Sabtu, 31 Maret 2012

Lila, sang penari


Peluh masih bercucuran menetes dari dahinya yang putih mulus. Ia menyekanya dengan lap handuk kecil yang selalu dibawanya, baik pada saat latihan maupun kini, di sebuah club dansa yang rutin dikunjunginya.

Lila membungkuk sambil membenarkan tali sepatu dansanya. Sorot matanya memancarkan keletihan, namun seberkas kepuasan membias dibalik binar bola matanya. Ia baru saja selesai berdansa dengan salah satu muridnya. Wajahnya tak menyiratkan usia yang sesungguhnya, apalagi sintal tubuhnya. Lila baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke lima puluh lima. Seiiring itu, lagu berirama tango, La Cumparsita terdengar dengan gagah membahana yang dimainkan oleh House Band disana.

Lila menyenderkan tubuhnya di kursi sambil meneguk anggur merah yang baru saja dituangkan pelayan kedalam gelasnya. Sembari mengamati murid-muridnya yang berlatih dansa, kakinya masih ikut bergoyang-goyang mengikuti irama lagu Tango tersebut. Hampir dua tahun terakhir, ia memang dibantu oleh dua orang asisten. Kendati staminanya masih prima mengajar pagi dan sore di studionya, kehadiran dua asistennya telah banyak meringankan pekerjaannya sebagi guru dansa .

Sesekali ia berdiri dari pojok ruangan dansa untuk sekedar memanjangkan lehernya yang sudah jenjang guna mengamati setiap pasangan murid yang sedang berdansa. Malam itu ia berdandan sedikit istimewa. Namun rambutnya tetap ia cepak sebagai ekor kuda, khas gaya seorang penari. Hanya anak-anak rambut yang sedikit menghiasi keningnya. “ Kakinya masih kurang nutup tuh”, ujarnya kepada Dedi, salah satu asistennya, sambil menunjuk kepada salah seorang murid. Ia berharap Dedi segera memperbaikinya nanti pada jadwal latihan biasa. Hari itu, setiap Jumat malam adalah saat yang ditunggu –tunggu oleh para murid Lila. Mereka semua boleh tampil dengan pasangan masing-masing setelah giat berlatih sebelumnya. Bagi yang tak mempunyai pasangan, bisa berlatih dengan Dedi atau Adang. Mereka siap dengan sabar dan sepenuh hati membagikan ilmunya.

Di pojok sebelah sana, sekelebat sepasang pedansa mampir di penglihatannya. Pencahayaan di arena dansa itu memang agak redup, sehingga Lila tak bisa melihat dengan jelas kedua penari itu. Mereka menari dengan sangat indahnya, sesuai dengan beat irama tango yang menghentak-hentak bak hendak berperang. Lila hafal gerakan tubuh si pria. Sejenak Lila terhenyak. Ya, dia pasti Wilan…dia pasti Wilan, gumamnya di dalam hati. “ Ya pasti”, tanpa sadar ia berucap. Dedi, yang duduk disampingnya spontan berkata: “ Ya bu, pasti akan saya latih lagi, biar kakinya nutup”. Spontan Lila melirik ke arah Dedi sambil tergelak : “ Baiklah, terima kasih”, tanpa mengungkapkan kegusaran hati yang sebenarnya kepada Dedi. Ia merubah sikap duduknya untuk menutupi gejolak hatinya yang sedikit rusuh. Dedi masih tetap dengan mimik serius menanggapi instruksi induk semangnya.

Wilan pernah menjadi partner dansanya selama delapan tahun. Berbagai kompetisi di dalam dan di luar negeri pernah mereka menangkan. Lila dan Wilan adalah pasangan dansa nasional yang disegani untuk kategori International Ballroom. Mereka berlatih dan bekerja secara professional. Saat itu, suami Lila mendukung penuh prestasi istrinya. Demikian pula halnya kenyataan yang ada pada istri Wilan. Pasangan pedansa ini ditemukan oleh guru dansa mereka bersama, seorang Belanda totok yang tak pulang ke negerinya pada zaman revolusi, setelah menikahi seorang Nyai dari tatar Sunda.

Kedekatan secara fisik sudah harus terjadi pada saat berdansa. Tanpa kendali kontak fisik, tak mungkin seorang pedansa akan memaklumi instruksi dari pasangan dansanya. Wilan dan Lila saling melengkapi dalam berdansa. Setiap kontak mata mengisyaratkan sesuatu. Prestasi demi prestasi pun diraih mereka. Di luar arena dansa, mereka jarang berkontak. Meski demikian, mereka tetap menjalin kedekatan dalam berlatih, sehingga apabila setiap sentuhan ataupun hentakan ringan yang diberikan oleh Wilan, Lila sudah faham betul, gerakan apa yang diinginkan Wilan untuk ia peragakan. Apa yang sering disebut orang body language itu sudah mendarah daging pada pasangan dansa yang ditakuti oleh lawan-lawan mereka pada zaman itu.

Sambil tetap memegang handuk kecilnya, Lila tampak sudah lebih nyaman dengan dirinya. Matanya masih menerawang jauh dan pikirannya masih berputar-putar. Kakinya sudah tak bergoyang- goyang lagi walau musik masih tetap mengalun, berubah ke irama waltz yang mendayu-dayu . Sejak usia balita, Lila sudah berlatih balet. Penghayatan akan setiap gerakan membuatnya terlatih menjadi seorang yang sangat sensitif dan peka. Pernah suatu kali ia bertanya kepada Adang:” Dang, kenapa ya, kita ini sering sulit dimengerti oleh orang lain? “ “ Bu Lila, mungkin karena kita bahasanya body language ya? “, timpal Adang dengan polosnya. Mereka tergelak geli bersama sore itu. Sejak suami Lila berpulang tiga tahun yang silam, Lila memang mencurahkan seluruh waktunya kepada studio dansanya.

Nenek dari tiga orang cucu yang sudah remaja ini, semakin menikmati passion dansanya sambil mengajar. Dua orang anaknya sudah menikah. Yang sulung seorang dokter, si bungsu adalah seorang pelukis. Terutama ia amat bangga kepada si bungsu yang mewarisi darah seninya. Di sisi lain, ia kagum juga kepada profesi putri sulungnya. Ia akui, ia bukan lah seorang kutu buku. Imaginasi dan perasaannya lebih bermain daripada segala hafalan istilah kedokteran.

Sorot matanya tetap tak lepas dari gerak tubuh Wilan dan pasangannya yang masih berdansa. Lila tak mengenal pasangannya itu. Namun Lila tak peduli, ia tampak menikmati dansa mereka…Gerakan Wilan masih tetap sempurna seperti dulu. Pasangannya juga mengimbangi kemahiran Wilan dengan luwesnya. Kendati ia tetap bangga kepada Wilan, tak urung ada perasaan sedih yang menyesak dadanya saat itu. Untuk menutupi kegelisahan hatinya, ia beranjak mengambil mantel untuk menutupi tubuhnya yang tiba- tiba berkeringat kembali. “ Bu Lila, mending duduk disini”, ujar Dedi mempersilahkan tempat duduknya kepada Lila, sambil berfikir bahwa induk semangnya kena angin malam. “ Oh..tak apa-apa”, jawab Lila terkejut.

Hampir tiga tahun sudah berlalu, sejak terakhir Lila menjadi pasangan Wilan. Saat itu, Lila sibuk mengurus suaminya yang sedang sakit parah dan kemudian pergi menghadapNya. Untuk beberapa bulan, Lila vakum dari dunia dansa. Tidak seperti pada sebuah perkawinan. Tidak ada perjanjian tertulis yang mengatakan seorang partner dansa harus setia kepada pasangannya. Dengan berat hati, Lila mengatakan kepada Wilan, agar ia mencari seorang partner dansa yang baru. Menunggunya adalah mustahil saat itu, karena situasi dan kodisi suaminya yang tak menentu. Lila masih ingat ujar Wilan saat itu:” Uruslah suamimu, aku akan menunggu”. Lila amat terharu pada saat itu akan kesetiaan Wilan.

Satu tahun berlalu, suami Lila akhirnya tak tertolong. Lila amat terpuruk kehilangan suami yang dikasihinya. Suami Lila tak gemar berdansa, namun ia amat menikmati ketika melihat istrinya lincah menari balet. Itulah kisah awal mengapa ia jatuh cinta kepada Lila. Lila juga amat menghormati Otto, suaminya, serta menghargai kepercayaan yang telah diberikan almarhum. Hanya pedih dan duka yang ia rasakan berbulan-bulan kemudian. Sejurus berselang, tak ada berita dari Wilan. Diam-diam Lila masih tetap berharap, satu waktu bisa kembali berdansa dengan Wilan.

Seiring waktu, terbetik kabar bahwa Wilan telah pindah ke luar kota. Dengan seorang teman, ia membuka studio dansa disana. Lila amat menyayangkan, hingga kini Wilan tak pernah pamit kepadanya. Lila ingin segera menghampiri Wilan. “Bu Lila, ayo turun”, suara Dedi mengajaknya, sehingga membuyarkan seluruh lamunannya. “ Siap!”, balas Lila serta merta. Sesaat kemudian, mereka sudah berada di lantai dansa. Kaki mereka dengan lincahnya mengikuti alunan musik waltz yang seakan datang bergelombang seperti pasang dan surut di bibir pantai. Ketika gerakan tarian mereka melewati Wilan, sekonyong-konyong sorot mata Lila dan Wilan bertemu. Lila dan Wilan sama-sama terhenyak. Serentak mereka masing-masing terpaku diam. Baik Dedi, maupun pasangan Wilan hampir tersandung gara-gara mereka berhenti tiba-tiba.

Lila dan Wilan berhamburan dalam pelukan. Tak sedikitpun ada rasa kecewa di hati Lila, ditinggal Wilan. Dedi dan pasangan Wilan, bingung memperhatikan apa yang terjadi saat itu. “ Aku senang sekali menemukan kamu disini”, bisik Lila pada Wilan, sambil tetap merangkul erat Wilan. Kontak fisik itu masih saja terasa seperti dulu. Bahkan seandainya Lila menutup mata sekalipun, ia sudah hafal benar kalau sosok itu adalah Wilan. “Maafkan aku ya Lila, tidak meminta izin padamu, saat aku mulai berpartner dengan pasangan ku ini”, bisik Wilan masih di telinga Lila. “ Aku takut melukai hatimu”, sambung Wilan selanjutnya. “ Kamu mau kan memaafkan ku?”, pintanya sekali lagi. Tak ada kata-kata yang bisa terungkap dari bibir Lila saat itu. Airmatanya deras mengalir di pipi saat itu. Ia terisak. Ia ingin berkata-kata, namun kerongkongannya seperti tersumbat. Namun Lila yang masih berada di pelukan Wilan, mengangkat dagunya dan menatap ke arah Wilan. Dalam bening bola mata Lila, terpancar sebuah maaf yang tak bertepi..seluas samudera. Wilan tahu persis apa arti kontak mata dari Lila saat itu. Hatinya lega sudah. Sebuah batu yang menghimpit selama ini, tiba-tiba seperti terangkat. “ Kenalkan, ini Wilan, partnerku dulu”, ujarnya kepada Dedi. Wilan juga segera memperkenalkan partnermya, Niken kepada Lila.

Terngiang sebuah kutipan di telinga Lila yang mengatakan: Banyak jalan pintas untuk mendapatkan kebahagiaan, salah satunya adalah berdansa.

Hari itu , Lila belajar bahwa pernyataan itu tidak sepenuhnya benar. Tak jauh berbeda seperti kehidupan suami istri, dalam berdansa sekalipun, kesedihan kerap datang menghampiri. Itupun tanpa keterlibatan emosional atau kehadiran cinta antara mereka berdua. Kesedihan dan kebahagian memang sudah saling memiliki, tak terhindari, dimana pun mereka berada dan tak terbatas, pada dunia dansa juga.( Rosiany T Chandra)