Rabu, 06 Agustus 2014

Ketika Hati Sudah Berpaut

Alkisah, hiduplah seekor kuda belang nan elok di sebuah desa di Prambanan yang tak jelas namanya. Sama seperti nasib hidupnya yang tak jelas, demikian pula identitasnya pada saat itu. Sehari –hari ia membantu pekerjaan induk semangnya, yaitu menarik andong, istilah kerennya, delman. Sama seperti induk semangnya, hidupnya pun dari hari ke hari amat prihatin. Ia sudah cukup bersyukur bila mendapat jatah makan dedak sehari sekali. Menjelang malam, biasanya hanya rumput yang menjadi kudapannya menyongsong hari esok subuh yang akan dimulai dengan rutinitas yang sama, yakni mengangkut penumpang demi beberapa lembar uang ribuan bagi induk semangnya. Otot punggungnya yang ringkih menanggung beban, tak pernah dihiraukannya. Kompresan air hangat yang diberikan induk semang sedikitpun tak mengurangi reda nyeri otot yang masih amat belia, bahkan cenderung menghilangkan semua bulu surainya yang terurai indah. Perawakannya tidak gagah. Baru dua setengah tahun usianya. Ototnya pun belum terbentuk sempurna. Namun belang hitam putih yang berbercak di tubuhnya membuatnya tampak ceria dan lucu bak mainan bernyawa. Di bawah terik mentari siang, tubuhnya berkilau bercampur keringat bercucuran, menambah bercak belangnya kian menawan. Ia pun tak sempat merenungi nasibnya. Yang ia ketahui, ayahnya konon adalah seekor kuda balap yang pernah juara. Ia hanya harus pasrah…mengapa nasibnya jauh berbeda dengan sang ayah, yang tak pernah ia kenal apalagi datang menjenguknya. Satu hari, seorang pemuda, pemilik sebuah stable pacuan kuda di Pangandaran datang berwisata ke Prambanan. Ia amat tertarik dan jatuh hati dengan si belang, saat ia menaiki andong yang di hela oleh si belang. Si pemuda bertanya pada induk semangnya, apa si belang mau di lepas oleh pemiliknya. Walau dengan berat hati si belang meninggalkan induk semangnya, apa mau dikata, ia tak bisa menolak takdir. Singkat cerita, si belang pun berpindah induk semang dan pindah ke kandang yang lebih lumayan di Pangandaran. Nasib mujur sedikit mulai berubah. Ia mendapat nama Joko Wanalu, identitasnya yang baru sesuai nasibnya yang baru pula. Joko menempati kandang sendiri dengan asupan makanan kuda pacu yang lebih memadai. Joko Wanalu tak perlu bangun pagi pagi lagi untuk menghela andong. Si Joko masih punya waktu di pagi hari untuk menikmati semilirnya angin pantai Pangandaran serta berjemur di bawah teriknya mentari. Kali ini tidak dalam berpeluh basah, namun dalam suasana santai merumput di pagi hari. Oleh pemiliknya, ia dirawat baik, terlebih lagi kasih sayang yang berlimpah. Oleh sebab ia mantan kuda andong, saat dituntun ia perlu sedikit di tarik bak menarik sapi yang di cocok hidungnya. Ia tak terbiasa berjalan tanpa beban yang harus diangkutnya. Perlahan dengan penuh kesabaran sang pemuda melatihnya dengan penuh kasih dan kesabaran. Hari demi hari berlalu, sebulan kemudian, gizi yang terserap menampakkan hasil. Joko Wanalu menjelma menjadi seekor kuda yang kendati tetap kecil, namun gagah dan berwibawa. Suatu hari, ia disertakan dalam sebuah pacuan kuda. Tak disangka, keiukutsertaannya yang pertama kali itu membuahkan hasil juara pertama. Tak terkira senangnya ia dan dan sang pemilik Joko Wanalu. Seiring dengan waktu, pengalaman bertandingnya pun bertambah. Juga dalam pertandingan tunggang serasi dan jumping. Satu saat ia dipindahkan oleh pemiliknya ke Bandung. Joko Wanalu bertambah usianya. Ia mulai tertarik pada lawan jenisnya. Satu hari ia jatuh cinta pada seekor kuda yang imut imut belia, yang bernama Azumi. Azumi adalah seekor kuda yang berwarna abu abu dengan bercak putih. Surainya yang indah tertiup angin amat memikat hati Joko Wanalu. Saat merasa di perhatikan, Azumi pun mulai menebarkan pesonanya, Dengan suara nyaringnya, ia mulai meringkik sambil mengibas-ngibaskan surainya…..dengan harapan pesonanya berbalas. Joko Wanalu mendekati Azumi yang memang sedang birahi. Perlu diketahui, masa birahi kuda betina memang hanya sebulan sekali pada saat ovulasi saja. Dan itu berlangsung satu dua hari saja. Temaram sinar bulan malam itu menjadi saksi betapa indahnya kasih berpaut antara dua hati. Pemilik Joko Wanalu dan Azumi memang membiarkan itu semua terjadi. Induk semang mereka yang sama, bisa ikut merasakan kebahagiaan mereka. Saat itu, sang pemuda pun sedang memadu kasih dengan gadisnya. Terinspirasi oleh paduan kasih Joko Wanalu dan Azumi, sang pemuda pun ingin segera meminang sang kekasih dan menikahinya. Sejurus berselang, Azumi mengandung dan sebelas bulan kemudian, lahirlah baby Elena, bayi mungil yang lucu dan menggemaskan. Konon, Elena adalah anak pertama Azumi, walau ia sudah pernah beberapa kali menjalin kasih dengan kuda lain. Suatu hari, Joko Wanalu menarik hati seorang wisatawan yang sedang bertandang ke kandang. Ia ingin menghadiahkan Joko Wanalu kepada anaknya. Pemuda, pemilik Joko Wanalu yang memang sedang memerlukan biaya bagi pernikahannya, sepakat memberikan si Joko pada penawar baru. Dengan berat hati Joko Wanalu harus meninggalkan Azumi terkasih dan baby Elena. Apa mau dikata… Hancurlah hati Azumi. Joko Wanalu adalah cinta terbesarnya. Sepeninggal Joko Wanalu, Azumi tidak pernah menebarkan pesonanya lagi pada siapapun. Untuk menghibur hati Azumi, ia pun pernah beberapa kali dijodohkan ke kuda yang lain. Namun perkawinan tak pernah membuahkan hasil. Cinta jiwa raganya sudah berpaut pada Joko Wanalu.. Tak kehilangan akal, pemilik Azumi kembali mencari Joko Wanalu ke kandang lain yang juga terletak di Bandung. Joko Wanalu ditemui dalam keadaan sehat. Hidupnya berkecukupan. Kandangnya indah luas. Makanan berlimpah dan hidup di sayang-sayang. Mantan kuda andong ini tak perlu berpacu lagi. Kini ia menjadi kuda pajangan yang hanya sesekali saja ditunggang oleh anak si pemilik baru. Joko Wanalu mendapat nama baru yang keren : Toblerone, sejurus dengan nasibnya yang berubah. Namun takdir berkata lain. Tragis, Joko Wanalu ternyata ditemukan dalam keadaan sudah dikebiri…..!! Hancurlah hati Azumi, jika saja ia mengetahuinya. Menangis darah pun tak ada artinya.( Rosiany T Chandra) Terlahir dari sebuah kisah nyata