Senin, 10 September 2012

Embun Perawan

Saat kuinjak butir embun perawan pagi
Nuansa dingin menusuk kaki menyergap jiwa
Hati yang pengap makin tergolek lemah
Kutadahkan wajah menatap pesona sang surya
Rasa hangat menjalar mencairkan selaput embun
Yang membalut hati dengan rasa dingin membeku
Kembali kurasa tak sebatangkara
Kehangatan pun ternyata datang menerpa
Diawali embun mutiara pagi..
Juli 2012

Gadisku Dan Kecoa

Beberapa hari lagi, gadisku akan kuliah ke FKG Trisakti, Jakarta. Tempat pondokan dan beberapa keperluan yang lain sudah mulai disiapkan semenjak beberapa minggu yang lalu.
Jakarta - Bandung memang ga jauh sih untuk berpisah dan mandiri dari orang tua.Kini, sebenarnya dimanapun di dunia ini hanya terpisah sejauh jarak jangkauan teknologi saja. Ataupun hanya terpisah ruang airport to airport.Selain itu, dengan usia seorang lulusan sekolah menengah tinggi, rasanya tak ada yang perlu aku kuatirkan secara berlebihan.
Aku jadi teringat saat aku pergi dari rumah dulu untuk kuliah ke luar negeri dengan usia yang 2 tahun lebih muda dari usia gadisku saat ini.Bersamaku saat itu, seorang sahabat masa kecilku ikut serta berangkat untuk merajut mimpi mimpi anak muda untuk kuliah ke Jerman.
Aku masih ingat, saat itu kedua orang tuaku mengantar aku hanya sampai bandara saja. Sejauh yang aku ingat, ibuku tak menyiratkan sebuah ekspresi di wajahnya. Entah apa yang ada di hatinya, sulit aku tebak. Aku hanya ingat bahwa ayahku menahan rasa haru diwajahnya..Akhirnya bulir airmata itu tumpah juga akhirnya.
Untuk usiaku yang 17 tahun saat itu, aku cukup bisa menahan emosiku dengan baik. Aku tidak ikut larut dalam suasana haru yang menyusup seketika. Usai mengencangkan sabuk pengaman di kursi pesawat yang membawaku ke negeri transit Singapura, tak terbendung lagi air mataku. Aku menangis sejadi jadinya.Sahabat yang duduk disampingku juga ikut menangis. Tak ada satu pun dari kami bisa berucap kata kata. Kami juga tidak saling menghibur, kami tidak saling bertatap..Namun kami tahu bahwa kami masing masing sedang menangis. Entah apa yang bermain di benak sahabat ku saat itu, hingga kini tak kuketahui. Yang aku tahu saat itu, ketika roda pesawat menyentuh daratan di Singapura, aku makin menangis karena dengan sadar mengetahui bahwa aku kini sudah kian menjauh dari rumah.
Kami duduk di deretan yang berisi tiga tempat duduk. Dijung sana duduk seorang bule, yang belakangan kami ketahui adalah seorang bule Jerman.Si bule tentu memperhatikan kami berdua yang menangis tak henti henti. Akhirnya ia penasaran juga dan mengajak kami berdialog. Dari situ kami tahu bahwa ia adalah seorang guru dan iapun memaklumi ketika mengetahui mengapa kami menangis!
Setelah tiba di negeri "mimpi", awalnya kami bak orang yang bengong..tak mengerti apa apa saat diajak berbicara dalam bahasa Jerman. Semua yang tampak adalah tulisan Jerman, segala yang di dengar, bahasa itu juga. Segala yang di TV, di majalah dan dimana mana....semua Jerman. Capek deh..!Kendati aku sudah les bahasa Jerman jauh jauh hari sebelum berangkat, rupanya itu tak terlalu banyak membantu.Belum lagi hati yang masih tetap galau pisah dari rumah...
Singkat cerita, toh akhirnya setelah 3 bulan menetap disana, kami berdua survive juga..Kini, 32 tahun telah berlalu, sahabatku bahkan telah menikah dengan orang sana dan masih tetap bermukim disana hingga kini. Sedangkan aku pulang kembali ke ibu pertiwi.
Kembali ke kisah gadisku yang hendak merajut mimpinya, aku tak terlalu khawatir, karena tak ada kendala bahasa dan "medan peperangannya" relatif lebih lembut dari apa yang kami alami saat itu. Selain itu, gadisku juga cukup mandiri dan bisa menggunakan akal sehatnya dengan baik. Ia tergolong gadis yang pemberani dan tidak cengeng. Ia tak gentar akan ular berbisa, berani memegang dan berfoto dengannya. Ia berani memegang cacing, anjing dan binatang lainnya dengan penuh kasih dan kelembutan. Ia juga gemar berkuda dan amat sayang sama binatang yang satu ini. Selain menunggang serasi, ia juga meloncat sesekali dengan kudanya. Sejak kecil ia mengerjakan segala sesuatu keperluannya dengan baik dan disiplin. Mempersiapkan jauh jauh hari segala keperluannya dan mencatat apa apa yang ia perlukan. Hal ini bahkan sering merepotkan aku, karena aku sering "di desak" untuk action jauh hari demi plan nya yang sudah ia susun rapih.
Hanya ada satu yang aku kuatirkan tentang dirinya, dan ini cukup mengganggu pikiran ku akhir akhir ini. Gadisku tak bisa melihat kecoa!! Kalau ada kecoa di kamar mandi atau di kamar tidurnya, ia langsung menjerit histeris. Dan segera meminta agar seseorang membantu untuk menyingkirkannya. Kalau di rumah ada pembantu, mereka lah sasaran jeritannya untuk segera datang dan "memusnahkan" binatang itu! Jika kecoanya sudah matipun, ia tetap akan berteriak untuk minta seseorang segera mengambilnya untuk menyingkirkannya..
Pusinglah aku jadinya....! Gimana caranya supaya tempat pondokan bebas dari kecoa???? Nyaris tak mungkin di Indonesia..!? Galauuuu...... Sukses ya nak, semoga tak ada kecoa nanti yang menghampiri ya!