mereka. Selain itu ibu yang fasih berbahasa Belanda dan Inggris ini adalah seorang mantan pembawa acara langganan Pemda kota Bandung bagi tamu-tamu agung dari dalam maupun luar negeri. Kini Bu Teko, umat paroki Hati Tak Bernoda Santa Perawan Maria- Buah batu, Bandung ini juga masih aktif di berbagai organisasi seperti Wanita Katolik, Legio Maria, disamping memberi berbagai pelatihan baik di dalam maupun luar kota. Disamping itu, untuk kebugaran tubuhnya, ia masih bermain tenis serta sesekali masih bertanding dalam suasana persahabatan ke luar kota.

Sepertinya semangat Tidak Cepat Menyerah, Aku Sanggup, Aku bisa, yang tertoreh dalam sepenggal puisi di dalam buku inilah, yang ingin ia bagikan kepada kita semua, khususnya warga lanjut usia.( Rosiany T Chandra)

Pastor Leo Van Beurden, OSC TAK PERNAH DIDOAKAN, TAK PERNAH DIMIMPIKAN


Barangkali kita masih belum lupa, bahwa pada hari Jumat, 29 April 2011 lalu adalah hari perkawinan Pangeran William dengan Kate dari negeri Inggris. Hari itu banyak orang yang nongkrong di depan TV, guna langsung menyaksikan peristiwa bersejarah itu.

Situasi itu pula yang sepertinya terjadi di ruang rekreasi pastoral Gereja Katedral, Bandung. Tak lama kemudian, seseorang menyampaikan pada Pastor Leo, bahwa ada telepon dari negeri Belanda untuknya. Ia pun digiring ke arah arena tempat berkumpulnya tamu- tamu yang ingin menyaksikan “ peristiwa bersejarah” tersebut.
Ternyata yang menelepon adalah walikota Kerkdriel, kota kecil tempat kelahiran Pastor Leo di negeri Belanda. Masih dengan terheran-heran, Pastor Leo menjawab suara dari video call yang ditayangkan Skype melalui layar tancap yang telah dipersiapkan itu. “ Apakah anda bisa melihat saya ? “, terdengar suara dari seberang sana. “ Ya, saya melihat anda, seorang bapak dengan kumis yang terhias rapi! “, demikian gurau Pastor Leo yang memang dari sononya kocak. Hadirin pun gelak tertawa, baik yang ada di Katedral saat itu, maupun yang ada di negeri Belanda, seperti yang tampak jelas di latar belakang layar.

Barisan Kesatriaan

Sejurus berselang, sang walikota mengambil sebuah lencana dan mengarahkannnya ke kamera, sehingga tampak jelas bentuk serta warna lencana tersebut. ”Orde Van Oranje – Nassau memberikan penghargaan ini kepada anda dan sekaligus mengangkat anda sebagai Ridder in de Orde Van Oranje – Nassau”, pesan sang walikota dalam bahasa Belanda. Langsung riuh gemuruh suara tepuk tangan bersamaan terdengar bersamaan, baik dari Katedral, Bandung maupun yang berasal dari sejumlah penonton yang ada di Belanda. Itu adalah kali pertama kali bagi Orde Van Oranje - Nassau, memberikan sebuah penghargaan melalui sebuah tele-conference.
Ini adalah sebuah kejutan luar biasa yang sedikitpun tak pernah mampir dibenaknya. Seperti yang ia ungkapkan kemudian: “ Sama sekali tak pernah di doakan, tak pernah di impikan, tak pernah disangkakan! “

Ridder in de Orde Van Oranje – Nassau artinya adalah Ksatria dari Orde Van Oranje – Nassau. Orde Van Oranje - Nassau adalah keluarga dimana ratu dan raja Belanda berasal. Penghargaan ini diberikan setiap tahun oleh Kerajaan Belanda kepada orang-orang yang dianggap telah berjasa bagi sebuah karya pelayanan di bidang sosial kemasyarakatan. Singkatnya, Pastor Leo Van Beurden resmi masuk dalam barisan ksatriaan dari Orde Van Oranje – Nassau sejak 27 Desember 2010 dengan nomer 10.003604, demikian yang tertera pada serifikat dan lencana yang ia terima secara fisik pada tanggal 19 Juni 2011 di negeri Belanda, langsung dari sang walikota Kerkdriel.

Sebuah Kejutan Bagi Imamat ke Empat Puluh

Semula, kejutan ini akan diberikan sebagai hadiah bagi imamatnya yang ke empatpuluh, pada 27 September tahun lalu. Namun karena berbagai kendala yang dihadapi, terutama tentang status kewarganegaraannya yang sudah WNI, ternyata memakan waktu lebih lama dari perkiraan semula. “Meski demikian, akhirnya berbagai surat rekomendasi yang diperlukan berhasil dikumpulkan oleh berbagai pihak yang sudah membantu, terutama dari seorang rekan sesama OSC di Bandung, yang dikontak oleh Gerard, kakak saya.”, tambah pastor Leo. Usaha itu kemudian membuahkan hasil, ketika Februari 2011, didapatlah sebuah kepastian dari Orde Van Oranje – Nassau.
Sejak itu diaturlah berbagai strategi yang diperlukan, bagaimana mengupayakan pemberian penghargaan tersebut pada tanggal 29 April 2011, mengingat pada tanggal itu Pastor Leo tidak bisa berada di Belanda.

Karya Sosial Kemasyarakatan

“Sebenarnya masih banyak orang lain yang lebih berjasa dan layak menerima penghargaan ini dari saya “ ujar Pastor yang sejak 1971 berkarya di Indonesia ini. “Namun saya bersyukur dan beruntung karena toch, pada akhirnya saya merasa bangga, karena merasa ada yang menghargai pekerjaan saya” , ungkapnya dalam logat Belanda yang kental.
Salah satu yang mendasari keputusan pemberian penghargaan ini adalah, semangat misi pelayanannya yang tak pernah surut di luar negeri, tiga bulan semenjak ia ditahbiskan di negeri kelahirannya. Selain itu, karya sosialnya terutama di bidang pendidikan, koperasi serta pelayanan orang sakit tentu mendapat catatan tertentu dalam keseluruhan penilaian tersebut. Di bidang pendidikan, Pastor yang humoris ini adalah ketua Yayasan Salib Suci sejak Mei 1999 hingga kini. Yayasan ini membawahi enampuluhsembilan sekolah katolik ( tigabelasribu anak) yang tersebar di Jabar, bukan hanya di Bandung, melainkan sampai ke Indramayu, Pamanukan, Ciledug- Cirebon, Jatibarang ( duapuluh enam lokasi) dll. Kecintaan serta totalitasnya pada dunia pendidikan tak perlu diragukan lagi, dimana ia turut serta membangun dalam meletakkan nilai – nilai dasar di sejumlah sekolah katolik tersebut pada awalnya. ” Saya berusaha supaya anak-anak mendapat pendidikan; pertama budi pekerti, kemudian menjadi orang yang cerdas, jujur, berdisiplin, bersih dan cinta sesama manusia”, ungkapnya.
Keprihatinannya pada bidang sosial ekonomi juga tampak dalam karya nyatanya dalam membangun koperasi bagi nelayan di Indramayu, pada masa awal kedatangannya di Indonesia.

Sejurus itu, tanggung jawab sebagai pastor kepala, St. Petrus- Bandung tetap ia lakoni sehari-hari. "Seminggu sekali orang-orang yang merasa lapar dan tidak kebagian berkat yang Tuhan sediakan, ya gelandangan, pemulung, fakir miskin datang ke halaman saya dan diberi makanan. Mereka bisa makan sampai kenyang dan hanya bayar dua ribu rupiah.” ujar pastor yang tak canggung bergaul dengan lapisan masyarakat manapun ini. Menyikapi soal kerukunan antar umat, mantan Vikjend Keuskupan Bandung ( 1988- 1997) ini berkata: “Saya berusaha menjalin hubungan yang baik dengan tokoh-tokoh agama lain dengan mengadakan pertemuan dengan mereka”

Selain mengemban karya pastoral dimana ia ditempatkan, pastor kelahiran 1942 ini, masih sempat menulis tiga buah seri buku ‘How To Enjoy The Holy Bible’ yang sampai kini masih dicetak ulang. Dua buku berisi kumpulan khotbah-khotbahnya juga sudah di terbitkan.
Agaknya semua yang ia kerjakan, telah mendapat perhatian khusus dan menjadi bagian yang penting dari Orde Van Oranje - Nassau, dimana dalam keputusannya memang tak terkait dengan agama tertentu.

“ Saya berterima kasih kepada umat dan Keuskupan Bandung, terlebih-lebih kepada teman se ordo, OSC ( Ordo Salib Suci), yang telah memungkinkan saya bisa berkembang hingga saat ini “, demikian pesannya pada akhir pembicaraan.(Rosiany T. Chandra)

Mau Diusirpun Tetap Nongol



Ketika ayah Nanoet secara pribadi mohon izin kepadanya untuk menikah kembali pada tahun 1997, ia sontak tidak menghalanginya. Hal itu terjadi karena ia tahu persis betapa pahit dan pelik rasa hati itu kala tujuh tahun silam berselang, pernikahannya tidak direstui oleh ayahnya.

Wanita pengusaha sebuah Resto ternama di kota kembang yang bernama lengkap Meyanna Nugroho ini, kembali teringat akan peristiwa pada waktu ia akan menikah dengan tambatan hatinya, Jonni BS Nugroho, yang kini telah menjadi suaminya sejak 25 Desember 1989.
Nanoet, demikian ia sehari-hari disapa, adalah bungsu dari empat bersaudari yang perempuan semuanya. Kendati ayah dan ibu Nanoet beragama islam, Nanoet dan saudari lainnya pernah mengenyam pendidikan di sekolah katolik. Lulus Sekolah Menengah Atas St. Angela pada tahun 1985, Nanoet lalu diterima di fakultas FISIP, jurusan Hubungan Internasional, Universitas Katolik Parahyangan. Ia bertemu Jonni, pada acara Malam Gembira yang diselenggarakan oleh himpunan mahasiswa FISIP. Nanoet tampil sebagai salah satu pengisi acara dalam malam keakraban tersebut; sementara Jonni, adalah ketua kelompok Padhyangan yang melatih acara yang akan ditampilkan. Sejurus kemudian, rupanya
hati mereka saling berpaut, dan sejak 1987 mereka resmi berpacaran.

Backstreet

Ayah Nanoet, seorang dosen dan ketua jurusan di sebuah universitas terpandang di Bandung, tentu saja tak memberi restu atas hubungan mereka itu karena Jonni seorang katolik yang tak seiman dengan Nanoet. Walaupun saat itu Jonni sudah bekerja, Nanoet tetap tidak bisa meyakinkan ayahnya. Ibu Nanoet (almarhum) yang pernah mengenyam pendidikan Belanda, lebih lunak. Tak bisa dihindari, mereka pun pacaran secara backstreet dengan sepengetahuan ibunya. Kini, ibu dari dua putra (Bimo, 20) dan (Adhi 15) itu mengenang bahwa hanya itulah satu-satunya jalan saat itu untuk tetap bisa menjalin kasihnya dengan Jonni. Nanoet dan Jonni tidak pernah berkecil hati atas kurangnya dukungan itu dan tetap memperjuangkan cinta mereka. Sehari-hari Nanoet tetap giat menyelesaikan kuliahnya dan tidak pernah sekalipun menaruh benci pada ayahnya. Sebaliknya, keluarga Jonni, sebuah keluarga katolik yang terpandang di kota Bandung, sejak dari awal tidak pernah menghalangi kehadiran Nanoet.

Pada tahun 1989, saat ia menyusun skripsi, Jonni melamarnya. “Pada saat itu hanya satu hal yang timbul dibenak saya, yakni; saya ingin menikah dengan Jonni!” serunya dengan tekad yang bulat. Sebenarnya Jonni pun siap untuk pindah agama. Namun oleh alasan yang sederhana, yakni masalah pendidikan anak nantinya, akhirnya Nanoet-lah yang pindah agama. “ Saat itu aku mau menjadi katolik, karena ingin menikah dengan Mas Jonni, itu saja alasannya”, akunya dengan jujur danspontan.

Diusir
Diam-diam ia sudah mempersiapkan segala sesuatunya, baik untuk
baptisan maupun untuk hari pernikahannya. Ibunya mengetahui rencananya tersebut, namun tidak bisa berbuat banyak karena tidak ingin menimbulkan amarah ayah Nanoet yang belum mengetahui rencana mereka. Akhirnya menjelang Natal, pada tanggal 21 Desember 1989, Nanoet dibaptis menjadi katolik. Ketika kenyataan ini toch diketahui sang ayah, tak pelak hari itu juga Nanoet diusir oleh ayahnya keluar dari rumah. Padahal itu adalah empat hari menjelang hari pernikahan mereka yang sudah ditetapkan, pada tanggal 25 Desember 1989. “ Biar bapak bilang, aku bukan anak bapak, namun kenyataannya darah bapak mengalir padaku, jadi aku tetap anak bapak”, ratap Nanoet pada saat terpaksa
meninggalkan rumah orang tuanya hampir 22 tahun yang silam.

Satu-satunya tempat ia bisa mengungsi sementara waktu, adalah ke
tempat eyang dari ibu. Sehari menjelang pernikahannya, ia pun
mengalami teror yang tidak menyenangkan dalam upaya menggagalkan rencana pernikahannya. Sekali lagi Nanoet tidak pernah meratapi atau berkecil hati dalam menghadapi semuanya. Ia dan Jonni tetap tegar dan telaten menjalaninya. Hari Natal, tanggal 25 Desember 1989, menjadi moment yang bersejarah saat cinta mereka diikrarkan dalam sakramen perkawinan di gereja Salib Suci- Kemuning. Saat itu adik ibunya dan kakak yang tertua yang menjadi wali Nanoet. “ Yang aku rasakan saat itu adalah sedih dan gembira, yang ku tak tahu mana porsinya yang lebih besar” demikian ujar wanita yang termasuk cantik ini. “Selain itu, perasaan deg-deg dan was-was akan terjadinya sesuatu juga mencekam ku”, tambahnya dengan mimik yang serius. Bahwa, pada akhirnyasemua saudaranya mendukung pernikahan ini, adalah kenyataan yang amat ia syukuri.

Batu ditetesin bolong
“ Layaknya batu kalau di tetesin terus akhirnya juga akan bolong”,
demikian prinsip nya dalam menghadapi ayahnya. “ Biar aku diusir, aku tetap nongol di rumah orang tuaku setelah kami menikah” ujarnya tanpa sedikitpun menyiratkan rasa dendam. “ Kendati aku dan Mas Jonni tidak diajak berbicara oleh ayah, kami tetap hadir dalam acara yang diadakan oleh keluarga seperti tidak terjadi apa-apa”, tambah Nanoet sambil meminum juice di sore yang terik itu.

Sampai suatu ketika, saat ayah Nanoet ingin menikah kembali,
sepeninggal ibunda tercinta pada tahun 1996, Nanoet sama sekali tidak menentang rencana ayahnya. Ia faham betul, bagaimana rasanya menjalani pernikahan yang tak mendapat restu saat itu.

Silaturahmi yang sefihak ini berlanjut terus setelah pernikahan
ayahnya. Rupanya aksi “kuat-kuatan” dari Nanoet ini membuahkan hasil. Sampai pada suatu ketika di malam takbiran di tahun 2000, ayah Nanoet bertanya singkat padanya:” Jonni mana?” “ Suruh kesini”, pinta ayahnya luluh. Bukan main senangnya Nanoet dan Jonni saat itu. Menunggu tiba hari yang berbahagia ini selama sepuluh tahun lamanya, bukanlah waktu yang sebentar. Seiiring dengan berjalannya waktu, hubungan mereka pun mencair dan makin membaik.

Aktif di gereja
Selain mengelola resto miliknya, Nanoet sudah mulai aktif di gereja
sejak 1994. Mantan ketua lingkungan dalam dua periode ini juga mengisi hobbi menyanyinya sebagai pemazmur di parokinya, St.
Laurentius-Bandung. Selain sebagai anggota koor St. Caecelia, ia pun
adalah ketua KEP (2007) serta menjadi tim pemerhati sekolah SD St.
Jusuf I/II. Ternyata ia punya cerita khusus, ketika ditanyakan awal
keterlibatannya yang semula hanya sebagai katolik KTP saja.

Pada tahun 2006, suaminya mengalami patah tulang rusuk dalam
kecelakaan saat mengendarai motor gede. Kondisi Jonni pada saat itu termasuk parah dan ia sempat menerima sakramen perminyakan. Bersama dengan warga lingkungan, Nanoet berdoa serta memohon agar suaminya dipulihkan. ”Tuhan, sampai Jonni sembuh, aku terserah Tuhan deh, mau suruh apa saja, aku akan jalani”, demikian janjinya dalam doa. Mujizat pun terjadi, Jonni tidak perlu menjalani operasi yang seyogyanya akan dilaksanakan untuk menghentikan pendarahan yang semula membenam dirongga dadanya.

Pada hari Jumat Agung itu, Jonni pun keluar dari rumah sakit dan
perlahan-lahan segera pulih. Sejak saat itu Nanoet , sesuai janjinya,
ingin berbagi dengan senang hati dalam berbagai bentuk pelayanannya digereja.
Menekuni hidup ini dalam ketelatenan dengan tak menyimpan rasa dendam sedikitpun, telah menolong Nanoet ringan dalam menjalani setiap tapak yang ditempuhnya.(Rosiany T Chandra)