Selasa, 16 Oktober 2012

A Flirt On The Street

Tadi pagi usai berolahraga pagi, aku segera memacu laju mobilku agar segera tiba di rumah untuk memulai aktifitas yang lain. Di tengah perjalanan , aku teringat sesuatu. Ada wesel pos hasil menulis yang sudah beberapa hari berada di dalam tas ku. Aku belum sempat saja ke kantor pos untuk menebusnya.
Karena kantor pos berada di seberang jalan,Segera aku ingin memutar balik arah mobilku, namun aku sudah melewati lajur antrian panjang mobil mobil yang ingin berbalik arah.Aku tidak lagi berada di jalur tersebut. Akan tetapi aku belum melewati mulut arah perputaran tersebut.Secara reflex sambil menghidupkan sign lampu ke kanan, aku segera menepikan mobil, berharap ada mobil di dalam antrian yang berbaik hati mengizinkan aku masuk dalam lajur antrian.
Benar saja, mobil di belakangku berbaik hati mengizinkan aku masuk. Segera aku lambaikan tangan ke belakang dari kaca jendela mobil yg aku buka. Setelah berhasil memutar arah, jalan menyempit,sehingga aku memperlambat laju mobilku, agar si pengemudi yang memberi aku jalan tadi, bisa melaju terlebih dahulu. Sengaja aku membuka jendela kiri mobil, kembali berterima kasih sambil melambaikan tangan ku. Rupanya ia juga membuka kaca mobilnya, lambaian tanganku di balas kembali olehnya.Kali ini ditambah sebuah kedipan mata! Sesaat aku terkesima, namun secara reflex segera mengedipkan mata kembali kepada si pria handsome paruh baya. ha ha...A flirt on the street! What a very nice day:) :) Langsung saja mobil ku pacu sekencang2nya...

Senin, 10 September 2012

Embun Perawan

Saat kuinjak butir embun perawan pagi
Nuansa dingin menusuk kaki menyergap jiwa
Hati yang pengap makin tergolek lemah
Kutadahkan wajah menatap pesona sang surya
Rasa hangat menjalar mencairkan selaput embun
Yang membalut hati dengan rasa dingin membeku
Kembali kurasa tak sebatangkara
Kehangatan pun ternyata datang menerpa
Diawali embun mutiara pagi..
Juli 2012

Gadisku Dan Kecoa

Beberapa hari lagi, gadisku akan kuliah ke FKG Trisakti, Jakarta. Tempat pondokan dan beberapa keperluan yang lain sudah mulai disiapkan semenjak beberapa minggu yang lalu.
Jakarta - Bandung memang ga jauh sih untuk berpisah dan mandiri dari orang tua.Kini, sebenarnya dimanapun di dunia ini hanya terpisah sejauh jarak jangkauan teknologi saja. Ataupun hanya terpisah ruang airport to airport.Selain itu, dengan usia seorang lulusan sekolah menengah tinggi, rasanya tak ada yang perlu aku kuatirkan secara berlebihan.
Aku jadi teringat saat aku pergi dari rumah dulu untuk kuliah ke luar negeri dengan usia yang 2 tahun lebih muda dari usia gadisku saat ini.Bersamaku saat itu, seorang sahabat masa kecilku ikut serta berangkat untuk merajut mimpi mimpi anak muda untuk kuliah ke Jerman.
Aku masih ingat, saat itu kedua orang tuaku mengantar aku hanya sampai bandara saja. Sejauh yang aku ingat, ibuku tak menyiratkan sebuah ekspresi di wajahnya. Entah apa yang ada di hatinya, sulit aku tebak. Aku hanya ingat bahwa ayahku menahan rasa haru diwajahnya..Akhirnya bulir airmata itu tumpah juga akhirnya.
Untuk usiaku yang 17 tahun saat itu, aku cukup bisa menahan emosiku dengan baik. Aku tidak ikut larut dalam suasana haru yang menyusup seketika. Usai mengencangkan sabuk pengaman di kursi pesawat yang membawaku ke negeri transit Singapura, tak terbendung lagi air mataku. Aku menangis sejadi jadinya.Sahabat yang duduk disampingku juga ikut menangis. Tak ada satu pun dari kami bisa berucap kata kata. Kami juga tidak saling menghibur, kami tidak saling bertatap..Namun kami tahu bahwa kami masing masing sedang menangis. Entah apa yang bermain di benak sahabat ku saat itu, hingga kini tak kuketahui. Yang aku tahu saat itu, ketika roda pesawat menyentuh daratan di Singapura, aku makin menangis karena dengan sadar mengetahui bahwa aku kini sudah kian menjauh dari rumah.
Kami duduk di deretan yang berisi tiga tempat duduk. Dijung sana duduk seorang bule, yang belakangan kami ketahui adalah seorang bule Jerman.Si bule tentu memperhatikan kami berdua yang menangis tak henti henti. Akhirnya ia penasaran juga dan mengajak kami berdialog. Dari situ kami tahu bahwa ia adalah seorang guru dan iapun memaklumi ketika mengetahui mengapa kami menangis!
Setelah tiba di negeri "mimpi", awalnya kami bak orang yang bengong..tak mengerti apa apa saat diajak berbicara dalam bahasa Jerman. Semua yang tampak adalah tulisan Jerman, segala yang di dengar, bahasa itu juga. Segala yang di TV, di majalah dan dimana mana....semua Jerman. Capek deh..!Kendati aku sudah les bahasa Jerman jauh jauh hari sebelum berangkat, rupanya itu tak terlalu banyak membantu.Belum lagi hati yang masih tetap galau pisah dari rumah...
Singkat cerita, toh akhirnya setelah 3 bulan menetap disana, kami berdua survive juga..Kini, 32 tahun telah berlalu, sahabatku bahkan telah menikah dengan orang sana dan masih tetap bermukim disana hingga kini. Sedangkan aku pulang kembali ke ibu pertiwi.
Kembali ke kisah gadisku yang hendak merajut mimpinya, aku tak terlalu khawatir, karena tak ada kendala bahasa dan "medan peperangannya" relatif lebih lembut dari apa yang kami alami saat itu. Selain itu, gadisku juga cukup mandiri dan bisa menggunakan akal sehatnya dengan baik. Ia tergolong gadis yang pemberani dan tidak cengeng. Ia tak gentar akan ular berbisa, berani memegang dan berfoto dengannya. Ia berani memegang cacing, anjing dan binatang lainnya dengan penuh kasih dan kelembutan. Ia juga gemar berkuda dan amat sayang sama binatang yang satu ini. Selain menunggang serasi, ia juga meloncat sesekali dengan kudanya. Sejak kecil ia mengerjakan segala sesuatu keperluannya dengan baik dan disiplin. Mempersiapkan jauh jauh hari segala keperluannya dan mencatat apa apa yang ia perlukan. Hal ini bahkan sering merepotkan aku, karena aku sering "di desak" untuk action jauh hari demi plan nya yang sudah ia susun rapih.
Hanya ada satu yang aku kuatirkan tentang dirinya, dan ini cukup mengganggu pikiran ku akhir akhir ini. Gadisku tak bisa melihat kecoa!! Kalau ada kecoa di kamar mandi atau di kamar tidurnya, ia langsung menjerit histeris. Dan segera meminta agar seseorang membantu untuk menyingkirkannya. Kalau di rumah ada pembantu, mereka lah sasaran jeritannya untuk segera datang dan "memusnahkan" binatang itu! Jika kecoanya sudah matipun, ia tetap akan berteriak untuk minta seseorang segera mengambilnya untuk menyingkirkannya..
Pusinglah aku jadinya....! Gimana caranya supaya tempat pondokan bebas dari kecoa???? Nyaris tak mungkin di Indonesia..!? Galauuuu...... Sukses ya nak, semoga tak ada kecoa nanti yang menghampiri ya!

Sabtu, 25 Agustus 2012

Nonton Bareng Soegija di Bandung

Yulvi (23), mahasiswi Fakultas Vikom Universitas Pajajaran Bandung bersama teman-teman kuliahnya ikut antri untuk menonton pemutaran perdana film Soegija di Blitz - Paris Van Java, Bandung. Bersama mereka, serombongan besar umat paroki Santa Perawan Maria Sapta Kedukaan dan St Laurentius , Bandung komplit dengan para gembalanya ikut nonton bareng memadati studio cinema yang berkapasitas 190 tempat duduk tersebut. “Kegiatan nonton bersama ini terutama menjadi sebuah ajang dalam memupuk tali persaudaraan dan keakraban antar umat”, ujar Pastor Agustinus Sudarno, OSC yang berada di tengah-tengah umat parokinya.
Yulvi mengatakan bahwa, ia bersama teman-temannya tergerak untuk menonton film ini, kendati belum mengetahui siapa sosok Soegija ini sebenarnya. “ Sutradara Garin Nugroho menjadi salah satu daya tarik bagi saya, selain setting dari gereja kuno serta pesan nasionalisme dalam suasana kemerdekaan tentu punya daya tarik sendiri”, ujar mahasiswi yang berjilbab ini. Disamping itu biaya produksi yang 12 M ikut membuat ia penasaran.
“ Sayang karakter Soegija yang diperankan aktor Nirwan Dewanto, belum berhasil menampilkan sosok Soegija yang berwatak seperti yang saya baca di bukunya, demikian ujar Anita Lestari usai acara nonton bareng ini. “ Sepertinya sosok Soegija “tertutup” oleh peran Mariyem yang lebih menonjol”, imbuhnya kemudian. Namun Anita mengatakan bahwa, ilustrasi musik dan setting artistik jadoel di film ini sangat bagus.
( Rosiany T Chandra) Telah dimuat di HIDUP Juli 2012

Tradisi Morning Coffee

Usai misa hari Minggu pagi di Kapel Kabar Gembira Maria, Intan bergegas keluar kapel yang terletak di halaman belakang sekolah St Aloysius- Bandung. Kapel bagi para mahasiswa ini sekaligus menjadi tempat beribadat para frater dan pastor dari biara Ordo Salib Suci (OSC), yang memang menempati lahan yang bersebelahan langsung dengan sekolah katolik tersebut.
Intan adalah salah satu mahasiswi katolik di sebuah Perguruan Tinggidi Bandung. Ia segera bergabung dengan teman-teman seiman lainnya, yang sudah menunggu di depan kapel. Mereka saling bertegur sapa, lantas berjalan bersama-sama menuju halaman biara yang menyatu dengan halaman samping kapel. Di ruang makan biara, sudah menunggu beberapa rekan mahasiswa lainnya. Suasana makin riuh penuh canda dan tawa. Beberapa frater juga ikut nimbrung, sehingga menambah semarak Minggu pagi itu. Aroma kopi dan teh menjadi penghangat dan pelengkap keakraban diantara mereka.
Daya Pikat
‘Morning Coffee’, sudah menjadi tradisi Gereja Mahasiswa ( GEMA) sejak awal berdirinya komunitas ini pada tahun 1976. Bermula pada saat itu, Pastor Harry Leermakers, OSC melihat banyak mahasiswa merindukan tempat untuk berkumpul untuk ngerumpi. Baik bagi mahasiswa pendatang dari luar kota maupun dari Universitas dan Perguruan Tinggi setempat. Januari 1976, bersama dengan beberapa aktivis mahasiswa, dimulailah saat itu misa perdana di kapel GEMA (demikian selanjutnya disebut) dengan delapan orang mahasiswa, sebagai tanda didirikannya PUSRO ( Pusat Rohani). Dua minggu kemudian, misa dihadiri oleh enambelas orang. Demikian seterusnya mereka mengajak beberapa teman lainnya.
Seiiring waktu pada tahun 1979, PUSRO berganti nama Gereja Mahasiswa ( GEMA). Lokasi yang dijadikan ajang pertemuan pada saat itu adalah biara OSC. Sejurus berselang, pada tahun 1980 an, di areal belakang GEMA didirikanlah sebuah bangunan tempat sekretariat dengan beberapa ruangan yang dijadikan basis aktivitas mahasiswa di luar kampus. Disini terdapat dapur beserta segala perlengkapannya, ruang tamu, ruang rekreasi, ruang doa, ruang redaksi dan ruang studi yang kini dilengkapi dengan Wi Fi serta beberapa perangkat komputer.
Second Home
Sepulang kegiatan kampus mereka biasanya bersosialisasi sambil mengerjakan tugas-tugas ataupun sekedar saling bertegur sapa layaknya seperti di rumah sendiri.” Tak ada jam malam yang berlaku, namun mereka diwajibkan untuk melapor kepada saya dan satpam, jika harus bermalam dalam mengejar deadline sesuatu yang harus diselesaikan”, pesan Pastor Hendra Kimawan, OSC yang sejak 2009 bertugas sebagai pastor pendamping. Kini, gedung tersebut sedang dalam tahap renovasi, yang diprakarsai oleh beberapa mantan aktivis GEMA.
Pastor (alm) Jan Sunyata, OSC yang saat itu sebagai dosen pengajar agama katolik di ITB membawa banyak mahasiswa katolik untuk ikut bergabung di GEMA. “Setelah bergabung, sebagian besar dari mereka yang memang anak kos, seperti menemukan second home, tempat mereka bisa berbagi dan berlabuh”, ujar Anjar Anastasia, aktivis pendamping mahasiswa di GEMA. “Hingga kini gedung tersebut menjadi tempat nostalgia yang tak pernah putus diantara alumni”, imbuhnya kemudian. “ Meski pada awalnya kami tak saling kenal, ketemu teman-teman disana langsung merasa dekat”, kata Lukas, mantan aktivis dari Flores.
Pengembangan Gereja Mahasiswa
Dari sejak berdirinya hingga kini, GEMA senantiasa didampingi oleh satu dan/atau dua pastor pendamping serta biarawati. Saat masa pendampingan Pastor Dany Sanusi, OSC ( 1995- 1999), GEMA membuka relasi dan jaringan baru dengan kampus Universitas dan Perguruan Tinggi, seperti ITB, Unpar dan Unpad, dimana mulai diadakan kuliah agama katolik bagi mahasiswa katoliknya. Disamping itu Pastor Dany melihat adanya potensi jumlah mahasiswa katolik yang kurang lebih berjumlah 500 an saat itu di STPDN ( Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri). “ Sebagian besar mahasiswa tidak punya teman curhat yang bisa menampung gejolak muda mereka”, kenang Pastor Dany. Selain itu letak kampus IPDN (kini Institut Pemerintahan Dalam Negeri)di Jatinangor jauh dari gereja terdekat yang ada. Selain IPDN, kampus UNPAD dan dua perguruan tinggi lainnya juga berada di wilayah Jatinangor.
“ Pihak IPDN merespons baik usulan yang disampaikan untuk membangun sebuah kapel di dalam lahan IPDN” jelas Pastor Dany kemudian. Dan tak lama kemudian berdirilah kapel St. Albertus Magnus, yang sedari awal didirikan, bukan hanya tempat beribadat para mahasiswa, namun juga terbuka bagi umat yang tinggal di sekitar kampus. Kegiatan di St Albertus Magnus kemudian menjadi bagian dari reksa pastoral Gereja Mahasiswa.
GEMA Sebagai fasilitator
Secara struktural, GEMA diketuai oleh seorang koordinator ( Leo Naibaho), sekretaris ( Maria Yana) dan bendahara( Caesilia Natalia). Aktivitas anggota mahasiswa ditampung dalam Kelompok Pelayanan GEMA (KPG). Selain dalam kegiatan berliturgi, tiga bulan sekali mereka menerbitkan buklet. Disamping itu, KPG melayani setiap KMK ( Keluarga Mahasiswa Katolik ) yang ada di kampus-kampus dalam setiap kunjungan rutin yang mereka lakukan sebulan sekali, antara lain saling bersilaturahmi dalam menyelenggarakan ibadat bersama. Disamping itu, GEMA bersosialisasi pula dengan merajut jaringan dengan orang muda katolik/non katolik di seluruh Indonesia.
Sebagai fasilitator, untuk mempererat unit unit KMK, GEMA mengajak KMK yang ada di masing –masing Universitas dan Perguruan Tinggi untuk misa bersama. Secara innovatif, GEMA mencoba merancang misa yang berbau orang muda, sejauh tetap dalam kerangka liturgis. Selain itu nilai – nilai yang berbau tradisi dan konvensional diusahakan tetap sebagai daya pikat yang kental. Sudah menjadi tradisi dari generasi sebelumnya, dalam kurun waktu setelah Rabu Abu dan sebelum Minggu Palma, diadakan lima kali Ibadat Rabu Tobat. Ibadat ini menjadi daya tarik sendiri, dimana antara lain ditampilkan drama kecil, pembicara dengan tema dan penyajian yang berbeda, baik dari dalam maupun luar gereja. Ibadat ini biasanya melibatkan rumah biara lain, imam Projo, susteran & frateran dll.
Kepedulian Dan Pelatihan
Kepedulian sosial GEMA ditunjukkan pula dalam kunjungan ke Panti Werdha, Rumah Yatim dan membagikan makanan ke anak jalanan. Dalam memupuk tunas kepemimpinan, secara rutin dalam lima tahun berturut-turut diadakan Student Leadership Camp. Tahun ini akan diadakan di Gambung ( 27/8- 2/9) dengan tema : Kepedulian. Camp ini terbuka bagi setiap mahasiswa katolik yang berada di dalam/luar Bandung. Berbagai pelatihan lain juga pernah diberikan GEMA, seperti pelatihan liturgi, fotografi, jurnalistik, videografi dan Ajaran Sosial Gereja( ASG). Terdapat kurang lebih 5000 mahasiswa katolik yang berada di Keuskupan Bandung. GEMA terbuka bagi siapa saja yang katolik dan mahasiswa. Tidak diperlukan persyaratan khusus dalam mendaftar. Kini, ada sekitar tiga puluh an mahasiswa yang aktif dalam kegiatan GEMA sehari-hari.
“Sejauh ini, biasanya mereka datang untuk membicarakan berbagai kegiatan yang direncanakan di KMK masing-masing universitas”, jelas Pastor Hendra. “ Ketika kegiatan di KMK berjalan seirama beriringan dengan program aktivitas yang berlangsung di GEMA, disinilah GEMA lebih bersifat sebagai Forum dan fasilitator”, papar Pastor Hendra, seorang ahli Teologi Kitab Suci.
Masalah internal seperti konflik keluarga, tantangan perkuliahan serta keprihatinan soal ekonomi kerap menjadi problematika yang dihadapi para mahasiswa. Sebisa mungkin GEMA berupaya mendampingi mereka dalam mencari solusi yang tepat. Interaksi atau sharing dengan senior bisa menjadi salah satu alternatif solusi yang baik, selain konseling dengan para pastor pendamping jika diperlukan.
“ Dewasa ini masih cukup banyak mahasiwa yang hanya fokus kepada bidang studinya saja, sehingga mengabaikan interaksi dalam belajar berorganisasi”, kata Pastor Hendra dengan nada prihatin. Namun pastor Hendra berharap, mereka datang ke GEMA bukan hanya untuk ngobrol saja, namun lebih sebagai tempat memupuk iman. Seiiring waktu, tradisi mingguan Morning Coffee ini bersinergi dengan CafĂ© du Croisier, acara dwibulanan ‘spiritual evening coffee’ dari biara OSC yang dikemas dengan presentasi, ngerumpi serta diskusi topik topik rohani yang menyengat jiwa muda.
( Rosiany T Chandra)

KTP Sapi

Heribertus Susilarto (40) hafal betul nama nama sapi yang diperahnya setiap pkl. 04.30 pagi dan pkl. 15.45 sore harinya. Tanpa menoleh pada papan nama yang tertera diatas setiap sapi yang ada di Pertapaan Trappist Rawaseneng, ia kenal dan akrab dengan Rani, Anas, Patricia dll, nama-nama sapi yang ada di sana.
Heri, demikian ia disapa rekan- rekannya, adalah pria sederhana yang putus sekolah hingga kelas 5 SD, karena ketiadaan biaya. Namun sehari-hari, bersama rekan-rekan yang lain, ia amat rajin dan disiplin sebagai pemerah susu. Kedua tangannya yang lincah dengan terampil memerah sapi, yang kurang lebih berjumlah 135 ekor di peternakan milik Ordo Cisterciencis Strictioris Observantiae (OSCO) yang terletak di daerah Temanggung- Jawa Tengah.
“ Lah saya tahu sapinya sudah dari bayi, jadi sudah hafal sama belang, ciri khas dan bentuk badannya”, demikian papar Heri ketika ditanyakan, bagaimana caranya ia mengenal sapi –sapi peliharaannya tersebut. “ Selain itu, kan saya bapaknya dan yang bikin KTPnya! “, candanya yang disambut gelak tawa rekan –rekan lain sesama pemerah susu yang ada di kandang peternakan yang di kelola dengan baik oleh para rabib disini.
Dua kali sehari, produksi susu siap di transport kepada para pelanggan di wilayah Temanggung dan Semarang. “ Setiap sapi menghasilkan kira –kira 7 ltr - 12 ltr susu setiap kali pemerahan”, ujar suami Sumiyati ini. “ Namun produksi susu bisa terhambat jika sapi stress, terutama ketika tidak mendapat cukup isitirahat siang”, imbuhnya kemudian. Oleh sebab itu, pada jam jam tertentu, seusai jam makan siang, dilarang bagi pengunjung untuk memasuki wilayah peternakan.
Sama seperti semangat spritualisme OSCO, ‘Ora Et Labora’, Heri pun rajin berdoa dan bekerja. “ Aku doa minta anak ”, ujar umat Paroki St Maria Rawaseneng ini dengan polos. Ia mengakui setelah dua tahun pernikahan, momongan yang mereka rindukan, belum kunjung datang.
(Rosiany T Chandra)
Telah dimuat di Apa & Siapa majalah HIDUP nr 35, Agusutus 2012

Kali Ini Bukan Bergaya Dengan Sutil

Indrawati Tjiptorahardjo
Malam itu, Memeng tidak sedang meramu atau mengaduk-aduk masakan dengan sutil di dapurnya yang luas. Indrawati Tjiptorahardjo, demikian nama lengkapnya memang sehari-hari punya hobby dan kecintaan khusus pada kegiatan masak memasak.
Namun malam itu ( 27/05/2012) ia tidak sedang beraksi dengan piranti masaknya , melainkan dengan stick dirigen di atas podium lobby Bale Pertemuan Bumi Sangkuriang, Bandung .
Dengan penuh penghayatan, Memeng menggerak-gerikkan stick dirigen tersebut kian kemari saat memimpin konser 150 siswa/i yang tergabung dalam Indra Music School, yang dipimpinnya. Mereka tampil dalam sebuah orkestra, masing –masing memainkan alat musik biola, piano, flute, gitar dsbnya. Konser ini merupakan acara tahunan yang digelar bagi murid-muridnya yang sudah giat berlatih sepanjang tahun.
Sejumlah lagu klasik dan modern telah dipersiapkan dan diaransemen Memeng, lulusan Piano Paedagogy, East Carolina University, USA ini bagi anak didiknya jauh hari sebelum jadwal pementasan. Tak heran bila akhirnya konser ini mendapatkan sambutan yang antusias dari kurang lebih 450 penonton yang memadati lobby Bumi Sangkuriang, sebuah country club yang telah berusia 133 tahun itu.
Selain mengajar di sekolah musiknya, Memeng juga pernah aktif sebagai organis di katedral maupun di parokinya, St. Laurentius, Bandung. “Saya tidak mengajarkan murid-murid berdasarkan kurikulum musik yang baku, melainkan berdasarkan fleksibilitas yang telah disesuaikan dengan kemampuan masing-masing murid”, ujar Memeng yang masih menjabat sebagai ketua lingkungan dalam periode kedua ini.
( Rosiany T Chandra)
Telah dimuat di HIDUP edisi Juli 2012

Ungkapan Kasih Si Tampang Preman

Kim Hok sangat terharu ketika untuk kesekian kalinya ia bisa kembali menuntun ibunya sambil menatap Bunda Maria di Lourdes pada suatu senja di bulan April yang lalu.
“Ya Bunda, aku amat bersyukur masih dikasih kesempatan bisa hadir lagi disini bersama ibuku”, begitu gumamnya dalam hati saat berdoa menyapa Bunda Maria di tempat ziarah gua Maria –Lourdes. Sambil tetap menggamit pundak ibunya, diiringi sikap tubuh khusyuk membungkuk ia menyampaikan rasa terima kasihnya sambil tetap mengingat betapa banyak orang yang nasibnya tak seberuntung dengannya.
Lajang bernama lengkap Cornelius Kok Kim Hok ini memang gemar berziarah sambil berwisata, baik di dalam maupun ke luar negeri. Setiap kali bepergian, ia selalu mengajak ibunya, Maria Tju ( 78). Tak pernah sekalipun ia meninggalkan ibunya, entah itu sampai ke kutub utara sekalipun. Sehari-hari, tutur katanya pun sangat santun disertai hormat bakti terhadap segala keperluan ibunya. “Kan kasian Mama, dulu kami hidup serba susah. Jangankan bepergian, untuk membesarkan kami yang sembilan bersaudara pun sudah kumuh bergelimang peluh dan air mata”, ujar Kim Hok terharu! “Jadi sekarang saatnya ia menikmati hari tua bersama saya”, imbuhnya kemudian.
Sosok Preman
Penampilan sekilas pria pecinta pernik asesories ini memang tampak kontroversial. Watak dan hatinya lembut dan pengasih, namun sosoknya tak pelak lagi nampak garang a'la preman dengan segala atribut anting dan gelang yang menggelantung meriah. Namun ungkapan yang mengatakan “Jangan menilai sesuatu dari bungkusnya”, agaknya memang sangat tepat ditujukan bagi pria kelahiran 1955 ini. Terlebih ketika ia masuk ke dalam gereja. Sikap tubuhnya yang heboh itu sontak berganti dengan sikap hormat dan tulus yang tak dibuat-buat.
Jauh sebelum ia dibaptis pada tahun 1996 di gereja St. Paulus –Bandung, Kim Hok sudah rajin berdoa Novena dan membaca renungan rohani setiap malam. Saat itu ibu dan adik-kakaknya sudah menjadi katolik. Suasana doa dalam rumahnya memupuk imannya hari demi hari hingga membawanya menjadi seorang katolik, yang ia yakini sebagai sebuah panggilan bukan suratan takdir. "Sampai sekarang pun, kalau malam tak berdoa Rosario, seperti kerasa punya hutang!”, demikian ungkapnya diiringi senyum dan tawa lebar. “Sesulit apapun kendala yang dihadapi dalam pekerjaan, selalu ada jalan. Tak pernah sekalipun Ia mengecewakan saya”, aku pria yang hanya sempat mengenyam pendidikan hingga SD ini. Selain itu Bunda Maria selalu membantunya. Itulah yang senantiasa membangkitkan semangatnya untuk berziarah.
Berdagang Ikan Asin
Sejak masa kecil hingga 1990 ia tinggal di Garut. Bersama orang tua,ia hidup berdagang ikan asin. Kendati hidup prihatin, ia melawati masa kecilnya dengan bahagia. Sejak kecil Kim Hok memang gemar memasak. Hobby masaknya itu dapat ia salurkan kerna saat berangkat remaja ia bekerja pada sebuah catering di Garut. Disana ia banyak belajar tentang seluk beluk bisnis catering ini. Kemudian pada tahun 1992, Kim Hok hijrah ke Bandung. Disini ia mulai bergulat jatuh bangun dalam mengawali usaha jasa catering dengan mandiri kecil-kecilan. Tahun demi tahun berselang, usahanya membuahkan hasil serta berkembang pesat. Kim Hok melayani pesta dari pesanan 100 hingga 4000 orang. “Namun belum pernah untuk 5000 orang seperti Tuhan Yesus menyediakan roti dan ikan di bukit”, diiringi gelak tawa Kim Hok yang memang gemar bercanda.
Berkat Untuk Dibagikan
Kini, berkat rezeki yang dimilikinya, Kim Hok tetap hidup sederhana dan senang bisa berbagi sebanyak mungkin kepada sesama. “ Aku hidup sendiri, makan juga hanya sepiring nasi, buat apa aku berkat banyak-banyak kalau tak dibagikan kepada orang lain”, tuturnya dengan mimik serius. Pria yang punya hobby dansa ini serta merta menangguk kebahagiaan ketika bisa menyisihkan rezekinya bagi berbagai keperluan gereja, seperti: kasula, piala, madah bakti, monstran, perbaikan jalan salib dsbnya. “ Berbagi sesuatu kepada orang lain, tanpa melihat sisi materinya, bagiku adalah sebuah saluran ungkapan cinta kasihku kepada anak istri yang tak kumiliki”, gelak Kim Hok dengan santai. Selain itu ia menyampaikan bahwa saat muda, ia amat sibuk dengan pekerjaannya, sehingga tak sempat menikah. “ Kini serba tanggung juga untuk menikah”, katanya dengan raut wajah tanpa sesal sedikitpun.
Selain senang berbagi kepada para saudara dan keponakannya, kepada para karyawannya pun Kim Hok tak pelit dan selalu memperhatikan kesejahteraan mereka. “ Sehari-hari, sebelum saya keluar rumah, saya musti menyediakan makanan yang cukup bagi mereka. Kan kasian mereka tak bisa keluar rumah, sedangkan saya kan bisa makan dimana saja”, demikian paparnya sambil merapihkan gelang yang gemerincing di pergelangan tangannya. “ Pak Kim Hok adalah bos yang terlalu baik, kocak dan sangat dermawan”, kata Soleh, karyawan yang telah mendampinginya selama 16 tahun. “ Ia sangat cepat mengulurkan bantuan kepada korban bencana alam” tambahnya kemudian.
Sebaliknya kepada mereka, Kim Hok bersikap seperti kepada saudaranya sendiri. Oleh sebab itu kepercayaan yang ia berikan telah berbuah loyalitas masa kerja hingga belasan tahun. “Biarlah saya makan ikan peda, asal mereka boleh menikmati daging“, demikian umpama ilustrasi yang ingin ia ungkapkan tentang kepeduliannya terhadap karyawannya.
Tak Usah Dipikir
Saat musim sepi pesta pernikahan tiba ataupun di sela-sela kesibukannya ia bebas pergi berwisata kemana saja. Namun ia tetap mengutamakan ziarah kepada Bunda Maria dan ke biara-biara. Kecintaannya kepada saudara, keluarga dan para keponakannya demikian besar, sehingga ia menekankan pentingnya kebersamaan dan kerukunan dalam keluarga. Sehingga apa yang ia miliki adalah milik seluruh keponakan dan saudaranya juga. Hal ini dibuktikan dengan kunci rumahnya yang dimiliki oleh seluruh keponakan-keponakannya. Mereka bebas tinggal dengan leluasa di rumah Kim Hok yang luas. “Saya sudah merasakan sendiri betapa tak enaknya hidup dalam kondisi serba kekurangan, oleh sebab itu saya gemar memberi kepada siapa saja yang memerlukan”, demikan pengakuannya ketika disinggung tentang kedermawaannya.
Di hari tuanya ia tak bercita apa-apa. “Biarkan semua mengalir dan jalanin saja, yang penting aku tetap bisa memberi dan berbagi”, harap Kim Hok. Ia percaya Tuhan yang akan mengatur, dus tak usah dipikir panjang.
( Rosiany T Chandra)
telah dimuat di HIDUP no 29/Juli 2012

Launching buku Ludovicus Doewe, Pelopor Sunda Katolik

Demi Masyarakat Dan Gereja
Tidak tampak kegiatan perkuliahan di Gedung Fakultas Filasafat Unpar sore itu, Sabtu ( 26/5). Namun di Aula, pada lantai dasar ada sebuah keramaian yang sedang terjadi. Dari spanduk yang terbentang besar di latar belakang dinding, terbaca tulisan : ‘Launching Buku – Ludovicus Doewe, Pelopor Sunda Katolik’.
Ada tiga orang pembicara yang diundang dalam acara bedah dan luncur buku karya Pastor Heri Kartono, OSC ini. Mereka adalah Pastor Agus Rachmat, OSC (mantan propinsial OSC), Prof Jakob Sumardjo (budayawan, sastrawan) dan Vikjend Keuskupan Bandung, Pastor Paulus Wirasmohadi Soerjo, Pr. Dalam acara ini, Mgr Glen Lewandowski, OSC, Master General OSC yang sedang mengadakan visitasi di Bandung turut hadir menyaksikan. Hal ini tentu menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi pastor Kartono, karena mereka berdua pernah tinggal serumah, saat Pastor Kartono mendampingi Master General sebagai Conselor selama enam tahun di Roma ( 2003 – 2009).
Selain itu, hadir pula Pastor Agust Surianto, Pr yang memberikan kata sambutannya, selaku direktur Penerbit buku ini ( Obor). Dekan Fakultas Filsafat Unpar, Pastor C. Harimanto, OSC ikut mendukung acara dengan menyediakan tempat bagi berlangsungnya acara yang akrab dan penuh nostalgia ini. Selain kehadiran beberapa anggota keluarga dari Pak Doewe sendiri, hadir pula para alumni dari St Thomas, Ciledug, sekolah yang didirikan oleh pak Doewe. Kesempatan ini sekaligus dimanfaatkan sebagai ajang reuni diantara mereka.
Di depan sekitar 135 undangan yang hadir, Pastor Heri Kartono, OSC menyampaikan bahwa buku ini ditulis pertama-tama sebagai bentuk penghargaan yang setinggi-tingginya atas jasa Pak Doewe, yang boleh disebut sebagai pionir katolik di tanah Pasundan. Beliau dibaptis menjadi katolik pada tahun 1927. “ Selain itu, semoga semangat serta keteladanan Pak Doewe yang luar biasa ini dapat ditularkan kepada siapa saja yang membaca riwayat hidupnya” serunya dari atas mimbar yang berhias karpet merah. “ Baik orang tua saya maupun orang tua Pastor Agus menjadi katolik adalah berkat jasa dan pengaruh Pak Doewe”, ujarnya. “ Bahkan, di rumah dulu kami diwajibkan sembahyang Rosario tiap hari, juga adalah gara-gara pak Doewe!” selorohnya yang disambut tawa gelak hadirin.
Character Building
Pastor Agus Rachmat memaparkan betapa pentingnya character building bagi para siswa ditengah masyarakat yang semakin majemuk dan materialist kini. Formula character building itu bisa ditemukan dalam tiga dimensi “Excelsior” (keunggulan), yakni nama yang dipilih saat mendirikan sekolah yang jadi cikal bakal sekolah Santo Thomas, di Ciledug – Cirebon. “ Tiga dimensi Excelsior tersebut adalah keunggulan intelektual, moral dan religius “, ungkap Pastor yang kini tampak lebih sehat.
Lebih lanjut Pastor Agus memaparkan bahwa jauh jauh hari pak Doewe sudah menyadari betapa pentingnya pendidikan adalah sebagai sebuah “jembatan emas” dalam mencapai keunggulan intelektual. Disamping itu, di dalam formula dimensi pendidikannya yang holistik (utuh) terkandung pula dimensi moral, yakni proses pemancaran nilai dan sikap hidup yang mau peduli dan tanggap pada problematika sosial yang marak dalam masyarakat. Selain itu, melalui formula dimensi religius, proses pendidikan diharapkan membentuk siswa/i menjadi manusia yang beriman, yakni insan yang bisa mempertanggungjawabkan tindakannya kepada Allah, bukan di akhirat nanti setelah mati tapi justru dalam dunia selama masih hidup!
Vikjend Keuskupan Bandung, dalam kata sambutannya menghimbau agar umat katolik Ciledug bisa memikirkan untuk memperingati jasa Pak Doewe, setiap tgl 25 Mei, hari baptisannya. Tentu saja seruan ini mendapat sambutan tepuk tangan yang meriah dari segenap umat Ciledug, termasuk di dalamnya alumni Santo Thomas yang memprakarsai acara launching ini.
Saat break, segenap hadirin beramah satu sama lain di selasar samping taman yang baru selesai di tata ulang, sambil menikmati kopi teh serta cemilan yang disediakan oleh panitia. Di sela-sela rehat tersebut, Pastor Kartono berujar : “ Saya merasa senang dan bersyukur bahwa acara launching buku ini mendapat banyak dukungan, baik dari keluarga besar pak Doewe, umat Ciledug, alumni Santo Thomas, para pastor, pimpinan OSC dan pihak Keuskupan “. “ Tamu yang datang melebihi perkiraan kami, adalah suatu tanda yang amat baik! “, imbuhnya kemudian.
Selanjutnya Pastor Kartono berharap bahwa semoga semangat Pak Doewe dalam berkarya demi masyarakat dan gereja terus hidup di kalangan umat katolik pada jaman ini juga.
( Rosiany T Chandra)
Telah dimuat di Komunikasi edisi Juli 2012

Doa Dalam Karya Nyata Sabda

Pagi hari itu kesibukan sudah tampak di Balai Pengobatan sebuah paroki di kota Bandung. Beberapa petugas hilir mudik sambil mempersiapkan bangku bangku dan sebagian ada yang mencatat obat-obatan yang tersedia di rak tempat persediaan obat. Satu diantara mereka sedang mencatat daftar nama nama pasien yang sudah mengantri sejak tadi.
Dua dokter yang bertugas sudah siap di meja kerjanya masing-masing. Sesaat kemudian semua petugas berkumpul di ruang periksa dokter. Mereka menyatukan hati dalam doa bersama untuk hari yang indah tersebut dan memohon berkat penyertaan Tuhan untuk pelayanan mereka hari ini.
Apa yang mereka lakukan, selaras dengan apa yang diserukan Paus Benediktus XVI baru –baru ini. “Kasih dan keadilan tidak hanya dalam bentuk aksi sosial, tetapi juga tindakan spiritual dalam terang Roh Kudus,” kata Paus saat audiensi umum di Basilika St. Petrus, 25 April yang lalu. Semua karya pastoral, termasuk mempromosikan keadilan sosial dan membantu masyarakat miskin, harus ditopang dengan doa, selanjutnya ujar Paus Benediktus XVI.Tanpa merenungkan dan melakukan internalisasi Sabda Allah setiap hari, salah satu risiko adalah karya itu dianggap sebagai beban dan orang akan mengabaikan peran Roh Kudus, katanya, seperti dilansir Catholic News Service.
Selanjutnya Paus mengutip Kisah Para Rasul Pasal 6, yang mengisahkan bagaimana komunitas Kristen perdana memutuskan untuk memanggil “tujuh orang dari antara kamu yang terkenal baik dan, yang penuh Roh dan hikmat” yang akan mengabdi untuk tugas tersebut dan supaya kami memusatkan pikiran dalam doa dan pelayanan Firman.” Para rasul menciptakan pelayanan baru yang didedikasikan kepada orang miskin karena Gereja dipanggil bukan hanya untuk mewartakan Sabda, tetapi juga memenuhinya melalui tindakan nyata, katanya.
Pada saat yang sama, katanya, para rasul menekankan pentingnya doa. Untuk itu mereka yang melayani misi amal Gereja hendaknya melakukan “dalam semangat iman dengan terang Allah.”, demikian yang disampaikan Paus. . ( Rosiany T Chandra)
Disadur dan dilansir dari http://indonesia.ucanews.com
Dimuat di Warta Dunia majalah Komunikasi 2012

Atlit Olimpiade Masuk Seminari

Olimpiade London 2012 yang berlangsung dari tanggal 27 Juli hingga 12 Agustus 2012 telah mendapat sambutan yang meriah baik dari kalangan pecinta olahraga maupun khalayak umum. London, Inggris pernah menjadi tuan rumah olimpiade modern sebanyak tiga kali, yakni tahun 1908, 1948 dan 2012.
Sebanyak 204 negara ikut serta dalam pesta akbar para atlit dunia ini. Sementara itu diperkirakan sebanyak 10.500 atlit turut bertanding dalam duapuluh enam cabang olahraga. Kompetisi yang diadakan empat tahun sekali ini telah diresmikan oleh Ratu Elizabeth II.
Carlos Ballve, yang dikenal sebagai “Litus” oleh teman-temannya, adalah salah satu pemain bertahan dalam tim hoki Spanyol yang berlaga di Olimpiade ini. Namun dibalik prestasinya , usai kompetisi akbar tersebut, ia memutuskan akan masuk ke sebuah seminari di Belgia untuk mengikuti pendidikan calon imam.
Menurut laporan harian El Pais Spanyol, meski ia selalu menganggap dirinya seorang beriman, baru pada tahun 2005 ia menjadi sadar, betapa penting Tuhan dalam hidupnya. Dalam musim panas tahun itu, segala sesuatu mulai berubah, saat ia mengikuti kompetisi kejuaraan dunia hoki U-21. “Kami mengawali kompetisi itu dengan sangat buruk”ujarnya. “Hal ini membuat saya pergi ke misa pada hari Minggu itu, dan membuat perjanjian denganNya” tambahnya kemudian. Ballve mengatakan bahwa jika Ia turut serta dalam kompetisi itu, ia akan pergi ke Medjugore (tempat penampakan Bunda Maria yang masih diteliti oleh Vatikan)bersama ayahnya. Akhirnya, mereka mengukir sejarah. Belum pernah sebelumnya U- 21 memenangkan medali, namun kini mereka mendapatkan tempat ke tiga.
Ballve menepati janjinya. Namun ia mengakui bahwa hidupnya tidak berubah dan tetap “pergi ke pesta dengan para gadis, menghabiskan banyak uang, dan tidak berdoa.” Sesuatu di dalam dirinya berkata : “ Litus, kamu bebas melakukan apa yang engkau kehendaki, namun tetap engkau tak bahagia”. Meski ia sedang dalam puncak prestasinya, Ballve memutuskan untuk berhenti dan pergi mencari Tuhan. “Saya mengatakan kepada-Nya, bahwa saya tidak tahu apa yang salah, hal-hal aneh muncul. Saya ingin berterus terang denganNya, jadikanlah aku seperti apa yang Kau inginkan.” Jelas Litus.
Hidupnya kemudian berubah. Ia memohon agar keinginannya untuk tampil di olimpiade dikabulkan. Ballve mengatakan pertandingan di Olimpiade itu merupakan “pengalaman yang luar biasa dan berharga.” Ia mengatakan dan berharap “tidak hanya untuk meraih kemenangan, tapi menumbuhkan iman saya, berbagi dengan orang-orang dari seluruh dunia,” lapor surat kabar itu.
( Rosiany T Chandra)
Dimuat di Warta Dunia, majalah Komunikasi Agustus 2012 Sumber: Olympic athlete to enter seminary after Games/Ucan News

Fiat Voluntas Tua

“Saya ikut terharu sekaligus bangga kepada mereka”, ujar Ibu Ulin saat menatap perarakan dalam prosesi pentahbisan imam.
Jauh-jauh hari sebelum tanggal 6 Juni 2012, gereja Santa Perawan Maria Sapta Kedukaan sudah bersolek untuk mempercantik diri. Gereja yang termasuk kuno di kota Bandung ini awalnya mempunyai dua meja altar. Satu menghadap ke dinding, peninggalan dari masa sebelum Konsili Vatikan II, dimana saat itu dalam Perayaan Ekaristi, imam berdiri membelakangi umat. Satu meja altar lain diletakkan di tengah panti imam setelah masa Konsili Vatikan II. Meja altar yang terbuat dari kayu inilah yang kita kenal dan biasa gunakan sehari –hari sebelumya.
Renovasi yang dilakukan di panti imam memindahkan meja altar kuno yang terbuat dari batu alam tersebut. Dari tempatnya yang menghadap ke dinding, kini ia dipindahkan ke tengah-tengah panti imam. Secara khusus telah didirikan kerangka besi sebagai penyangga untuk mengangkat serta memindahkan meja altar yang konon berton beratnya itu. Kini, meja altar batu alam inilah yang kita gunakan kembali. Ia berdiri kokoh dengan kakinya yang indah di tengah panti imam.
Rupanya renovasi ini dilakukan untuk mengantisipasi acara pentahbisan tiga orang pastor yang telah dilaksanakan pada tanggal 6 Juni 2012 yang lalu. “Dengan demikian panti imam menjadi lebih luas dan lega”, ujar Pastor kepala paroki, A. Sudarno, OSC. “ Disamping itu, lantai panti imam yang diganti dengan batu alam adalah untuk menyesuaikan dengan meja altar serta suasana yang ada di dalam gereja”, tambahnya kemudian.
Ketiga orang calon tertahbis yang ditahbiskan sore hari itu adalah Frater diakon Medardus Eko Budi Setiawan, OSC, Frater diakon Antonius Budiman, OSC dan Frater diakon Agustinus Alfridus Seran, OSC. Misa dengan tema Fiat Voluntas Tua ( Jadilah Kehendak-Mu) dipimpin oleh Mgr Ignatius Suharyo, Administrator Apostolik Keuskupan Bandung yang didampingi oleh Mgr Glen Lewandowski, Master General OSC dan Pastor kepala Paroki, Agustinus Sudarno, OSC.
Sebelum Perayaan Ekaristi, hampir seratus orang imam dari Keuskupan Bandung berjalan apik dalam sebuah perarakan untuk masuk menuju pintu utama gereja. Keseragaman kasula yang dikenakan mereka menambah hikmat dan sakralnya upacara ini. Kurang lebih ada 800 umat serta undangan yang hadir di perayaan Ekaristi tersebut. Sementara itu, dari wajah ketiga frater diakon yang tertahbis, tersirat keanekaragaman perasaan yang tersembul dibalik mimik mereka masing-masing. “ Saya ikut terharu sekaligus bangga kepada mereka”, ujar Ibu Ulin saat menatap prosesi itu. “ Saya ikut merasakan apa yang dirasakan ibu mereka”, imbuhnya kemudian dengan mata berkaca-kaca.
Sejurus dengan tema tahbisan, dalam homilinya Bapa Uskup menyampaikan bahwa sesaat setelah Maria mengatakan : “ Jadilah menurut kehendakMu”, ia pun ditinggalkan oleh malaikat yang menyampaikan kabar gembira tentang kelahiran Tuhan Yesus. Disampaikan kemudian oleh Bapa Uskup bahwa, Bunda Maria tampaknya tak mampu menjalaninya sendiri. Oleh sebab itu ia pergi mencari dan mengunjungi Elizabeth agar bisa mendapat dukungan untuk saling menguatkan. “Semoga para imam yang ditahbiskan dapat saling meneguhkan pula diantara sesama”, harap Bapa Uskup selanjutnya. Selain itu, dikatakannya bahwa Maria sering mengalami peristiwa yang sulit dimengerti. Namun ia menyimpan dan merenungkannya sambil mencari dan mencoba menemukan apa makna yang melintas di dalam perjalanan hidupnya dengan mata kontemplatif. “ Dengan mata kontemplatif ini, diharapkan kita mampu meneladani pula bagaimana Bunda Maria akhirnya bisa menemukan kehendak Tuhan dalam hidupnya.
Di penghujung misa, Propinsial OSC, Pastor Anton Subianto, OSC menyampaikan bahwa , Pastor Eko akan tetap melayani di Cigugur. Sedangkan Pastor Anton akan mendapat tugas di Keuskupan Agats- Papua. Pastor Agus akan mendampingi para frater di Skolastikat OSC di Jl. Sultan Agung. Usai misa pentahbisan, kepada para tamu yang hadir telah dibagikan kartu kenangan sebagai ungkapan syukur dan terima kasih dari ketiga pastor yang telah ditahbiskan tersebut.
Usai misa, acara ramah tamah telah disiapkan dengan baik oleh segenap panitia pentahbisan, lengkap dengan hiburan musik kecapi yang mengiringi santap malam segenap umat, imam dan undangan yang telah hadir di misa sore itu. “ Segenap rangkaian upacara telah berlangsung rapih, praktis dan elegan”, demikian ujar pastor Nana. Sebuah apresiasi dan rasa terima kasih kepada segenap panitia juga telah disampaikan oleh Pastor Samong, sore hari itu.
Profisiat bagi Pastor Eko, Pastor Agus dan Pastor Anton!!. Selamat bertugas. ( Rosiany T Chandra) Tulisan telah dimuat di Komunikasi Juli 2012

Apa Itu Graphology?

Graphology adalah ilmu yang mempelajari tentang analisa tulisan tangan untuk mengintepretasi karakter dan kepribadian seseorang, termasuk ’identitas’ diri seseorang.
Graphology merupakan alat tes kepribadian yang sangat sederhana dan tidak bias. Menulis adalah gerakan motorik yang dihasilkan oleh kontraksi sistem syaraf dan otot, yang merupakan refleksi dari pikiran sadar dan pikiran bawah sadar manusia. Pikiran sadar akan mengatur apa yang ditulis sedangkan pikiran bawah sadar akan mengatur cara tulisan tersebut dibuat. Oleh karena itu, tulisan tangan merupakan cerminan dari pikiran, suasana hati, spontanitas dan cara pandang seseorang tentang keseluruhan lingkungannya.
Physical, Mental, Emotional
Beratus-ratus tahun yang lalu, Aristoteles membagi manusia ke dalam tiga aspek yaitu body, mind and spirit atau sekarang lebih dikenal dengan istilah physical, mental and emotional dan graphology dapat mengintepretasi ketiga aspek tersebut. Wujud fisik manusia adalah identitas tentang seseorang, sama seperti DNA, sidik jari , tanda tangan ataupun tulisan tangan. Tulisan tangan dan tanda tangan seseorang adalah unik dan tidak mungkin sama dengan tulisan tangan orang lain sehingga bila tulisan tangan kita dimasukkan ke dalam ratusan tumpukan tulisan tangan orang lain, kita akan dapat mengenali tulisan tangan atau tanda tangan kita sendiri.
Yang dapat diketahui melalui graphology tentang body/physical adalah kesehatan penulis, keadaan tertentu seperti ketergantungan pada obat-obatan atau alkohol dan juga dorongan fisik yang dimiliki oleh penulisnya (termasuk kecenderungan agresif, kasar dan dorongan sexual). Graphology akan berbicara mengenai kepandaian dan kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh seseorang ketika dihubungkan dengan aspek mind/mental. Mengapa demikian? Manusia memiliki kepandaian untuk menggunakan simbol-simbol tertulis sebagai alat komunikasi dan tidak ada mahluk lain memiliki kepandaian tersebut.
Jika anda memberikan pulpen kepada seekor kera, kera tersebut tidak akan mampu menggunakan coretan yang dihasilkan untuk berkomunikasi dengan kera yang lain. Itu sebabnya, kepandaian seseorang akan terdeteksi melalui tulisan tangannya dan di dalamnya termasuk juga cara berpikir, kemampuan untuk merespon perubahan situasi, minat dan bakat yang sesuai, kejujuran, dan itikad baik dalam diri seseorang.
Sedangkan untuk aspek spirit/emotional, graphology memberikan informasi mengenai cara pandang seseorang tentang dirinya, masa lalu, masa depan serta caranya memandang orang lain sebagai kesatuan lingkungannya. Informasi tersebut meliputi, seperti: penghargaan terhadap diri sendiri, visi dan misi, orientasi dalam hidup, interaksi sosial, kejujuran, depresi, trauma masa lalu, ketelitian, keinginan untuk mencapai tujuan serta cara yang digunakan untuk mendapatkan tujuan dan masih banyak karakter lainnya.
Tulisan otak
Tulisan tangan sebenarnya adalah tulisan dari otak manusia yang merupakan gambaran dari kepribadian setiap individu. Pengaruh alam bawah sadar/subconscious mind dibandingkan dengan alam sadar/conscious mind adalah sekitar 88-90%. Dengan kata lain pengaruh conscious mind pada tulisan hanya 10-12% saja. Seperti fenomena gunung es, yang tampak cuma ujungnya saja. Analoginya ibarat komputer, semua yang kita lihat di monitor adalah conscious mind, sementara semua data, software dan program-program adalah subconscious mind.
Jadi, dalam graphology, konten apa yang kita tulis adalah hasil conscious mind yang cuma 10-12% itu. Bagaimana kita menulisnya, dinamika, tarikan garis, penempatan letak, bentuk dll adalah hasil dari subconscious mind kita. Karena itu memanipulasi graphology adalah nyaris tidak mungkin, karena dia harus memanipulasi, secara sadar, alam bawah sadarnya sendiri.
Manfaat Graphology
Hasil analisa graphology dapat pula digunakan dalam mengetahui titik-titik keunggulan seseorang maupun kekurangannya. Sehingga secara dini, analisa bisa dimanfaatkan sebagai pedoman bagi pemilihan lingkungan yang akan mengembangkan serta mendukung potensi seseorang ataupun lingkungan yang akan mengurangi dampak kekurangan tersebut. Jurusan yang ideal bagi pemilihan bidang studi dan karir juga merupakan hal yang bisa didapatkan dari hasil analisa graphology.
Dalam organisasi, Graphology dapat membantu dalam memberikan penilaian, baik terhadap pekerjaan maupun individu pemegang jabatan/kandidatnya. Sehingga, dasar penentuan apakah seseorang tepat berada di posisinya atau tidak akan sesuai dengan kebutuhan pekerjaan tersebut dan dapat dievaluasi dengan menggunakan alat yang sama. Selain itu Graphology dapat memberikan gambaran detail mengenai kepribadian seseorang guna pembentukan satu teamwork maupun bagi hubungan intra personal. Disamping itu hasil analisa graphology dapat memberikan usulan bagi gambaran orang yang tepat untuk posisi yang pas.
Disisi lain, penggunaan graphology dapat diterapkan kepada anak-anak dalam waktu yang sedini mungkin. Kita coba untuk merubah kebiasaan dan kepribadian anak kita, karena mereka adalah harta yang berharga. Pertanyaannya kemudian apakah graphology sebagai cerminan dari pikiran dan kepribadian kita dapat memberikan solusi untuk merubah kebiasaan serta kepribadian seorang anak? Jawabannya adalah YA.
Dengan merubah cara anak anda menulis maka kita merubah “komputer” yang dimilikinya menjadi lebih pintar dan metoda untuk merubah cara anak anda menulis dikenal dengan istilah “Grapho-theraphy”. Para psikolog di Amerika juga telah menerapkan grapho-therapy lebih dari 30 tahun lamanya dan mereka sampai pada kesimpulan bahwa grapho-theraphy adalah metoda yang tercepat, termudah dan terbaik untuk merubah perilaku/kebiasaan seseorang.
Selain dapat memberikan gambaran mengenai kepribadian anak, graphology juga dapat dimanfaatkan dalam berbagai hal di dalam kehidupan manusia. Antara lain ia dapat memainkan peranan yang menarik dalam strategi penyelesaian yang efektif diantara dua individu yang memiliki kepribadian yang berlainan.
Rosiany T Chandra, Certified Master Handwriting Analyst) ________________________________________________________

Jumat, 24 Agustus 2012

Tulisan sebagai Pantulan Jiwa

Saat berjalan-jalan di mall, Deny mendadak ingin sekali merangkul istrinya, Lia. Namun seperti biasanya, Deny kembali agak enggan. Kendati Lia tidak langsung menampiknya, namun dari bahasa tubuhnya yang agak menjauh, Deny langsung memahami bahwa istrinya kurang nyaman untuk “menjajal” intimitas mereka di depan publik. Awalnya Deny kecewa dan merasa seperti “ditolak”. Hal yang sama terjadi, saat mereka sedang berdiskusi membicarakan sebuah rencana libur panjang bersama. Ketika ada topik yang kurang berkenan dihatinya, Lia langsung diam dan sontak masuk kedalam dirinya sendiri. Saat itu Deny kesal karena tidak tahu bagaimana harus bersikap. Karena ikut teriritasi, Deny dengan suara tajam mengatakan bahwa Lia harus mengungkapkan apa yang ia sebenarnya inginkan. Tapi Lia malah tambah ciut, dan tetap diam seribu bahasa dalam “sarang kenyamanan” yang ia bangun sendiri.
Kondisi mulai berubah, saat seorang kawan menyarankan mereka untuk pergi ke seorang ahli Graphologist. Seorang Graphologist dapat menganalisa karakter dan perilaku seseorang melalui tulisan tangannya. Prosedurnya pun sangat cepat dan sederhana. Orang tak perlu bertatap muka dengan sang ahli. Ia cukup mengirimkan tulisan tangannya di atas selembar kertas HVS tak bergaris dan mengimbuhkan tanda tangan di bawahnya. Seminggu kemudian, hasil analisa sudah bisa ia terima.
Dipaparkan oleh sang Graphologist, bahwa tulisan Lia mempunyai derajat kemiringan ke kiri (left slant). Tipe penulis seperti ini biasanya gampang menarik diri secara emosional. Secara sadar ia menyikapi gugahan respons emosinya tersebut , namun ungkapan perasaan itu menuju ke arah dirinya sendiri. Ia berusaha mencernanya sendiri, oleh sebab itu Lia kesulitan dalam mengungkapkan apa yang ia rasakan. Lia bukanlah seorang yang spontan dan hangat untuk bisa mengekspresikan emosinya secara terbuka. Meski demikian, Lia mempunyai kelembutan hati yang menjadi daya pesona tersendiri bagi Deny. Hal ini teranalisa dari konsistensi bentuk bulat utuh dari lengkungan bagian atas huruf yang ia tulis (contoh: huruf m, n).
Lain halnya pada Deny. Tulisan Deny mencerminkan ia adalah seorang yang dengan mudah dan spontan mengungkapkan apa yang sedang ia pikir dan rasakan. Tulisannya mempunyai derajat kemiringan ke kanan (right slant) yang lugas. Hal ini sekaligus menandakan pula bahwa ia seorang yang emosional. Indikasi ini dipertegas kembali oleh beberapa goresan huruf tajam yang ada pada tulisan Deny.
Indikasi aksara diatas hanyalah satu dan dua hal dari sekian ratus indikasi lainnya yang bisa terlacak dari sebuah tulisan tangan. Dari hasil konseling berbekal analisa kedua tulisan tangan mereka itu, Deny dan Lia jadi bisa lebih memahami satu sama lain, sehingga belajar untuk tidak memaksakan kehendak atau harapan mereka masing-masing. Deny berusaha untuk tidak memojokkan Lia atau memaksanya untuk ‘open’, melainkan perlahan-lahan merubah situasi lebih nyaman bagi diri Lia. Hingga tiba saatnya ia tak melihat sebuah “ancaman” untuk harus terbuka, barulah Lia mau keluar dari zona persembunyiannya. Di sisi lain, Lia mulai menyadari bahwa ia harus belajar mengatakan apa yang ia rasakan kepada Deny.
Peranan Alam Bawah Sadar
Bagaimana tulisan tangan itu mampu merefleksikan kepribadian adalah sama sekali bukan karena unsur gaib yang terkandung di dalamnya. Intepretasi dari sebuah tulisan adalah sangat logis dan sistematis. Semua aksi, termasuk menulis, bermula dari otak. Ketika seseorang mengambil pena untuk menulis, otak mengirimkan pesan kepada otot lengan dan tangan dalam menuntun sebuah gerakan. Garis, goresan, lingkaran, titik adalah hasil refleksi dari dalam diri manusia. Kendati alat menulis dipegang oleh tangan, tulisan tangan sebenarnya adalah tulisan dari otak manusia yang merupakan gambaran dari kepribadian setiap individu.
Pikiran manusia secara sadar menentukan apa yang anda tulis dan alam bawah sadar mengontrol bagaimana cara kita menulis. Pengaruh alam bawah sadar/subconscious mind dibandingkan dengan alam sadar/conscious mind adalah sekitar 88-90%. Dengan kata lain pengaruh conscious mind pada tulisan hanya 10-12% saja. Seperti fenomena gunung es, yang tampak cuma ujungnya saja. Analoginya ibarat komputer, semua yang kita lihat di monitor adalah conscious mind, sementara semua data, software dan program-program adalah subconscious mind. Jadi, dalam graphology, konten apa yang kita tulis adalah hasil conscious mind yang cuma 10-12% itu. Bagaimana kita menulisnya, dinamika, tarikan garis, penempatan letak, bentuk dll adalah hasil dari subconscious mind kita. Karena itu memanipulasi graphology adalah nyaris tidak mungkin, karena dia harus memanipulasi, secara sadar, alam bawah sadar yang di luar kontrolnya sendiri.
Oleh sebab itu tulisan tangan merupakan barometer suasana hati, fisik, emosi dan kesehatan mental seseorang. Sebagai tambahan terhadap karakteristik lain yang bisa di dapatkan dari tulisan tangan antara lain adalah : kesehatan fisik dan emosi, gaya pemikiran, interaksi sosial, potensi produktivitas, tujuan orientasi, talenta & kemampuan, ketakutan, integritas, sikap & selera seksual, kemampuan sosial & komunikasi dan lain sebagainya.
Manfaat Graphology
Manfaat Graphology selain bisa diterapkan untuk pengenalan akan diri sendiri, bisa pula digunakan bagi relasi intrapersonal, baik bagi perkawinan, sosial atau hubungan bisnis, problematika emosional dari sisi psikologi, pilihan bidang studi, karir dalam dunia pendidikan. Di perusahaan dan industri bisa dimanfaatkan dalam seleksi calon karyawan yang pas untuk posisi yang ditawarkan, promosi serta komposisi teamwork karyawan. Selain itu dalam kriminologi, Graphology dapat mendeteksi ketidakjujuran, potensi bahaya tertentu dan pemalsuan dokumen serta tanda tangan.
Dibalik itu, ada beberapa hal yang tak bisa dideteksi oleh analisa Graphology, antara lain: usia, jenis kelamin, profesi, ras/suku, masa depan. Namun kenyataannya, Graphology dapat membantu kita untuk merubah kehidupan yang ada, dalam arti mengetahui kelemahan kita saja, tidaklah cukup. Pertanyaannya, mampukah kita memanfaatkan, mengolah dan menempatkan segala keunggulan dan kelemahan tersebut? Jawabannya adalah YA!
--Tulisan Adalah Cermin Dari Jiwa Anda-- Rosiany T Chandra, Certified Master Handwriting Analyst (CMHA)

“Uji Nyali” Di Lantai Orang Lain

Salah satu warisan dari para anggota Societeit Concordia dari zaman dahulu yang masih tetap dilestarikan hingga kini di BP Bumi Sangkuriang adalah tradisi Ballroom Nite tiap hari Jumat malam.
Untuk menunjang tradisi serta memupuk bibit bibit baru yang mahir berdansa, BS menyediakan fasilitas pelatihan les dansa Ballroom dan Latin yang dibimbing oleh tiga orang guru yang sudah berpengalaman di arena pertandingan baik di dalam maupun luar negeri. Mereka adalah Ibu Tjia Mei Lan, Deni Rohendi dan Awang. Murid murid yang telah giat berlatih pagi harinya, bisa menyalurkan hobby berdansa mereka di Ballroom Nite dengan iringan band live music. Acara mingguan ini kerap telah dinanti nantikan oleh komunitas dansa BS, maupun oleh penggemar dansa di kota Bandung pada umumnya.
Pada hari Sabtu, tanggal 11 Agustus yang lalu, komunitas dansa BP Bumi Sangkuriang mengadakan outing ke Jakarta. Ibu Tjia Mei Lan, sebagai ketua seksi dansa Bumi Sangkuriang, bersama dengan Pak Darmawan Saputra, wakil ketua III jauh jauh hari sudah merencanakan dan mempersiapkan rencana ini dengan baik.
Tujuan diadakan outing ini adalah untuk saling mengakrabkan dan sebagai penambah semangat diantara para anggota yang telah giat berlatih. Selain sebagai refreshing, para peserta outing juga akan “menguji nyali” di arena dansa orang lain. Ketika group tenis BS mengadakan pertandingan persahabatan ke luar kota, demikian pula halnya komunitas dansa mengadakan uji coba/test floor, berdansa dalam suasana dan publik yang berbeda.
Oleh sebab itu, lokasi yang akan dituju di Jakarta hari itu adalah restoran Sim Yan – Milenium. Tiap Sabtu disana disediakan arena dansa dengan live music. Pengunjung dapat berdansa sambil menikmati santap siang/brunch dari pkl. 10.00 hingga pkl.14.00. Pagi itu pkl. 06.30 seluruh peserta yang berjumlah 19 orang berkumpul di Paskal Hypersquare. Bu Mey Mey, demikian Ibu Tjia Mei Lan akrab disapa, sudah sejak pagi menyiapkan beberapa konsumsi yang akan disantap di bis. Setelah mendata dan berfoto bersama, bis melaju ke Jakarta tepat pada pkl 07.00.
Perjalanan lancar dengan diiringi gelak canda tawa diantara para peserta, hingga tak terasa tepat tiga jam kemudian rombongan sudah tiba di Milenium- Gajah Mada Plaza. Kalau kita membandingkan dengan komunitas tenis yang siap bertanding dengan segala perlengkapan raket dan lain sebagainya. Demikian pula halnya yang terjadi dengan komunitas dansa, berikut sepatu serta baju dansanya. Olahraga dansa ini memang sangat menguras tenaga dan energi. Oleh sebab itu, membawa dua sampai tiga baju ganti merupakan sebuah keharusan dalam setiap acara melantai. “Disamping itu, selain menguras energi fisik, dansa juga menguras energy emosi yang tertuang dalam penghayatan dansa itu sendiri”, tutur Deni, guru tari ballroom di bis. “ Namun usai berdansa, ada sebuah sensasi kepenuhan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, sensasi itu hanya bisa dirasakan mulai dari ujung kaki hingga ke ubun-ubun!”, demikian imbuhnya kemudian yang disambut gelak tawa serta anggukan setuju peserta lain.
Di Sim Yan, rombongan yang terbagi dalam dua meja bundar, segera memesan makanan. Sebagian peserta ada yang langsung menyantap hidangan, namun ada juga beberapa peserta yang langsung melantai. Agaknya lantai dansa lebih menarik daripada hidangan yang menggoda air liur. “ Aku kagok makan euy, kalau lagi berdansa! ujar salah satu peserta.
Dalam diri setiap pedansa, mau diakui atau tidak, selain ingin menikmati alunan musik dalam gerak, pasti ada keinginan untuk ditonton orang. Komunitas dansa Bumi Sangkuriang sudah menampilkan dansa mereka di tengah tengah publik dansa di Sim Yan. Ada kepuasan sendiri yang tersirat di wajah wajah berpeluh anggota rombongan ini. Pasangan Koko – Inge melantai Rumba dengan indahnya. Pasangan Awang – Li Fung menarik perhatian pengunjung dengan goyang Bachata nya. Pasangan Deni dan muridnya juga mencuri perhatian publik dengan tarian waltznya. Felan dan Budi menampilkan seluruh hasil latihan mereka sehari-hari dengan baik. Pasangan Johnny – Susan tetap menawan dan kompak, ketrampilan yang tak dimakan usia. Ada Drg. Yos juga ikut berdansa dengan bu Mey Mey. Ibu Alida yang belum lama bergabung dengan komunitas dansa ini, langsung merasa terpacu ingin segera mahir. Ibu Ingried menghayati setiap gerakan kakinya saat berdansa dengan pak Cen Nan.
Usai berdansa, rombongan meneruskan ‘penjelajahan’ dari lantai dansa ke mall Central Park. Sebelumnya rombongan singgah sejenak di Hotel Royal Regal untuk sekedar melihat arena dansa yang ada disana. Sesampai di mall, peserta berpencar masing masing dengan minat yang berbeda. Ada yang langsung mau makan bakmie, seperti Mbak Hetty. Li Fung, Nelly dan bu Alida segera mencari restoran May Star. Pak Koko, Inge dan yang lainnya ada yang ngopi atau kalap shopping.
Pkl. 19.00, seperti yang disepakati bersama sebelumnya, seluruh rombongan berkumpul kembali di bis dan siap menuju Bandung kembali. Kebersamaan selama perjalanan ini meninggalkan kesan yang kian mengakrabkan seluruh komunitas dansa BS. Terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung acara ini, terutama kepada Pak Koko, yang telah menginspirasi banyak murid sehingga makin giat berlatih. Last but not least kepada guru guru dansa : Bu Mey Mey, Deni dan Awang yang dengan semangat menularkan ilmunya sehingga tradisi di Bumi Sangkuriang tetap terpelihara. ( Rosiany T Chandra)

Rabu, 30 Mei 2012

Mencairkan Firman Tuhan

Sisilia Srinawa Astuti Menjelang Paskah, Sisilia Srinawa Astuti teringat kembali saat awal pelayanannya sebagai lektor. Pada tahun 2009, sebagai ketua komuni I anaknya yang bungsu, ia mendapat tugas membaca narasi dalam misa Jumat Agung di St. Petrus (katedral) Bandung. Suaranya yang merdu memikat koordinator lektor yang segera membujuknya untuk bergabung sebagai lektor. Meski awal mulanya Sisil, demikian ia akrab disapa, tidak begitu yakin akan talenta yang ia miliki, namun seiiring waktu kepercayaan dirinya bertambah.
Ibu yang awet muda ini makin giat berlatih, saat menyadari bahwa melalui suaranya ia bisa berbagi sesuatu kepada umat dan Tuhan. Dari mulai misa harian, kemudian beranjak ke misa mingguan ia jalani dengan tekun dan penuh semangat. Sejurus berselang, ibu dari tiga puteri dan satu putera ini pun berlatih bermazmur. Nostalgia akan rekaman lagu-lagu rohani semasa SMA di Batu, Malang mengusiknya kembali. Semangat berbaginya bertambah ketika ia diberi kepercayaan menjalankan tugas lektor pada saat misa krisma, misa penutupan 800 tahun OSC ( Ordo Salib Suci)pada tahun 2010 dan pada misa perpisahan Uskup di Bandung pada tahun yang sama.
Selain menjadi koordinator pemazmur di katedral, istri dari Albertus Sadtyatmadja Dwisulami ini adalah koordinator Lektor & Pemazmur di Stasi St Theodorus dan pemazmur di paroki Santa Perawan Maria Sapta Kedukaan, Bandung. Disamping itu ia adalah anggota staf redaksi majalah ‘Berkat’ di katedral.
Selain tetap tekun berlatih dan senantiasa membuka diri dalam menerima kritikan, Sisil menyampaikan pentingnya rasa tanggung jawab dan kesiapan fisik dan mental sebagai kunci keberhasilannya. “Setiap mau bertugas, kita perlu doa mohon kerendahan hati agar menghayati peran kita yang hanya sebagai media untuk mencairkan firman Tuhan yang beku”, demikian ungkap Sisil, lulusan Sospol UNPAD (1989).(Rosiany T Chandra)

Ungkapan Iman Melalui Busana Liturgis

Sudah lewat jam 03.00 dini hari. Salah seorang pegawainya Linda sudah tak kuat lagi dan ingin segera pulang. Bergegas ia mengeluarkan motornya. Tak disangka, ban motor kempes! Terpaksa ia kembali meneruskan jahitan kasulanya sambil menunggu datangnya sang fajar pagi.
“ Pekerjaan untuk Tuhan memang harus diselesaikan sampai tuntas “, ujar Linda kepada pegawainya itu, yang disambut derai tawa penghibur letih bersama. Lindawati Winata sehari-hari memang dibantu oleh delapan orang asisten penjahit. Malam itu Linda dan seluruh asistennya kerja lembur dan tidak tidur sampai pagi, karena siang harinya, ia harus segera menyerahkan pesanan 250 Stola, 50 kasula, dan dua lusin jubah putra altar berikut keperluan busana liturgis lainnya. Pesanan itu harus diselesaikan dalam waktu yang singkat. Dari sejak diumumkannya Mgr Johannes Pujasumarta sebagai Uskup Bandung pada saat itu, tidak banyak rentang waktu yang tersisa lagi sampai pada hari H pentahbisannya pada tanggal 16 Juli 2008.
Busana Liturgis
Sehari-hari Linda adalah seorang penjahit baju pesta pesanan para langganannya. Sejak ia menjadi umat paroki St Gabriel- Gandarusa, Bandung (1995), Linda dengan senang hati membantu dalam melengkapi segala keperluan liturgis parokinya. Bermula dari menjahit jubah misdinar dan prodiakon, kecintaannya pada busana liturgis ini seiring waktu lantas makin berkembang. Sejurus berselang, ibu tiga putri dan satu putra ini mulai menjahit stola dan kasula bagi pastor parokinya. “Awalnya saya belajar dari banyak kesalahan yang saya perbuat”, demikian paparnya sambil mengingat kembali bagaimana proses ketrampilannya itu makin terasah.
Pesanan tahbisan Uskup itu adalah order pertamanya dalam jumlah yang besar. “ Kendati tampaknya lebih mudah, ternyata menjahit stola itu jauh lebih sulit dari kasula! “, ujar istri pengusaha Solichin Tjahyo ini. Dalam finishing-touch-nya, diperlukan banyak ketrampilan kerja tangan yang halus guna merajut berbagai pola dan detail yang perlu dipermanis dan diperindah. “ Sebuah pengalaman pahit pernah terjadi, dimana ornament bordiran tidak simetris dan tidak sesuai dengan design yang diinginkan”, tutur Linda. Namun ia tetap semangat dan tetap berusaha mencari berbagai info untuk penyempurnaan proses penjahitan busana liturgis ini. Selain dari buku buku liturgi, Linda banyak mendapat bimbingan dan masukan dari Pastor C Harimanto Suryanugraha OSC, seorang imam pakar liturgi, yang bertugas di ILSKI ( Institut Liturgi Sang Kristus Indonesia), Bandung.
Motif Etnik
Dikemukakan oleh Linda bahwa, bahan yang ia gunakan sebisa mungkin dari dalam negeri. Namun tak urung untuk detail detail tertentu, tak bisa dihindari penggunaan bahan dari luar yang amat diperlukan. “Meski demikian, penggunaan bahan dari luar harus disesuaikan dengan iklim di negara kita”, imbuhnya kemudian. Selain itu busana liturgis juga harus terbuat dari bahan yang nyaman dipakai, terutama dalam mengantisipasi udara panas di Indonesia. Tambahan pula, unsur keindahan dan keanggunan menjadi tujuan yang penting baginya dalam merancang busana yang mencitrakan kekudusan ini. “ Keindahan dan keanggunan sebuah kasula atau stola bukan ditentukan oleh banyak dan mewahnya ornamen hiasan yang dipakai, melainkan pada bahan, bentuk pola serta potongannya”, jelas ibu yang lahir di Fak Fak, Papua ini. Selain itu, untuk setiap pesanan yang menginginkan hiasan yang berupa gambar atau lambang tertentu, Linda selalu bertanya pada Pastor Harimanto, apakah sesuai dengan makna dan suasana liturgi Ekaristi. Selaras dengan selera estetis Pastor Harimanto, Linda banyak berkreasi dengan menggunakan hiasan etnik dari berbagai daerah di Indonesia. “ Indonesia amat kaya dengan berbagai corak dan motif yang khas dari masing –masing daerah, kekayaan ini yang kini sedang kita kembangkan bersama” ujarnya dengan semangat.
Kiwari, Linda bersama dengan Sandra S Hariadi, Lina Dadi dan Pastor Harimanto, tergabung dalam satu tim kreatif busana liturgis ‘SangKris’, label yang berada dibawah ILSKI. Seiring waktu, pesanan kasula dan stola tidak hanya datang dari paroki di keuskupan Bandung saja, melainkan juga dari Keuskupan Jakarta, Bali, Yogyakarta hingga Asmat. Demikian pula dengan seragam tahbisan imam dan putera altar. Dari ratusan stola dan kasula yang sudah ia hasilkan, ia menjaga betul privasi karya yang dihasilkannya. Ia tidak akan dengan gegabah memberikan copy rancangannya tanpa seijin dari si empunya pesanan sebelumnya.
Linda tidak hanya lahir di Fak Fak, namun juga bersekolah dari TK hingga SMP di sekolah katolik disana. Pada masa sekolah itulah ia dibaptis menjadi katolik. Kemudian setelah lulus dari sebuah SMA negeri, ia mengambil kursus kecantikan dan ketrampilan menjahit di Singapura selama tiga tahun. Disana ia bertemu jodohnya, seorang pria asal dari Bandung. Sebelum menerima pesanan gaun pesta, Linda pernah membangun usaha konveksi. Namun sejak kerusuhan tahun 1998, keadaan pasar menjadi tidak menentu. Sejak itu ia mengalihkan usahanya ke made to order.
Karya Seni Bagi Tuhan
Kini, ia menemukan sebuah kepuasan baru dalam menjahit busana liturgis. "Kelelahan dalam menjahit seakan terlupakan, ketika karya seni ini pada akhirnya dapat saya nikmati pula saat menatap para imam mengenakannya”, ucapnya sambil tersenyum lega. “ Terutama saya amat bangga dan gembira, ketika menyadari bahwa saya ikut ambil bagian dalam pengerjaan sebuah stola, yang melambangkan pemakainya sedang melaksanakan sebuah tugas luhur dan resmi gereja” imbuhnya. Ditengah kesibukannya, Linda masih sempat berlatih koor dan melayani di komisi penataan kembang altar, Dorothea di keuskupan Bandung. Diatas itu semua, ia menandaskan bahwa ungkapan imannya terutama bisa ia wujudkan, ketika ia berhasil menghadirkan karya yang bernilai seni bagi gereja sambil tetap melestarikan motif etnik yang ada di Indonesia. ( Rosiany T Chandra)

Rabu, 23 Mei 2012

Perlu Jatuh Cinta

Pertama kali melihat Episiotomi, calon bidan ini langsung pingsan di tempat. Kemudian hari, justru ia malah sering melakukan tindakan ini untuk melancarkan proses kelahiran bayi.
Sudah sejak SD, Catharina Maria Retno Sunartyasih, S.Kep MH ingin menjadi seorang biarawati. Baginya sosok biarawati adalah figur yang anggun dan suci kerna memiliki ketenangan batin yang mantap. Keinginan ini disampaikanya kepada orang tuanya menjelang kelulusannya dari SMA Stella Duce, Yogyakarta (1969). Sebagai putri sulung dari delapan bersaudara, pada waktu itu ibunya tak merestui rencana Retno itu, demikian ia akrab disapa. Penolakan serupa pun terjadi saat ia diterima di fakultas Ekonomi dan Hukum Universitas Gajahmada, Yogyakarta. Walau kecewa, Retno tetap manut pada keinginan ibunya.
Ibunya, yang lulusan HIS Mendut pernah jatuh sakit dan dirawat selama tiga bulan di rumah sakit. Dalam doanya, ia berharap salah satu dari putrinya bisa menjadi seorang perawat atau bidan yang bisa membantu orang sakit. Kepala sekolah SMA Retno yang diam-diam sudah dihubungi ibunya, segera menawarkannya untuk mendaftar ke Sekolah Pendidikan Perawat Boromeus, di Bandung. Menjelang hari penutupan pendaftaran, dengan berat hati ia mendaftar dan akhirnya diterima sebagai siswa calon perawat.
Conditioning Learning
“ Awal masa pendidikan, saya berontak dan ingin kembali ke Yogya, sekaligus merasakan bahwa ini bukan bidang saya!”, seru Retno. Satu hari, dalam kegalauan hati, seseorang mengatakan kepadanya bahwa untuk tetap bertahan, ia perlu jatuh cinta kepada apa yang ia lakukan. “ Nasehat itu amat melekat dan meneguhkan hati saya, sehingga sejak saat itu saya mengkondisikan diri untuk mengambil segala konsekuensi dan memutuskan menjalani resiko pilihan saya dengan sepenuh hati”, ujarnya. Pola conditioning learning ini pula yang berpuluh tahun kemudian ia terapkan kepada ribuan siswanya. Retno, yang semasa SMA sudah aktif di koor dan Legio Mariae gereja Bintaran, akhirnya lulus sebagai perawat tiga tahun kemudian ( 1973).“ Ketika luka menganga seorang pasien yang saya rawat lalu menutup kembali seperti semula, disitulah saya merasakan pertama kali seberkas kebahagiaan dan kepuasan batin yang sekonyong-konyong mengobarkan semangat saya”, kata ibu dua putri ini. Pepatah tak kenal maka tak sayang itu berlaku pula pada Retno, yang akhirnya jatuh cinta pada profesinya.
Bukan Panggilan Hidup
Selaras dengan kegigihannya, keinginan untuk menuntut ilmu tetap membara. Sesuai dengan doa ibunya pula, Retno melanjutkan ke sekolah bidan di Boromeus. Sikapnya tetap pantang mundur, kendati pingsan saat pertama kali melihat episiotomi, tindakan pengguntingan yang dilakukan untuk melebarkan jalan kelahiran. Akhirnya satu setengah tahun kemudian ia lulus sebagai seorang bidan (1975). Seiring langkahnya sebagai bidan, keinginan masa kecilnya untuk menjadi seorang biarawati yang ia simpan rapat-rapat, muncul kembali. Tekadnya yang bulat membawa ia ke biara Carolus Boromeus. Selama dua minggu ia mengikuti kegiatan calon biarawati. Namun segala rutinitas yang ia alami di dalam biara, membuatnya urung untuk melangkah selanjutnya. “ Ini bukan panggilan hidup saya”, kata Retno sambil tersenyum.
Tak lama kemudian Retno bertemu dengan tambatan hatinya, Yoseph Albert Tompunu M. Mar. Eng, yang kini menjadi suaminya. Kecintaannya kepada profesi bidan yang kemudian ia nikmati dengan sepenuh hati, rupanya tak menghalanginya untuk tetap bekerja sambil mengurus rumah tangga dan mengasuh anak. “ Dalam sistem kerja bergilir (shift), saya berterima kasih pada suami yang tetap mendukung dan membantu dalam mengasuh anak-anak ”, ujar ibu dari Judith Tompunu (30) dan Niken Tompunu (25) ini. Kini puterinya yang sulung, lulusan S2 Akuntansi, UI sudah menikah, puteri bungsunya masih menimba S2 Hubungan Internasional di Belanda. Suaminya yang seorang Insinyur Kelautan sering mendapat tugas menangani proyek di luar negeri. “Kendati semua mempunyai kesibukan masing-masing, namun begitu ada kesempatan berkumpul, kami senantiasa pergi ke gereja bersama”, tutur umat paroki St Ignatius, Cimahi ini.
Krisis Iman
Satu waktu, saat puterinya masih balita, pernah ia mengalami krisis iman. Saat itu, ia merasa semua berjalan tanpa ada kemajuan apapun dan berada dalam posisi yang stagnan. Ia mulai mempertanyakan keberadaan Tuhan. Di tengah kegusaran hatinya, ia menemukan secarik kertas dari harian Kompas yang isinya kurang lebih berbunyi: Seorang pendaki dan peneliti Amerika menemukan bangkai perahu nabi Nuh di gunung Ararat, Turki. Setelah diselidiki, ternyata semua komponen yang ada di perahu tersebut, sama persis seperti yang teretera di kitab suci. Sejak membaca kutipan tulisan tersebut, Retno merasa seperti disapa oleh Tuhan atas ketidakyakinan akan kehadiran Tuhan dalam hidupnya. Sejak mengalami ini, imannya diteguhkan serta penghayatan akan kehidupan rohaninya menjadi lebih bermakna.
Ketua STIKES
Profesi bidan ia tekuni di RS St Boromeus hingga tahun 1994. Kemudian ia dipindahkan ke bagian pendidikan di Akademi Keperawatan Boromeus (kini namanya STIKES; Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan). Saat mengajar, ia merasa pendidikannya setara dengan siswa yang ia ajar dan merasa perlu untuk menimba ilmu dalam jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Tak ada kata terlambat baginya, lantas ia memutuskan untuk mengejar S1 pada bidang studi keperawatan di Univeristas Pajajaran, Bandung dan lulus pada usia 49. Sambil tetap mengajar, Retno seperti tak kenal lelah, program studi Master Hukum dalam bidang kesehatan diraihnya pula tak lama kemudian. Tesisnya tentang perlindungan hukum terhadap tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit sudah dipublikasikan dalam sebuah jurnal ilmiah.
Pada tahun 2008, Retno diangkat menjadi ketua STIKES hingga kini. Ia membawahi emparatus duapuluh siswa keperawatan, duapuluh emat dosen, lima belas staf administrasi, sambil tetap mengajar enam jam dalam seminggu. Kini STIKES mempunyai tiga program studi, yakni S1 Keperawatan, D3 Keperawatan dan D3 Rekam Medis yang sudah terakreditasi oleh Badan Akreditasi Perguruan Tinggi (Ban PT) dan Asosiasi Institusi Pendidikan Nursing Indonesia (AIPNI). “ Permintaan tenaga perawat lulusan STIKES sangat tinggi dari berbagai rumah sakit di Indonesia maupun luar negeri”, pesan Retno dengan antusias. “ Oleh sebab itu profesi perawat sangat menjanjikan dan tingkat penganggurannya sangat rendah”, imbuhnya sambil setengah berpromosi bagi lulusan SMA yang ingin segera bekerja.
Dalam meningkatkan mutunya, STIKES merajut kerjasama dengan Nanyang Poli Singapore dalam TOT ( Training Of Trainer). Gedung STIKES yang kini sudah tidak memadai dalam menampung seluruh kegiatannya, akan segera pindah dari Jl. Ir H Juanda, Bandung ke lokasi baru di Kota Baru Parayangan. Dalam kesibukannya sehari hari, ia masih sempat aktif sebagai anggota Lions Club Bandung Lestari untuk memberikan karya pelayanan sosialnya bagi sesama. Diatas semua itu, motto hidupnya ‘God is my pilot’ tetap ia pegang teguh. (Rosiany T Chandra)

Orasi Dies Natalis Unpar ke 57

Orasi Dies dengan tema “Dekonstruksi Neokolonial: Sebuah Upaya Menuju Telologi Postkolonial” disampaikan oleh Pastor Dr. Ignatius Eddy Putranto, OSC saat Perayaan Dies Natalis Universitas Katolik Parahyangan yang ke 57 di GSG Unpar, Jl. Ciumbuleuit 94, Bandung pada tanggal 17 januari 2012 yang lalu.
Melalui tema orasinya, Dosen Fakultas Filsafat Unpar ini menandaskan bahwa proyek Teologi Postkolonialisme pada dasarnya adalah sebuah metode pencarian makna dan kajian kritis atas wacana-wacana resistensi terhadap pengalaman traumatis era kolonial sebagai bagian upaya artikulasi jati diri yang tengah berkembang di tengah masyarakat( bekas ) jajahan. Berkat upaya kritis ini diharapkan timbullah sebuah reorientasi konseptual yang bisa menyembuhkan luka sejarah dan mengubah rasa inferioritas yang kerap hidup di kalangan masyarakat yang terjajah.
“Namun pada kenyataannya, berakhirnya masa kolonialisme modern tidak dengan sendirinya menciptakan suatu kehidupan yang sungguh merdeka. Pemerintahan baru yang terdiri dari para bumi putera dengan kental masih mewarisi tabiat kolonial dengan memandang rakyat dengan cara pandang kolonial”, ujar pastor Eddy dengan berapi-api. Lain kata, para pejabat negara masih memandang dirinya sebagai penguasa dan melihat rakyat sebagai budak dan hamba, bukan sebagai warga negara. Akibatnya, kesejahteraan rakyat kerap dikurbankan demi kesejahteraan penguasa. "Azas kedaulan rakyat kerap pudar di bawah bayang-bayang azas kedaulatan (penguasa) negara!" Itulah warisan kolonial yang kerap masih bertahan dalam era kemerdekaan.
Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa akibatnya kelanjutan kolonialisme di era postkolonial saat ini mengambil wujud baru secara informal dalam rupa Neo-kolonialisme, seperti imperialisme baru yang sulit dilacak siapa siluman yang bertindak dan bertanggung jawab. Salah satunya disebutkan bahwa kapitalisme global telah menjadi alat Neo-kolonialisasi.
Dalam akhir orasinya, ia memaparkan bahwa agenda Teologi Postkolonial pantas menjadi sebuah wacana nasional agar bisa mengembalikan warga negara menjadi subyek sejarah dengan narasinya sendiri tentang peluang membangun hidup baru di sebuah negara yang adil, merdeka dan sejahtera, Selain itu semoga investigasi teologis dalam mencari pemahaman tentang apa arti jatidiri sebagai warga negara yang merdeka itu bisa menjadi semacam gugatan kegelisahan manusia ditengah maraknya kekerasan, kelaparan dan migrasi lokal dan global yang tumbuh pesat di dunia saat ini.
Sebelum orasi telah diadakan pula misa syukur yang dipimpin oleh Vikaris Jendral Keuskupan Bandung, Pastor Paulus Wirasmohadi Soerjo, Pr. Lalu ada kata sambutan dari Rektor Unpar, Prof. Dr. Robertus Wahyudi Triweko, ketua pengurus yayasan, Prof. Dr. B. Kusbiantoro, dan Koordinator Kopertis Wil IV, Prof. Dr. Abdul Hakim Halim. Dalam kata sambutanya, Pak Triweko, menyampaikan bahwa ada empat hal penting yang hendak mendapat prioritas selama empat tahun ke depan, yaitu revitalisasi nilai-nilai dasar, konsolidasi internal sumber daya manusia, penataan sistem, serta meningkatkan kualitas pendidikan dan penelitian yang relevan dengan pembangunan bangsa. Hal ini dilaksanakan sebagai upaya menuju terciptanya komunitas akademik humanum yang bersemangat kasih dalam kebenaran (caritas in veritate).
Dirgahayu Universitas Katolik Parahyangan! (Rosiany T Chandra)

Sapaan Bapa Kardinal Dalam Misa Krisma

Seragam kasula yang dikenakan kurang lebih seratus imam dari Keuskupan Bandung seakan mengisyaratkan, tak ada perbedaan yang tampak antara imam diosesan dan biarawan. Semua bersatu erat untuk merayakan Misa Krisma di Gereja Katedral Bandung, St Petrus, Rabu ( 4/4) sore itu. Kendati Keuskupan Bandung satu-satunya Keuskupan di Indonesia yang sede vacante, semangat kolegialitas terajut dalam penerimaan Sakramen Penguatan yang diperbaharui.
Intimewanya, misa ini dipimpin oleh satu-satunya kardinal yang dimiliki Indonesia, yaitu Yulius Kardinal Darmaatmadja. Di dalam perayaan Ekaristi khusus ini, Bapa Kardinal yang mewakili Administrator Apostolik Keuskupan Bandung, Mgr Ignatius Suharyo memberkati tiga minyak, yaitu: Minyak Katekumen, Minyak Krisma dan Minyak Orang Sakit. Ini menandakan fungsi imamat seluruh Gereja diperbaharui.
Dalam homilinya, Bapa Kardinal menyampaikan bahwa inti dan pokok kekuatan fungsi imamat Gereja adalah kasih Allah sendiri yang terjelma nyata dalam Yesus yang sengsara dan wafat di salib. “ Peran Imamat Kristus dalam GerejaNya akan diperbaharui lewat pembaruan diri para imam, biarawan-biarawati dan umat beriman yang mengemban tugas imamat umum berkat sakramen baptis dan Krisma “ pesan Bapa Kardinal. Peran Tuhan Yesus sebagai Imam Agung yang berkorban diri bagi keselamatan semua orang dihadirkan dalam Gereja lewat para imam tertahbis maupun lewat imamat umum yang diemban mereka. “ Peran penyelamatan semua orang inilah yang kita perbaharui hari ini” serunya.
Aksi penyelamatan ini tidak hanya ditujukan kepada mereka yang sudah ada dalam pangkuan gereja, namun juga membuka pastoral kepada semua orang di luar Gereja Katolik. Bapa Kardinal juga mengajak para imam untuk menyemangati dan mengarahkan kekuatan kekuatan kekuatan pastoral yang sudah ada di Keuskupan. Selain itu, sapaan ini juga ditujukan kepada awam di bidang pendidikan, kesehatan dan sosial lainnya, juga orang katolik yang sudah dalam posisi strategis yang menggarami kehidupan sosial, ekonomi dan politik, seperti: penulis, penerbit koran atau majalah.
“ Adalah tugas para imam untuk menyemangati dan mengarahkan kegiatan mereka ke fokus utama: makin berbakti kepada Allah dan makin baik berperilaku menuju terbinanya budaya hidup baru yang lebih baik” pesan Bapa Kardinal mengakhiri homilinya. Sehari sebelumnya, Bapa Kardinal memberikan rekoleksi kepada para imam Keuskupan Bandung (3-4 April) di Hotel Gumilang Sari, Lembang.( Rosiany T Chandra)

Keluarga Therapeutis Sekar Mawar

Suasana di ruang keluarga Yayasan Sekar Mawar tampak biasa seperti umumnya ruang keluarga yang kita kenal. Ada seperangkat sofa, sebuah organ dan sepiranti komputer terletak di salah satu pojok ruangan tersebut. Pagi menjelang siang itu, Yohanes, 17 (nama samaran) sedang tergelak riang bersama dengan Ibnu, 21 (nama samaran) ketika mereka duduk bersama di depan layar monitor komputer.
Sepintas mereka layaknya seperti kakak beradik yang tumbuh dalam sebuah keluarga. Yohanes dan Ibnu adalah dua residen dari sementara, enam penghuni Panti Rehabilitasi Yayasan Sekar Mawar. Yayasan yang beralamat di Jl. Tangkuban Perahu, Lembang - Bandung 40391 itu adalah sebuah yayasan sosial dalam naungan Keuskupan Bandung yang bergerak di bidang pencegahan dan penanggulangan masalah penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya).
Kala itu, pada tahun 1999, dr. Adjitijo A. Amidjojo, Sp.B dan beberapa rekan dokter sejawatnya serta beberapa aktivis dari berbagai paroki di Keuskupan Bandung prihatin berat akan kondisi Panti Rehab itu yang tidak memadai lagi guna menampung jumlah penderita yang kian meningkat. Mereka bertekad untuk berbuat sesuatu yang nyata. Beberapa waktu kemudian, disepakatilah pendirian Yayasan Sekar Mawar yang dikelola oleh awam, namun didukung penuh oleh (alm) Mgr. Alexander Djajasiswaja, Uskup Bandung saat itu.
Dari awal pengadaan gedung panti, hingga kini untuk biaya operasional sehari-hari, pendanaan diperoleh dari sumbangan para donatur, baik personal maupun lembaga, entah sumbangan tetap atau tak tetap; dan tentu juga juga dari Keuskupan Bandung.
Therapeutic Community
Dr. Adjitijo mengatakan bahwa, Yayasan Sekar Mawar itu didirikan atas dasar keprihatinan dan kepedulian terhadap gelagat semakin meningkatnya jumlah korban Napza di tengah kehidupan masyarakat, terutama di kalangan generasi muda. “Gejala kecanduan itu tentu saja dapat menjadi jerat yang sangat mengerikan yang dapat menghancurkan kehidupan pribadi dan masa depan korban itu sendiri “, ujarnya dengan nada prihatin. Selain itu ia menyampaikan bahwa keberadaan yayasan ini juga seiring sejalan peranannya dengan upaya pemerintah dalam membantu, mengatasi, mencegah dan menanggulangi kondisi sosial yang semakin memprihatinkan bangsa Indonesia ini.
“ Dalam menjalankan semua kegiatan di yayasan, kami bekerja secara professional dengan pendekatan holistik & komprehensif, dengan menggunakan metoda rehabilitasi yang disebut sebagai pendekatan Therapeutic Community (TC)”, papar dr. Adjitijo selanjutnya. Konsep TC ini berbasis prinsip “man helps man to help himself/herself”, yang kurang lebih maknanya adalah, "dibantu untuk mampu membantu dirisendiri dalam sebuah keluarga." Metoda dari Amerika ini dikemas oleh satu team professional yang terdiri dari psikiater, psikolog, pararelawan/wati (guru, guru agama dll), para konselor (mantan pecandu yang sudah mendapatkan pendidikan dan pelatihan khusus). Tugas mereka diawasi dan diarahkan oleh beberapa konselor profesional dan seorang Program Manager.
Jeremias, Program Manager yang ditemui di panti mengatakan bahwa hingga saat ini, Yayasan Sekar Mawar telah “meluluskan” kurang lebih seratus orang residen yang kembali ke masyarakat dengan “bersih”. Ia mengakui bahwa standar keberhasilan ini kendati bisa diukur pada mantan residen, tetap diperlukan sebuah supervisi yang ketat untuk memantau tingkat keberhasilan yang akurat dan permanen." Memang ada beberapa mantan residen yang kemudian terjerat kembali, namun tak urung banyak juga yang sudah berhasil kembali ke masyarakat dengan ketrampilan dan pekerjaan yang baik.”, tutur Bro Jerry, demikian ia akrab disapa oleh residen di keluarga Sekar Mawar.
Family Concept
Lebih jauh, konsep Therapeutic Community ini selain berbasis pada sisi spiritual, juga berpola pada "behavior shaping (pembentukan perilaku), vocational skill (kemampuan ketrampilan) dan therapeutic session" ( sesi terapi). Selanjutnya ia menandaskan bahwa selain mentaati program pemulihan diatas, residen dikondisikan hidup bersama dalam sebuah pola family concept, yakni hubungan mereka dibina seperti layaknya dalam sebuah keluarga normal. Dengan demikian, antara lain mereka mendapat tugas, seperti memasak, mencuci dan pekerjaan rumah tangga lainnya, sesuai jadwal masing-masing. Sejurus ini, residen dipersiapkan dan dibekali pula dengan berbagai ketrampilan yang ia minati, agar siap terjun kembali dengan produktif ke dalam masyarakat. “Ketika diterapkan pada residen, konsep TC ini memang menjadi sebuah acuan, namun acapkali perlu ada penyesuaian tertentu sesuai latar belakang masing-masing residen” , imbuh Bro Jerry.
Yohanes, salah satu residen yang ditemui siang itu mengatakan, bahwa tak sia-sia ia dibawa oleh orang tuanya dari Singkawang, Kalbar ke keluarga therapeutis ini. “ Saya sudah memakai inhaler sejak usia sepuluh tahun, yang kemudian meningkat ke ganja “, ujarnya. Ia sudah tinggal di keluarga Sekar Mawar selama lima belas bulan. “ Kini saya sudah boleh keluar sendiri untuk beberapa jam”, ujarnya dengan bangga. Bro Jerry yang juga seorang mantan pecandu menyampaikan bahwa setelah dievaluasi perkembangannya, seorang residen perlu mendapatkan sebentuk kepercayaan kembali yang telah musnah akibat ketergantungannya.
“Pelecehan fisik dan verbal yang dialami seorang anak membuat ia mempunyai mental yang rapuh. Demikian pula faktor suasana keluarga yang tidak harmonis sangat mempengaruhi kestabilan jiwa seorang anak. “ papar Bro Jerry. Ditambah kemudian oleh pengaruh lingkungan, yang membuat pola pikirnya melenceng dan lari kepada sebuah “pembenaran semu”, yang ditemukannya pada zat zat adiktif tersebut.
Badan Narkotika Nasional
Selain memberikan program rehabilitasi kepada residen, Yayasan Sekar Mawar membina kerja sama dengan BNN ( Badan Narkotika Nasional) dalam memberikan penyuluhan masalah NAPZA dan penanggulangannya bagi masyarakat. Aksi ini dilaksanakan di berbagai tingkat lembaga pendidikan, gereja serta instansi terkait lainnya. Disamping itu secara berkala, pelayanan konsultasi juga diberikan bagi penderita, keluarga dan masyarakat umum. Sebagai kegiatan pendukung, Family Support Group telah dibentuk dengan tujuan untuk menata kembali kehidupan keluarga residen dan mantan residen. Pemulihan dalam keluarga ini diperlukan untuk mengatasi berbagai ganggguan dan masalah yang muncul akibat sikap dan perilaku anggota keluarga yang menjadi pecandu.
Dr Adjitijo menyampaikan bahwa sementara ini, kapasitas yang tersedia di keluarga Sekar Mawar adalah untuk lima belas orang. “ Kami hanya menerima residen pria saja, karena keterbatasan ruangan yang ada”, ujar suami dari dr. Widyastuti Amidjojo ini dengan nada sesal. Disamping keprihatinan tentang residen yang kabur, keterbatasan dana yang tersedia juga menjadi kecemasan tersendiri dari pihak pengelola. Namun dr Adjitijo tetap optimis upaya regenerasi kepengurusan yang sedang dipersiapkan bisa terlaksana dengan baik. Dengan begitu, kepedulian Gereja terhadap sesama yang menderita, khususnya para korban narkoba, bisa dilestarikan sesuai dengan integritas moral dan falsafah yayasan.( Rosiany T Chandra)