Minggu, 18 Agustus 2013

Pius : Pencipta Sosok Yesus dan Orang Kudus

Kini ia semakin betah di “sarang” baru yang ia bangun di bengkelnya. Disini ia bisa “liar” berkreasi, seakan-akan roh pada patung patung itu sendiri yang menghampiri, memberikan inspirasi pada dirinya.
Dahulu tidur- tiduran dan “bersarang” di ITB, bak di rumah sendiri selama hampir delapan tahun rupanya tak sia sia, bagi pria berkumis ini. Satu per satu teman seangkatan Pius Prio Wibowo lulus mendahuluinya. Mau tak mau Pius berjumpa serta berkenalan dengan teman teman dari angkatan baru yang segera menyusulnya. Namun mahasiswa Seni Murni Patung ini sedikit pun tak terusik, bahkan semakin betah dan akrab saja dengan lingkungan Lab Studio Patung Fakultas Seni Rupa dan Desain ( FSRD) Institut Teknologi Bandung. Disana ia seperti menemukan sebuah oasis yang memuaskan dahaga jiwanya. Disamping itu, pesona habitat artistik ini seakan telah menggelorakan kubangan magma inspirasi serta imaginasi yang tiada hentinya bergemuruh di benak dan kalbunya. “Belakangan baru saya sadari, bahwa jiwa kesenimanan saya banyak ditempa di situ”, kenang Pius dengan penuh nostalgia.
Kelak aneka bentuk patung dan salib Yesus yang tersebar di pelbagai gereja di nusantara adalah hasil buah karyanya sejak 1994 hingga kini. Selain patung Yesus dan aneka relief yang terpasang di meja altar gereja, ia juga menghasilkan puluhan patung Bunda Maria dan para Orang Kudus yang ada di beberapa gereja, antara lain yang tersebar dari Lampung (Gereja Hati Kudus, Metro) hingga Flores Gereja Santa Maria Magdalena di Nanga Hure, Maumere). Patung patung yang mendeskripsikan perjalanan sengsara Yesus di Taman Getsemani terpajang pula salah satunya di Jalan Salib Gereja Santa Perawan Maria, Karmel – Lembang. Bahkan beberapa kaligrafi serta relief bagi mesjid adalah hasil pahatannya pula, selain beberapa monumen serta kreasi medali penghargaan yang diciptakan untuk berbagai event.
Seni Lebih Kuat Dari Tarikan Otot
Awalnya, anak ke 10 dari 13 bersaudara, pasangan (alm) Yohanes Albertus Soeparlan dan (alm) Maria Helena Soepinah ini lebih tertarik ke bidang atletik. Semasa Sekolah Menengah Pertama, ia memang sempat menjuarai lomba sprint dan volley. Sejurus dengan prestasi di bidang olahraga ini, Pius sekaligus juga meraih juara dalam sebuah lomba gambar. Disamping itu, pelajaran prakarya juga adalah hal yang ia gemari. “Oleh sebab itu saya sering ikut membantu membuat patung pahlawan untuk perayaan 17 Agustus di lingkungan tempat tinggalku”, ujar Pius yang lahir dan besar di Bandung. Selulus SMP, Pius sempat bingung dalam menentukan bidang yang ingin ia tekuni. Sempat ia bersekolah di Sekolah Guru Olahraga (SGO). Namun sesaat kemudian ia menyadari bahwa naluri seninya bergema lebih kuat daripada tarikan ototnya. Alhasil iapun banting stir untuk melanjutkan ke Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) di Yogyakarta (1982).
Saat masa sekolah di Yogya ini, ia kerap berkunjung ke pelukis (alm) Affandi. Ia banyak belajar dari karya ekspresionisme Sang Maestro. Selain itu ia bergaul dengan kalangan seniman Yogya, antara lain ia kagum dengan seniman patung Edi Sunarso. Pius menyadari bahwa ia sangat menikmati ketika mengamati mereka berkarya. Hal ini yang selanjutnya memantapkan niatnya untuk memilih bidang seni yang ditekuninya hingga kini.
Titik Tolak Berkesenian
Tahun 1984 ia diterima di Fakultas Seni Rupa dan Desain, ITB jurusan Seni Murni Patung. Pius mengatakan bahwa daya tarik seni patung terletak pada media tri matra (tiga dimensi), yang memungkinkan ia melihat serta mewujudkan sesuatu dari sudut yang lebih lepas/ekspresif. “Sedangkan seni lukis hanya bermain di ranah dwi matra ( dua dimensi) dengan ekspresi internal” tutur suami seniman kaca patri, Sandra S. Hariadi. Selain itu ia menjelaskan, ada pula yang disebut lukisan semi tiga dimensi, yakni relief. “ Seorang pematung harus bisa menggambar”, ujar dosen dan kepala Studio Seni Patung ITB ini. “ Memahami anatomi manusia adalah bagian dari titik tolak dari berkesenian”, imbuhnya kemudian. Selanjutnya Pius membeberkan bahwa di dalam tubuh manusia terkandung unsur estetika yang perlu disingkapkan melalui sebuah karya seni. Untuk ini diperlukan teknik dasar modelling, carving, serta memahami berbagai bentuk dan komposisi yang didukung oleh sebuah konsep yang kokoh.
Semasa kuliah, ia sempat mengikuti lomba monumen yang diikuti pula oleh dosennya. Saat itu ia berhasil menjadi pemenang, dan sekaligus mengalahkan dosennya. Momen ini ia kenang sebagai hal yang menambah kepercayaan dirinya untuk kukuh berkarya di seni patung. Lulus 1991 dari ITB, ia bekerja pada seniman Sunaryo dan magang di mantan dosennya, Rita Widagdo. Selanjutnya ia ke Belanda, berguru kepada Prof Ans Hey untuk ‘Stone Carving’. Dilanjutkan kemudian ke Perancis untuk menimba ilmu kepada Prof Jean Kammal.
Pius mengaku bahwa ia lebih menyukai berkreasi di jalur abstrak. Menurutnya ini menjadi sebuah daya tarik karena “arena” ini tak mudah diintervensi, yang mengizinkan imaginasinya “liar” berkelana lebih jembar. “Meski demikian, esensi bentuk tubuh manusia yang telah berubah wujud menjadi sebuah bentuk abstrak tetap wajib memiliki nilai kontinuitas serta misi yang ingin disampaikan” pesan pria bersahaja dan halus budi ini.
Peduli Narapidana
Bersamaan dengan waktu ia diterima di ITB, Pius membangun sebuah Bengkel Seni Rupa. Awalnya bengkel ini bergerak di bidang pendidikan seni rupa yang menghasilkan teori pemahaman estetika bentuk. Namun seiring waktu, perusahaan mengembangkan diri di bidang yang lebih luas dan mengarah kepada praktika yang diwujudkan dalam khazanah ruang publik dan masyarakat, seperti monumental eksterior, patung, relief, piala, restorasi dll. Saat ini di bengkelnya Pius dibantu oleh beberapa orang berbakat eks narapidana. “Mereka perlu diberi hak kesempatan untuk berkerja kembali di dalam masyarakat”, ungkap pria yang masih sempat menjadi ketua lingkungan Santo Rafael, paroki Santa Odilia, Bandung.
Sejak ia masih bersekolah di SMP St. Yusuf – Bandung, berbagai rupa karyanya kerap dipamerkan hingga kini. Selain berpameran di berbagai kota besar di Indonesia, Pius juga diundang untuk memperkenalkan hasil karyanya ke segenap mancanegara, antara lain seperti Pameran “Marquis de Sade” et les Pleres de Lacoste, di Perancis ( 1993), Pameran Seni Rupa Asia di Kyungsung University, Pusan, Korea ( 1997), Taiwan dan Singapura. Disamping itu, monumen hasil rancangannya sebagian telah menjadi poros kota serta landmark di beberapa wilayah pemukiman. Salah satunya, sebut saja monumen ‘Rama’ di Gelora Bung Karno, Senayan –Jakarta dan patung Phitecanthropus Erectus di Museum Nasional.
Tak terhitung sejumlah relief indah telah menghiasi beberapa lobby bank, hotel serta gedung perkantoran terkenal di Jakarta serta kediaman pribadi para pecinta seni. Dalam merancang sesuatu ia selalu mengupayakan agar apa yang ia ciptakan dapat menggugah orang yang melihat, sehingga menjadi inspirasi bagi banyak orang. Terlebih lagi jika melalui hasil pahatannya, ia dapat menuntun orang untuk lebih khusyuk berdoa sehingga menjadi lebih dekat kepadaNya.
( Rosiany T. Chandra)

Kulihat Ada Cahaya

Aku melihat dengan jelas apa yang sedang dirundingkan oleh tim dokter yang sedang mengelilingi ranjangku. Salah satu diantaranya memeriksa data di monitor yang terpasang di atas samping kepalaku. Tiba tiba aku bisa berada diantara dimensi yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku berada di saat kini, di masa lalu dan di masa yang akan datang sekaligus.. Aku bingung sendiri, aku kini sedang berada di mana ya? Rasanya aku seperti ada di pojok atas ruangan yang berbau steril tersebut. Sedikit di atas atap ruang ICCU tersebut. Namun dengan pandangan mata elang yang terekam 360*. Bahkan aku mendengar dengan jelas apa saja yang sedang dibicarakan tim dokter tersebut. “ Aku melihat sorot mata Kartika, adikku yang tertunduk lesu, sambil membiarkan air matanya mengalir “, bisikku lirih kepada sebuah cahaya terang yang tiba tiba menyapaku. “ Kami memutuskan untuk tidak menambah dosis obat, biarkan semua mengalir apa adanya. Mari kita doakan”, ucap provinsial, mantan muridku itu yang disertai persetujuan kakakku.
Aku ingin berucap sesuatu, serta merta ingin menyetujui keputusan keluarga tersebut atas tubuhku yang terbujur ringkih dan kaku oleh kanker yang telah menggerogotinya. Sekonyong-konyong rasa sakit yang menyiksa tak kurasakan lagi.. Aku seperti dilepaskan dari rasa nyeri tak kepalang yang menghujam tubuhku beribu ribu laksa. “ Kalimat kalimatku yang berupa teriakan keras rupanya tak terdengar oleh mereka”, laporku pada cahaya tersebut. Aku juga bingung kenapa mereka tak bisa mendengarku. Padahal jelas jelas aku menujukan jeritanku kepada mereka.
Cahaya itu Tersenyum
“ Anakku yang kukasihi..mari ikutilah Aku..!” perintah suara dibalik cahaya yang menyilaukanku. Sejenak aku ragu.. Aku melihat sekumpulan umat dari parokiku datang menjengukku. Pak Supit dan ibu memegang tanganku. Hangat terasa genggaman tangan mereka di kiri kanan tubuhku…mereka sedang berdoa bagiku. Aku amat terharu. Sehari hari mereka banyak membantuku baik sebagai anggota dewan paroki, maupun sebagai sahabat bersepeda jika hari Sabtu tiba. Sesaat kemudian, aku bisa mendengar segala pembicaraan yang terjadi di ruang tunggu di luar kamar ICCU yang aku tempati. “ Pastor Robert adalah Pastor moderator kami yang sangat bijaksana dan senantiasa menghangatkan suasana dengan gaya jenakanya.”, jelas Bu Vera kepada salah satu ibu, umatku dari Cigugur yang sudah puluhan tahun tak pernah ku jumpa. Aku lupa lupa ingat siapa namanya. Namun parasnya tak banyak berubah. Salah satu anggota mudika yang aktif di masa aku bertugas sebagai salah satu pastor rekan di sana. Wajahnya menyiratkan keprihatinan ketika mendengar dari bu Vera bahwa harapan hidupku tinggal mujizat dari Yang Kuasa saja.
Pastor Andika tampak sedang memimpin doa bagi semua umat yang ku kenal satu persatu. Sangkin banyaknya mereka di luar sana, tak semuanya mendapat kesempatan masuk ke dalam ruangan dimana tubuhku berada. Doa yang mereka lambungkan sangat mententramkan hatiku. “ Aku baik baik saja disini…tak usah kuatir!”, ujarku sekuat tenaga di telinga mereka satu persatu…Aneh, mereka tetap tak mendengarku. Aku mulai kecewa dan panik juga. Doa Rosario meneduhkan dan menyamankan jiwaku yang galau. Kepada cahaya tersebut ku katakan bahwa aku ingin kembali kepada mereka. Umatku membutuhkanku. “Biarlah aku bersama mereka”, pintaku separuh memelas. Cahaya itu tersenyum kepadaku…”Aneh juga ya, cahaya bisa tersenyum, hal yang baru bagiku”, kataku lirih kepada almarhum ayahku yang berada disampingku. Kehadirannya sedikit banyak menghilaukan kegalauanku.
Tentram Di Keraguan
Anehnya saat itu, bukan hanya rasa sakit yang hilang, namun kedamaian yang bukan dari bumi, yang belum pernah kurasakan sebelumnya datang bersemayam di jiwaku. Aku melihat paru paru ku penuh dengan air, dengan selang oksigen di hidungku. Tubuhku yang ringkih dan makin kecil mengejutkan diriku sendiri. Aku sebenarnya tak mau kembali lagi ke tubuh yang sakit dan tak nyaman itu. Aku seolah berdiri di depan pintu kematian, sebuah pintu yang tidak dibatasi oleh apapun seperti yang ada di dunia. Pintu ini adalah sebuah tempat yang tanpa batas. Aku tak bisa mengatakan bahwa itu adalah pintu surga. Tapi aku merasa begitu dekat sekali dengan makna sebuah cinta yang memelukku sehingga aku tak memiliki rasa takut lagi.
Suara manik manik Rosario yang gemerincing dari seorang sahabatku yang sedang berdoa di samping tempat tidurku semakin memantapkan langkahku dan sekaligus meneduhkan hatiku. Aku bukan diriku lagi saat itu. Aku berjalan semakin jauh..meski bibirku ingin melontarkan luapan rasa terima kasihku, namun aku tak mampu lagi. Aku berjalan semakin jauh dengan iringan lagu lagu yang didengarkan melalui CD player yang terletak di samping tempat tidurku.” Biar kini daku bersyukur, Tuhan, merasa tenteram di keraguan..”. Lagu ini semakin jelas terdengar di telingaku.
Sejurus hal ini, semua menjadi begitu jelas.. jelas sekali terekam semua kisah perjalanan kilas balik yang aku alami dalam hidup pelayananku. Kini, tak sedikitpun ada rasa cape dan lelah akibat jadwal pelayanan yang padat yang kurasakan. Bahkan rasa kecewa yang pernah aku rasakan ketika tak memiliki waktu untuk menulis lagi sirna saat itu juga. Langkahku semakin ringan dan mantap melangkah, memenuhi panggilan Yang Kuasa. “Aku tidak terpaksa meninggalkan kenikmatan dunia.., karena disini aku baik baik saja, bahkan mungkin kenyamanan yang ku alami ini adalah kenikmatan surgawi sejati yang tak dimiliki oleh para sahabatku yang aku tinggalkan!”
( Rosiany T Chandra) Dimuat di majalah Komunikasi Agustus 2013

Minggu, 12 Mei 2013

PYM

Saya bukan termasuk teman dari jadul nya Romo Kartono. Kami baru saling mengenal pada tahun 2006 dari seorang teman saya Laurent. Berjalan dengan waktu, kami bertiga tetap keep in touch di virtual space dan senantiasa saling mempercandai, saling menimpali guyonan sekaligus saling mendukung juga.
Seringkali PYM (Paduka Yang Mulia = kami menyebut beliau demikian) mengirim tulisan untuk majalah HIDUP atau tulisan untuk konsumsi blog nya kepada kami. Tujuannya adalah meminta masukan atau penilaian atas tulisan tersebut. Biasanya saya sering memberi tanggapan atau penilaian tertentu untuk apa yang saya anggap perlu untuk diperbaiki. Sejujurnya saya memang suka gaya penulisannya yang sederhana, mudah dimengerti dan tak bertele-tele, sesuai gambaran refleksi dirinya sendiri. Tulisan darinya saya baca sebagai pengisi waktu luang yang biasanya sekaligus sebagai penambah wawasan yang bermutu.
Sejak Oktober 2008, saya membantu di buletin paroki Pandu. Dalam hal mempersiapkan tulisan-tulisan, saya banyak dibimbing dan diarahkan oleh hopeng saya ini. Saya banyak belajar hal hal baru dalam dunia tulis menulis sebagai dunia yang amat dicintainya.
> Sosok Jenaka
Sebenarnya saya banyak mengenal Romo Kartono lebih dekat melalui tulisan-tulisannya yang saya baca. Ia adalah sosok yang jenaka, jujur, rendah hati dan mempunyai kepekaan yang sangat terasah dengan baik. Dibalik pribadinya yang jenaka, pada dasarnya ia adalah orang yang boleh dibilang tertutup. Walau guyonan guyonan yang dilontarkannya terkesan keluar dengan spontan, sebenarnya ia amat piawai mengendalikan dirinya dengan baik. Candanya amat khas dan tiada duanya! Anehnya lagi, walaupun candanya terdengar kelewat batas jika diucapkan orang lain, tapi jika ia yang melontarkannya, rasanya tak ada orang yang akan tersinggung, malah gerrrrr….!!Jika anda mampu menangkis candaannya dengan baik, jangan berharap anda akan jadi pemenang. Dengan ‘licik’nya ia mampu berkelit dan anda akan dibuat terpingkal-pingkal oleh lontarannya yang tak terduga!
Eittt…jangan senang dulu jika satu saat anda dipuji PYM. Anda baru saja akan sumringah..,secepat kilat anda akan ‘dijatuhkan’ kembali dengan komentar berikutnya yang bikin gemess tiada tara. Ha ha ha…Jika ia tampil tak usil, malah kita merasa aneh. Terfikir oleh saya dan Laurent, jika sekarang aja usilnya demikian, apalagi dulu ya sewaktu kanak-kanak dan remaja. Mungkin harus ditanyakan kebenarannya ke teman sepermainannya. Ha ha..
Tetap Tersemat
Hal hal tersebut diatas sepertinya yang membuat umat cepat merasa akrab dengan Romo yang acapkali agendanya sudah penuh dengan pertemuan pertemuan jauh hari sebelum ia tiba di tanah air. Tampaknya ia amat menikmati tugas pelayanan ini yang diembannya dengan hati riang gembira serta diiringi dengan persiapan yang matang pula. Pin OSC yang senantiasa tersemat di krag bajunya mencerminkan semangat CROSSIER tetap menyala nyala dimanapun ia berada.
Amat menyenangkan punya hopeng yang ‘rame’ ini. Terima kasih untuk persahabatan yang telah terjalin. Saya sangat menikmatinya.
Selamat pesta Imamat 25 tahun Romo:
Mazmur 23:6 Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku:seumur hidupku; dan aku akan diam dalam rumah Tuhan sepanjang masa. ( Rosiany T Chandra , 15 Agustus 2009)

Selasa, 05 Maret 2013

Bukan Hanya Cerita Di Dalam Hati

Seorang imam tengah berdiri di belakang meja altar, sambil merentangkan kedua belah lengannya. Kasula bermotif indah yang dikenakannya terpampang jelas…
Nyaris tak pernah terfikirkan oleh kita, siapa dibalik rancangan artistik yang berunsur etnik tersebut, sampai saya bertemu dengan seorang wanita yang berparas manis dengan tutur kata yang lembut. Ia adalah Sandra S. Hariadi, seorang designer rancang motif dan kacapatri yang secara “tak sengaja” terjun dalam rancang motif stola dan kasula.
Awalnya adalah Pastor Christophorus H. Suryanugraha OSC, ketua Institut Liturgi Sang Kristus Indonesia yang menawarkan Sandra untuk merancang kasula para imam yang akan digunakan dalam peresmian gedung pastoral gereja Santa Perawan Maria Sapta Kedukaan – Pandu, Bandung. “ Saya mau saja, karena ini merupakan tantangan baru bagi saya”, ujar Sandra, sarjana S1 Seni Rupa dan Design ITB , jurusan Seni Murni – Studio Seni Keramik.
Sejurus berselang, sudah ada 14 motif kasula dan stola hasil kolaborasi mereka bersama. Motif yang dihasilkan sebagian besar adalah hasil eksplorasi motif kain etnik yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. “ Biasanya saya menyesuaikan motif dari daerah tertentu yang akan dikembangkan, tergantung di mana kasula tersebut akan digunakan” imbuhnya kemudian. Selain itu tak jarang pula ia merancang motif geometris yang telah dikomposisi ulang menjadi sebuah motif baru. Untuk hal ini, Sandra tetap berkonsultasi dengan Pastor CH Suryanugraha OSC, agar rancangannya tetap dalam pola dasar liturgis yang menciptakan keindahan bagi Tuhan. Hingga kini kasula hasil rancangannya banyak digunakan di berbagai misa, seperti tahbisan imam, misa khusus dll di berbagai kota di Indonesia.
Cerita Di Dalam Hati
Ketertarikannya pada bidang seni rupa bermula sejak ia masih sekolah di SD St Angela. Pelajaran menggambar sangat ia senangi. “ Melalui sebuah gambar, saya bisa mengungkapkan sebuah “cerita di dalam hati” hingga menjadi sebuah wujud nyata”, papar istri seniman patung, Pius Prio Wibowo ini. Disamping itu, apa yang ia rasakan, dan ceritakan di dalam hati bisa terungkapkan lewat bentuk, warna dan rangkaian cerita/puisi dari gambar tersebut.
Tahun 1987 ia diterima di FSRD (Fakultas Seni Rupa dan Desain)ITB, Jurusan Seni Murni, Studio Keramik. Ia memilih studi keramik karena tertarik untuk berkarya dalam bentuk tiga dimensi. Menurut Sandra, bahan dasar tanah liat yang digunakan untuk membuat karya keramik, adalah bahan yang kelihatannya mudah untuk dibentuk, namun ternyata perlu perjuangan dan kesabaran khusus untuk mendapatkan hasil yang baik. “Selain itu, hampir selalu ada unsur kejutan pada hasil akhirnya, misalnya gagal, retak atau glasir beda warna, bahkan rusak atau sebaliknya malah menjadi lebih artistik!” ujar ibu dari Damian Satya Wibowo, putra semata wayangnya.
Kacapatri
Menurut Sandra, pengolahan kreatifitas dalam bidang seni rupa bisa dijadikan dasar bagi bidang artistik lainnya. Oleh sebab itu, selain merancang motif kasula, ia juga berkarya di bidang relief keramik serta elemen estetis interior rumah. Selain itu ia juga menekuni dan mengerjakan proyek kacapatri. “Saat ini saya sedang mengerjakan kacapatri untuk Gereja Santa Maria Magdalena di Maumere, Flores”, paparnya. Selanjutnya ia menyampaikan bahwa fungsi dari kaca jendela adalah meneruskan cahaya dari luar atau dari dalam ruangan. Tetapi ketika kaca jendela itu diberi sentuhan artistik, dalam hal ini kacapatri, akan memberi kesan tertentu bagi interior ruangan tersebut. Ketika kacapatri yang ada di gereja tidak lagi bercerita tentang isi hatinya, melainkan menyampaikan tentang isi hati Tuhan, Sandra mengungkapkan: “ Hal inilah yang membuat saya tertarik menekuninya, karena sebuah ruangan menjadi lebih bermakna pada akhirnya”, jelas umat paroki Santa Odilia – Cikutra, Bandung ini dengan antusias.
Kesimbangan Spiritual
Sejak SMA hingga masa kuliah, ia sudah aktif di mudika lingkungan dan kampus, antara lain mendekor berbagai kegiatan KMK serta menghias kandang natal di Katedral. Selain itu sejak 1997 hingga kini, ia adalah sekretaris lingkungan Santo Rafael, Bojongkoneng, tempat ia bermukim. Ditengah kesibukannya tersebut, sejak tiga bulan yang lalu ia bergabung dengan paduan suara Caeli Cola, sebagai salah satu bentuk pelayanan bagi gereja dan Tuhan. “Masih tersisip keinginan untuk berbuat lebih lagi, terutama dengan menggunakan talenta artistik yang dikaruniakan Tuhan kepada saya, yang mungkin sudah dimulai dengan rancang motif kasula dan kacapatri untuk gerejaNya” harap Sandra.
( Rosiany T Chandra) Telah dimuat di majalah Komunikasi edisi Februari 2013

Senin, 04 Maret 2013

Jerat Dansa

Sebenarnya saya tidak banyak berfikir macam-macam saat saya memutuskan untuk belajar dansa hampir setahun yang lalu. Saya mengajak suami saya, Andy untuk belajar waltz, hanya gara gara kami ingin menghadiri pernikahan anak dari seorang sahabat baik kami di Bali. Andy menyambut baik ajakan saya. Tanpa pikir panjang kami pun berlatih di Bale Pertemuan Bumi Sangkuriang, sebuah heritage club house yang menyediakan fasilitas latihan dansa. Sudah hampir duapuluh lima tahun kami menjadi anggota club house ini. Fasilitas yang belum kami coba dari dulu adalah latihan dansa. Semua fasilitas olahraga yang lain tentu sudah kami nikmati, sejak masa anak anak bertumbuh dan berkembang di Bumi Sangkuriang yang kami cintai. Diantaranya tenis, nonton film bareng, fitness, senam, bilyar serta beberapa pengenalan budaya dan seni lainnya.
Kejar Target
Sebenarnya sudah lama kami mengetahui ada latihan dansa di Bumi Sangkuriang. Bahkan Ballroom Nite Bumi Sangkuriang yang diadakan setiap Jumat malam sudah sangat dikenal sejak zaman Opa Oma kita dulu, yang hingga kini tetap dipertahankan sebagai sebuah trademark di Bumi Sangkuriang. Meski demikian, dansa adalah satu-satunya aktivitas yang belum pernah kami coba. Mungkin ini disebabkan karena belum ketemu momentum yang pas saja. Jadi kembali ke peristiwa wedding tadi yang akan kami hadiri, itu sepertinya sebuah titik awal bagi kami untuk berlatih dansa. Sehingga peristiwa ini seperti “proyek kejar target” bagi kami. Artinya dalam waktu sebulan, kami sudah ingin bisa berdansa secara basic.
Motivator
Sebenarnya hampir lebih dua tahun yang lampau, Pak Koko Darmawan Saputra, kini salah satu pengurus Bumi Sangkuriang, yang sudah kami kenal di lapangan tenis, tak henti hentinya selalu mengajak untuk berlatih dansa pada setiap ada kesempatan jumpa. Saya sungguh kagum dengan keberhasilannya di lantai dansa. “ Pak Koko aja yang mantan petinju bisa jadi pedansa, masak saya ga bisa ya?”, demikian gurau saya setiap jumpa dengannya. Namun diam diam sebenarnya saya tetap penasaran yang disertai decak kagum ketika melihat ia berdansa dalam salah satu acara Bumi Sangkuriang.
Saat itu saya pun tidak tahu, saya mau belajar tarian apa. Meski saya pernah mendengar istilah tarian Ballroom, namun saya tidak faham pada saat itu tarian apa saja yang masuk kategori ballroom tersebut. “ Pokoknya saya mau belajar nari lagu ini”, demikian tukas saya pada Denny, salah satu pengajar di Bumi Sangkuriang sambil memperdengarkan CD lagu Waltz. Pak Koko teperanjat juga ketika melihat kami ujug ujug datang “menyerahkan” diri untuk latihan.
Selanjutnya dari nol kami belajar basic step dari tarian waltz ini. Wah..jangan ditanya apa rasanya, hampir putus asa juga sih …karena gerakan nya di ulang-ulang dan tak membuahkan hasil seperti yang diinginkan. Namun Denny dan bu Mey Mey, pakar guru dansa di BS, tetap memberikan semangat dan contoh tak henti-hentinya. “Aduh, sakit pinggang nih!”, keluh Andy, suami saya sambil menyeka keringat yang bercucuran. Demikian pula halnya pada diri saya. Saya tetap memberi semangat pada Andy, karena emang saya yang ngajak awalnya. Padahal saat itu saya juga berfikir mau udahan aja, karena rasanya ga maju maju dan badan serba kaku dan sulit membuat gerakan gerakan yang diinginkan.
Tak Tahu Dalamnya Lautan
Ketika tiba saatnya acara wedding di Bali, kami sudah sedikit menguasai teknik dasar yang 18 step itu. Ya..sedikit lega juga. Namun saat itu, saya ibaratnya belum mengetahui “dalamnya lautan”. Saya kira itu sudah semuanya tentang waltz..Ternyata saya keliru!!! Rupa-rupanya, belakangan baru saya sadari bahwa saya baru berada di tepian, sehingga kami masih jauh banget dari riak gelombang di pinggir pantai sekalipun. Akhir akhir ini, makin saya berlatih, rasanya makin banyak saja yang belum saya ketahui. Dan perlahan segalah teknis dasar yang sudah diketahui sebelumnya, makin diperhalus dan semakin dipoles.
Usai acara pernikahan, rasa penasaran sedikit demi sedikit mulai muncul seiiring dengan rasa kagum tentang pak Koko tadi mulai “mengganggu” saya kembali. “ Masak pak Koko bisa, kita ga bisa?”, gurauan antara kami kembali mengiang. Oleh sebab itu kami memutuskan untuk tetap berlatih terus. Ini adalah sebuah keputusan yang tak saya sesali kemudian. Selain berolahraga yang mengakibatkan keringat sangat hebat, ada keindahan yang dirasakan di sela sela setiap gerakan, yang menyusup ke dalam kalbu. Tak terlukiskan, namun bisa dirasakan..
Koneksi Pikiran Dan Otot
Sejurus berselang, saya ingin mencatat beberapa hal yang saya pelajari dalam proses belajar berdansa ini. Saya menemukan banyak hal baru diluar pelajaran teknik yang saya dapatkan. Sebagai pemula, memang kita harus siap “diisi” dengan segala teknik dasar yang kadang sangat membosankan, karena badan kita memang belum “menurut” seperti apa yang kita ingin kan di pikiran. Kita tahu apa yang musti kita kerjakan untuk menghasilkan gerakan yang dicontohkan. Namun “perintah” tersebut tidak “nyampe” kepada otot kita. Persoalannya menjadi bagaimana kita mampu untuk “meletakkan” pikiran kita pada otot kita, sehingga koneksi yang terbentuk itu, melalui latihan rutin akan menjadi semacam reflex yang spontan.
Sedikit demi sedikit, koneksi ini akan terbangun. Ketika hal ini sudah teratasi, latihan seakan menjadi lebih ringan. Tak urung semangat untuk bisa berdansa dengan baik dan benar tetap harus dipupuk bersama-sama dengan anggota komunitas dansa BS. Hanya melalui komunitas ini, kendala yang kita hadapi bisa kita bicarakan sehingga kita bisa mendapat masukan masukan yang berarti.
Ilmu Hidup
Selain masalah teknik yang saya sebutkan diatas, ternyata masih ada hal psikologis dan filosofis yang ternyata merasuk juga ke dalam dunia dansa. Dalam berdansa, secara otomatis sebenarnya kita membangun sebuah kedekatan dengan partner dansa kita. Sebagai lady, kita harus mampu membaca gerakan apa yang diinginkan oleh partner dansa kita. Artinya kepekaan kita dalam proses ini diasah. Kita tidak boleh mendahului dalam membuat gerakan tertentu. Tetap pedansa lelaki adalah leadernya dalam memainkan melodi tarian tersebut. Oleh sebab itu, dalam berdansa ballroom, tubuh bagian atas( sedikit dibawah dada)harus nempel pada tubuh bagian atas partner kita. Ibaratnya seperti engsel pintu yang bisa bergerak kian kemari, namun tak lepas dalam perubahan arah maupun gerak tarian. Ketika diamati, tempelan tubuh dua pedansa membuka keatas seperti huruf V. Dengan demikian, koneksi antara dua tubuh akan menghasilkan gerakan terpadu membentuk sebuah formasi yang harmonis.
Seperti pada umumnya banyak komentar yang datang dari non pedansa, yang sedikit bernada miring jika kita tidak berdansa pada pasangan hidup, memang bisa dimaklumi. Namun sebenarnya pada kenyataan, kedekatan itu tidak timbul akibat kedekatan fisik itu semata. Banyak hal hal diluar itu yang memungkinkan segala kemungkinan bisa terjadi, sama seperti halnya juga relasi di luar dunia dansa yang kerap rentan pula terhadap hal hal yang berbau sensualitas dan romantisme.
Karena jika kita secara serius berlatih dan berkonsentrasi pada gerakan tertentu, fokus kita tentu pada bagaimana caranya agar gerakan itu berhasil dengan baik. Itu saja.
Pelajaran apa yang bisa kita dapatkan saat bagaimana seorang pedansa memperlakukan ladynya, ini juga merupakan hal yang patut kita cermati. Saya tidak ingin berlarut dalam persoalan teknis, namun saya ingin menyorot dampak psikologisnya. Seorang pedansa yang baik akan mempersilahkan ladynya untuk beraksi pada saat yang tepat. Disini terjadi transaksi take and give. Mereka akan silih berganti seiring dan sepakat dalam melangkah dan mundur. Dari sisi filosofisnya, manfaat nilai yang sama tersebut terjadi dalam kehidupan sehari –hari di dalam membangun kehidupan yang nyata. Saling asih, asah dan asuh.
Untuk menghasilkan gerakan yang sempurna, tak mungkin jika kita mau menangnya sendiri melangkah tanpa memperdulikan atau mempersilahkan langkah partner kita untuk mendahului ataupun menunggu kita. Disini diperlukan koordinasi yang baik dalam mengasah kepekaan bersama yang diperlukan. Pelajaran berharga dalam seiring sejalan di dalam kehidupan berumah tangga.
Disamping itu, seberapa besar langkah yang kita ambil, sewajarnya menjadi pedoman bagi partner kita untuk mengimbanginya, meski itu ada kalanya terlalu besar ataupun terlalu kecil putarannya. Disini kita ditemukan dengan peran solidaritas yang juga kita temui dalam nilai kehidupan di masyarakat. Hal ini dilakukan bukan hanya demi sebuah bela rasa yang ingin dicapai, namun juga untuk menjaga sebuah stabilitas gerakan dansa yang sudah direncanakan. Secara filosofis, ini adalah sebuah teamwork yang membutuhkan sebuah kesatuan, meski masing masing pedansa melakukan kewajibannya sendiri sendiri. Rasa ini perlu kita asah pula dalam menjalin pertemanan dan relasi dengan siapapun.
Hal lain yang saya dapatkan dari pelajaran berdansa adalah dimana kita berhasil merefleksi diri kita dari cermin yang terpantul dari gerakan yang dihasilkan oleh partner kita. Dalam gerakan gerakan tertentu, kita mengimitasikannya, sehingga itu menjadi sebuah gerakan yang seirama, sebentuk, tapi berbalik arah bagi diri kita sendiri. Dalam arti konkretnya, apa yang kita dapatkan dari partner kita sebenarnya adalah hasil feed back/”bayangan” yang dipantulkan oleh diri kita sebelumnya. Makna filosofisnya, apa yang kita beri pada partner hidup kita, itulah yang kita dapatkan kembali. Dalam kata bijaknya, kira kira berbunyi demikian: Apa yang kamu beri, itulah yang akan kamu dapatkan. Selain itu, pada akhirnya tentu menghasilkan ringan sama dijinjing, berat sama dipikul, bila distribusi tenaga dua pedansa untuk menghasilkan sebuah gerakan yang terpadu, telah terbagi berimbang
Makin saya amati, berdansa ini makin menarik, karena selain olah fisik yang membuat kita makin bugar, dansa sarat akan nuansa nuansa ilmu kehidupan. Itulah mungkin salah satu sebab mengapa saya makin cinta saja pada olahraga ini. Disamping itu, satu aspek lain yang ingin saya tambahkan adalah, rasanya tidak ada cara lain yang lebih optimal dalam menghayati sebuah musik, selain dengan berdansa! Ketika kita berdansa, musik yang kita dengar seolah-olah mencapai klimaks nya bak sebuah orgasme, saat kita mampu mengekspresikannya dalam sebuah gerakan tubuh yang seirama dan “senyawa” dengan alunan lagu yang sedang kita nikmati tersebut. Sensasi ini terjadi berulang –ulang, dan berbeda beda nikmatnya seiring dengan perubahan alunan irama, kata-kata yang dinyanyikan dari lagu, maupun suasana yang dihasilkan oleh lagu tersebut.
Ada kalanya, suasana hati kita bisa menjadi melankolis, romantis, namun tak urung seketika bisa berubah menjadi dramatis atau riang gembira. Sensasi ini yang saya kira bisa membuat seseorang refresh sejenak dari rutinitas sehari hari. Hal ini tentunya mempengaruhi seluruh system yang ada di tubuh. Jika ada yang mengatakan bahwa dengan berdansa, sesorang akan awet muda, mungkin ada benarnya, karena olahraga ini tidak hanya membentuk fisik, namun juga jiwa dan pikiran.
Mari tetap berdansa!
5/3/2013 ( Rosiany T Chandra)

Minggu, 03 Maret 2013

Ingat Pesan Pastor

Della Yusi bergegas bangkit dari duduknya, sembari mengemas alat alat kecantikan yang ada di dalam tool box miliknya. Ia berjalan menuju sebuah ruangan dan segera menutup pintunya. Della memang adalah seorang ahli perias wajah. Seorang “pelanggan” telah menunggunya disana.
Della yang kini berusia 29 tahun, telah enam tahun bekerja di Amal Penguburan Katolik (APK) St. Jusuf, dari Rumah Duka RS St Boromeus, Bandung, Jawa Barat. Sehari hari, ia memandikan dan merias wajah jenazah yang disemayamkan di sana. “ Saya selalu mengutamakan sebuah kebersihan bagi mereka yang ingin menghadap Sang Khalik”, tukas Della, seorang muslimin. Disamping itu, dalam merias jenazah, ia perlu mengeluarkan segala jurus kreativitas demi sebuah tampilan sosok yang ramah, agar nyaman dikenang bagi keluarga dan handai taulan. Untuk hasil itu, ia gesit memainkan segala alat rias yang dimilikinya.
“ Sewaktu-waktu, memang ada jenazah yang memang perlu di touch up lebih dari biasanya karena akibat kondisi kecelakaan”, ujarnya dengan mimik wajah datar. Tak ada sedikitpun aura gentar yang tergurat diwajahnya saat menceritakan profesi yang ditekuninya ini. “Ketika pertama kali ikut sebagai asisten perias, saya takut dan sempat lari karena kaget!” papar ibu dua putra ini. Namun seiiring waktu, rasa gentar ini perlahan sirna.
Sudah lama Della akrab dengan wawasan katolik. Sejak SD ia mendapat santunan dana pendidikan dari sebuah yayasan katolik, St. Jusuf, Bandung yang dikelola oleh (alm) Pst. Verhoeven, OSC. Bantuan pendidikan berlanjut hingga ia lulus SMK Insan Cinta Bangsa, jurusan perkantoran. Selanjutnya melalui serangkaian lamaran , Della tak kunjung mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan apa yang dipelajarinya. ”Akhirnya saya bekerja sebagai cleaning service di RS St. Jusuf serta mengurus pasien di Panti Werda St. Jusuf”, ujar Della. “ Pst. Verhoeven tak pernah memaksa saya untuk mengikuti agamanya. Beliau hanya pernah berpesan agar satu hari saya tak mengabaikan apa yang dinamakan pengabdian”, imbuhnya kemudian.
Kendati sempat terhenyak sejenak, ketika ia ditawarkan APK untuk menekuni profesi yang tak biasa ini, Della tetap ingat apa yang dipesankan oleh almarhum Pst. Verhoeven. “ Saya ingin sekali mewujudkan keinginan Pastor untuk tetap mengabdi”, kenangnya dengan wajah berseri.
Rasa pengabdian yang kini ia wujudkan dalam aksi nyata, telah menjadi bekal dan dasar kekuatan baginya dalam menekuni profesi yang dibutuhkan ini. (Rosiany T Chandra)

Bukan Setengah Dewa

Gambaran sosok “manusia setengah dewa” yang kerap kita berikan kepada seorang Romo, akhirnya tidak bisa lagi kita pertahankan. Sekurangnya Minggu siang ( 14/10) itu, cap tersebut layak dipertanyakan serta dikupas tuntas.
Bagaimana sebenarnya kehidupan seorang Romo sehari -hari sering menjadi pertanyaan yang menggelitik untuk diketahui sebagian besar umat. Namun pertanyaan tersebut seringkali tak terjawab sejurus dengan gambaran “sosok manusia tanpa cela” yang telah diberikan oleh umat, sehingga mau tak mau image tersebut ikut dipelihara oleh sebagian besar imam. Bertempat di gereja St Helena – Lippo Karawaci, tabir itu kemudian disingkapkan oleh peluncuran sebuah buku ‘Asyiknya Jadi Romo’, karya Pastor Heribertus Kartono, OSC. Acara launching buku ke empat karyanya ini, di bedah oleh Sr. Ayda, OSU, Bapak Didiek Dwinarmiadi( wartawan Kompas) dan Pastor Dr. Haryatmoko, SJ.
Buku ini berisi sembilan puluh kisah pengalaman Pastor Heri, demikian ia akrab disapa dalam kehidupannya sehari hari. Ceritera yang ia paparkan sangat variatif. Tidak hanya kisah tentang tantangan saat ia berpastoral, namun juga tentang bunga rampai kehidupannya sehari hari baik di tengah keluarga maupun orang orang yang ia kasihi.
Sama seperti sosoknya yang kocak, demikian pula adanya dengan kisah kisah yang ia tulis dengan jenaka. Meski demikian, sebenarnya tidak semua peristiwa yang ia tulis adalah kejadian yang konyol atau lucu. Bahkan beberapa kisah diantaranya adalah cerita yang mencekam, salah satunya sebut saja, kisah perampokan yang dialaminya. “Namun dibalik setiap peristiwa yang ia alami, Pastor Heri mampu melihatnya dari sisi positif dan jenaka, sekalipun hal itu adalah peristiwa pahit. Sehingga ia senantiasa menemukan solusi yang tepat”, ujar Pastor Haryatmoko dalam sesi bedah buku tersebut.
Oleh sebab itu, buku ini juga menawarkan sebuah pencerahan, seperti yang dungkapkan oleh Laurentia Ng, salah satu pengunjung;” Kisah kisah dalam buku ini mengajarkan saya bahwa kita harus bisa mengolah setiap tantangan hidup yang datang, dengan bumbu kejenakaan, sehingga bebannya menjadi lebih enteng!” “ Sikapnya yang kerap mentertawakan diri sendiri dalam sebuah kondisi yang sedang tak mudah dihadapi, justru merupakan kiatnya untuk keluar dari situasi yang sulit “, ujar pastor Haryatmoko dengan mimik yang tak kalah kocaknya. Bapa Uskup Mgr Ign Suharyo dalam kata pengantarnya di buku, menyebutkan bahwa Pastor Heri memang mempunyai bakat besar untuk menuliskan kisah-kisah hidup sehari –hari. Ada yang lucu, ada yang nakal (= seperti penulisnya), ada yang rada serius, yang semuanya merupakan bunga-bunga kehidupan.
Disamping itu, buku ini juga menjawab beberapa keraguan tentang panggilan imam yang kian surut. Ternyata menjadi imam itu asyik asyik aja kog, dan imam itu tentunya adalah seorang manusia seutuhnya, bukan setengah dewa!! ( Rosiany T Chandra)