Rabu, 29 Februari 2012

Salib Sebagai Sumber Hiburan Dan Kekuatan


Sekitar lima (5) tahun yang lalu, saya berkunjung ke sebuah biara
imam-imam OSC di kota Uden, Belanda. Setelah makan siang bersama, ada seorang pastur tua yang mengajak saya dengan berkata: "Mari, kita pergi ke kamar saya. Disitu kita bisa merokok dengan santai, tanpa mengganggu siapapun!" Nampaknya kami mempunyai hobi (jelek) yang sama.
Di antara kepulan asap, pastur tua itu tiba-tiba bertanya: "Coba kamu amati dua salib yang terpajang di dinding kamar saya itu. Apa beda diantara keduanya?" Sekilas saya pandang kedua salib itu: salib yang satu itu mempunyai "corpus" (tubuh) Yesus; sementara yang lainnya itu salib yang kosong atau polos: tak tergantung siapapun pada palangnya. Maka saya menjawab: "Salib yang mempunyai "corpus" itu adalah salib Katolik, sementara salib yang kosong itu adalah salib versi Protestant." Mendengar jawaban saya semacam itu, pastur tua itu lalu berkomentar: "Jawaban kamu lucu, tapi kurang bermutu. Perbedaan diantara kedua salib itu bukanlah perbedaan antara Katolik dan Protestant! "Ooh, begitu," ujar saya, "lalu apa bedanya dong?"
Setelah mengisap serutunya dengan nikmat, pastur tua itu lalu berkata lagi: "Salib yang dengan 'corpus" itu adalah Salib Kristus. Setiap malam saya berdoa sambil memandang salib itu untuk mencamkan dalam hati bahwa Kristus begitu mencintai saya hingga IA rela menderita dan mati agar saya lepas dari kuasa dosa dan maut. Sebaliknya, salib yang kosong itu adalah salib saya sendiri. Setiap malam, saya menggantungkan emosi saya, meletakkan perasaan saya pada salib kosong itu, khususnya rasa sedih dan susah yang saya alami pada hari itu. Dengan cara itu, saya merasa seolah-olah saya itu tergantung dekat dengan Yesus, serasa saya itu senasib-sepenanggungan dengan Yesus sendiri. Ringkasnya, justru kalau saya itu sedih dan susah, saya itu sungguh merasa dekat dengan Yesus, dan menimba hiburan serta kekuatan langsung daripadaNYA."
Saya terkesan dengan kisah pastur tua itu. Salib itu bukan hanya sekedar lambang atau hiasan belaka melainkan suatu ajakan untuk bisa hidup lebih dekat dan akrab dengan Yesus, Tuhan dan Junjungan kita. Kita sering berkata bahwa salib itu berarti penderitaan. Namun sebetulnya tidak setiap dan tidak semua penderitaan itu pantas disebut "salib hidup." Penderitaan itu hanya bisa disebut "salib" bila menjadi suatu ajakan dan kesempatan untuk makin mendekati Yesus, menjadi solider denganNya yang telah rela menderita demi cinta bagi manusia. Salib adalah penderitaan yang diresapi oleh rasa dan suasana cintakasih.

Keunikan iman Kristiani ialah melihat penderitaan bukan sebagai suatu beban melainkan sebagai suatu jalan, bukan sebagai suatu kutukan melainkan suatu kesempatan untuk mengungkapkan cinta kita kepada Allah dan sesama manusia. Yesus bersabda bahwa setiap orang itu "harus memikul salibnya setiap hari dan MENGIKUTI AKU." (Lukas 9: 23). Penderitaan itu hanya mempunyai nilai rohani, hanya menjadi "salib" kalau membawa kita kepada Yesus, mendekatkan hati kita dengan HatiNYA yang bersimbah dengan cintakasih. Dengan cara itu, "salib kita" bisa
menjadi suatu cara untuk berpartisipasi dalam "Salib Kristus", yakni salib sebagai sumber hiburan dan keselamatan.

Kisah tentang seorang ibu muda berikut mungkin bisa menjadi contoh tentang apa artinya berpartisipasi dalam Salib Kristus itu.

Seorang ibu mengandung untuk pertama kalinya. Saat usia kehamilannya mencapai tujuh bulan, analisa medis mengatakan bahwa janin yang dikandungnya adalah janin yang bercacat. Kemungkinan besar, janin itu akan meninggal saat ia dilahirkan; dan andaikan ia selamat dari proses kelahiranpun, seumur hidupnya bayi itu akan tumbuh menjadi seorang anak yang cacat, sakit-sakitan, dan terus menderita. Mendengar hasil diagnosis semacam itu, rasa panik dan sedih langsung melanda hati ibu
itu. Apa yang harus ia lakukan? Banyak pihak menyarankan agar ibu itu menggugurkan saja bayi yang tengah dikandungnya itu. Alasannya, kerna bayi itu kelak hanya akan tumbuh sebagai bayi yang menderita dan tak berguna. Tambahan lagi, kedua orang tuanya bukanlah orang yang berada. Rumah saja harus mereka kontrak! Dari mana bisa mendapat biaya untuk
merawat anak yang kelak akan sakit-sakitan sepanjang hidupnya itu? Bahkan ada yang berbisik: "Gugurkan saja janin itu. Kamu kan masih muda. Jadi masih banyak kesempatan untuk hamil lagi dan mendapatkan anak yang sehat di kemudian hari!"

Perang batin berkecamuk dalam hati ibu itu. Namun setelah berdoa dan berunding bersama suaminya, keduanya memutuskan untuk terus melahirkan anak itu, apapun resikonya! Betul saja: setelah lahir, bayi itu tak pernah bisa lepas dari kesakitan dan perawatan obat serta rumah sakit. Kedua orang tuanya sungguh harus berjuang untuk menyelamatkan nyawa bayinya dan menyelamatkan nafkahnya sehari yang pas-pasan!
Pada saat bayi itu berusia empat (4) tahun, seorang dokter ahli bedah otak tertarik pada kasusnya. Ia lalu menawarkan untuk mengoperasi bayi itu dengan biaya gratis. Operasi itu bisa mengurangi rasa sakit yang dialami bayi itu setiap hari, kendati tidak total memulihkan kesehatannya. Dokter itu juga lalu berusaha ikut membantu meringankan beban orang tua bayi itu dengan memberi sumbangan berkala untuk membeli obat-obatan. Ketika dokter itu ditanya mengapa ia terdorong untuk membantu keluarga muda itu, maka ia menjawab: "Hati saya tergerak oleh cinta ibu itu akan bayinya yang cacat. Ia sungguh berjuang mati-matian demi menyelamatkan jiwa anaknya. Semoga ia kelak mempunyai anak lain yang sehat sebagai balas dari cinta dan pengorbanannya!"
Ibu itu kini telah melahirkan anak kedua yang yang sehat dan lucu. Ia berkata bahwa anak kedua itu sungguh rahmat Allah yang membahagiakan hidupnya, Namun, katanya lirih, "Anak yang pertama itu sungguh buah hati saya. Saya mencintainya dengan segenap jiwa raga saya!" Salib yang ditanggung ibu itu telah membuat hatinya merekah penuh kasih sayang. Ia sungguh berpartisipasi dalam Salib Kristus: salib yang meluap dari rasa cinta untuk menyelamatkan nasib manusia. (ditulis oleh Pastor Agus Rachmat OSC)

Saya sangat suka tulisan yang menguatkan ini, sehingga saya unggah ke blog atas izin penulis