Senin, 10 April 2017

Dinamika Perkembangan Religiusitas

A. Pengantar Saya diminta memberi masukan tentang religiusitas karena salah satu tujuan pendidikan di YA ini adalah meningkatkan mutu religiusitas para siswanya. Tugas itu jelas tak bisa dilimpahkan hanya kepada para guru agama (katekist) kerna setiap orang mempunyai tugas dan sumbangsih pribadinya juga: menjadi saksi, teladan dan pewarta imannya. (5 tugas/panggilan dasar warga Katolik: koinonia, diakonia, liturgia, kerugma, martyria = persekutuan, pelayanan, perayaan, pewartaan, dan kesaksian hidup). Religiusitas bisa diartikan sebagai dimensi afektif dari agama: dampak dari ajaran dan praktek agama dalam hati manusia; hubungan diantara agama dengan pelbagai arus perasaan yang silih berganti timbul dalam hati manusia saat ia mengarungi aneka tahapan dan problematika kehidupan. Berikut dengan singkat akan saya sampaikan visi dua pakar psikologi agama, Henri Nouwen dan Gordon Allport, tentang tiga (3) tahap dinamika perkembangan religiusitas manusia: tahap kanak-kanak, remaja dan dewasa. B. Religiusitas Tahap Kanak-Kanak Ada tiga (3) moment penting terjadi semasa periode kanak-kanak (1-12 thn): kesadaran bahwa ego bukanlah pusat dunia, tumbuhnya kemampuan berbahasa, dan pembentukan suara hati (superego). 1. Ego Bukan Pusat Dunia Sekitar usia 18 bulan, seorang bayi samar-samar menyadari bahwa dia itu bukanlah pusat dunia: bukan satu-satunya pusat perhatian keluarganya, khususnya ibunya. Dalam periuode sebelumnya, khususnya semasa dalam kandungan, seorang bayi itu menikmati “zone of comfort and security.” Anak & ibu itu sungguh menyatu kerna keberadaan sang ibu itu sungguh tercurah dan terserap demi survival sang bayi: segalanya langsung ada dan tersedia demi pemenuhuan kebutuhan lahir-batin bayi. Melalui serangkaian pengalaman pahit (frustasi), sang bayi mulai menyadari bahwa ibunya itu bukanlah perpanjangan tubuhnya, bahwa ibunya memnpunyai perhatian dan kesibukan lain disamping dirinya: jerit & tangisnya, rontaan & rengekannya tak langsung membawa kepuasaan yang diberikan sang ibu. Ringkasnya, bayi mulai menyadari ada dunia obyektif di luar dirinya: dunia yang terpisah dan tidak di bawah kontrolnya. Dalam kaitannya dengan agama, ada gejala bahwa orang dewasa pun mempunyai religiusitas yang kekanak-kanakan: ia merasa bahwa Allah adalah ekstensi/perpanjangan dari dirinya; bahwa tugas Allah adalah memberikan “instant comfort & security.” Perlahan-lahan kita harus menyadari bahwa Allah itu lain dari diri kita dan tidak berada di bawah control kita. Ringkasnya, orientasi religiusitas kita itu mesti berubah dari “Terjadilah kehendakku” menuju “Terjadilah KehendakMu.” 2. Kemampuan Berbahasa Sekitar usia dua tahun, seorang anak menunjukkan kemampuan linguistic: mampu menguasai kata, kalimat, bahasa. Ia ingin mengetahui nama dari segala benda, aktivitas dan peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Penghayatan bahasa seorang anak itu bersifat “magis dan imperative.”. Bahasa itu bersifat magis kerna dirasa mempunyai kekuatan untuk menciptakan dampak tertentu. Sebuah boneka plastic bisa dirasa/dialami sebagai seorang Putri atau Malaekat kerna dinamai “Princess or Angel.” (eg. ponakan dengan angel-nya). Seorang bayi hanya bisa menikmati setangkai bunga dengan cara meremasnya sampai hancur. Namun dengan kemampuan linguistiknya, seorang anak bisa menikmati bunga dengan menciumnya sambil berkata: “Flower is nice and beautiful.” (rasa “nice & beautiful” itu diciptakan oleh kata!). Bahasa kanak-kanak juga bersifat imperative kerna melalui bahasa, ia bisa mengatur dan memerintah orang-orang di sekitarnya, khususnya di Indonesia yang banyak PRT. Bahasa mempunyai peranan yang penting dalam hidup beragama kerna melalui bahasa kita mencoba untuk berkomunikasi dengan Allah. Namun bahasa religius orang dewasa pun bisa kekanak-kanakan kerna bersifat magis & imperative: melalui doa, novena, ziarah etc, kita berusaha mengatur Allah agar IA melakukan apa yang kita inginkan. Bahasa menjadi sarana untuk mengubah hati Allah agar IA berat sebelah ke arah nasib & keberuntungan kita (dan jika tidak terjadi… kita lalu marah dan frustasi kepada Allah). Bahasa religius yang sejati itu tidak bersifat magis & imperative melainkan mempunyai cirri-ciri sbb: - ekspresif = curhat yang confidential - reflektif = membangun niat dan motivasi yang luhur-mulia - konsultatif = dialog dengan Allah untuk mencari pencerahan. Doa St. Fransiskus : « Ya, Allah, berilah aku keberanian untuk mengubah apa yang harus diubah ; kepasrahan untuk menerima apa yang tak bisa diubah ; dan kebijaksanaan untuk mengetahui perbedaan di antara keduanya. » - imploratif = aneka jenis doa permohonan Ringkasnya : bahasa religius yang sejati adalah sarana untuk mengubah diri sendiri, dan bukannya mengubah Allah. 3. Pembentukan Superego Antara usia 3-8 tahun, seorang anak terlibat dalam proses pembentukan superego melalui mekanisme internalisasi : ia merekam dalam batinnya segala anjuran & larangan, segala teladan dan kelakuan orang-orang penting yang berada di sekitarnya. Otoritas eksternal menjadi otoritas internal : ia tidak lagi merampas mainan adik bukan kerna dimarah bapa melainkan kerna ia sendiri merasa itu dindakah yang salah. Bila otoritas eksternal itu terlampau keras dan kaku (tak pernah minta keterangan dan pertimbangan), maka superego anak pun akan terasa sebagai « internal policeman » : tugas utamanya adalah mengawasi, membekuk dan menjatuhkan hukuman ! Dalam hidup beragama pun Allah bisa dipandang sebagai “the Great Superego” (= The Spying God). Akibatnya, orang bisa menderita depressi kerna merasa terus menerus diawasi dan diancam oleh pelbagai larangan dan hukuman. Patut diingat bahwa “image Allah” dari Kitab Suci itu mengambarkan Allah sekaligus sebagai “Hakim yang Adil & Bapa yang Baik.” Hakim yang adil adalah hakim yang tidak menjatuhkan hukuman dengan sewenang-wenang tetapi selalu meminta keterangan dan kesaksian terlebih dahulu. Bapa yag baik adalah Bapa yang selalu memberi tempat bagi rasa sesal dan ampun, memberi kesempatan pada manusia untuk belajar dari kesalahan menuju kebaikan. Tanpa image tentang Allah sebagai Hakim & Bapa ini, maka agama bisa menjadi sumber dari collective neuroses (Freud). C. Religiusitas Tahap Kaum Remaja-Muda Dua moment penting menandai dan mempengaruhi religiusitas kaum muda, yakni: penemuan dunia batin (the internal world) dan pengaruh dari pandangan ilmiah (scientific viewpoint). 1. Eksplorasi Dunia Psikis (Jiwa) Minat dan perhatian utama seorang anak itu terutama tercurah pada dunia fisik yang berada di luar dirinya. Ia asyik mengeksplorasi segala yang bisa diamati oleh pancaindranya. Mulai masa remaja (teenage), seorang anak mulai menemukan adanya dunia yang lain, yakni dunia psikis dalam dirinya sendiri yang sarat diisi arus perasaan dan angan-angan (feelings & fantasies). Ia mulai mengeksplorasi dunia psikis itu, tenggelam dalam lamunan dan bayangan; asyik dengan buku harian, blog, FB & Twitter etc. Dunia psikis kaum muda itu bersifat “moody, conflictual and confusing.” - moody = berubah-ubah, up-down, muncul dan hilang berganti tanpa bekas dan sebab yang jelas - conflictual = sekaligus diisi oleh feelings & fantasies yang berbeda-beda, bahkan bertentangan satu sama lain: cinta X benci, agresif & kooperatif, sepi & ramai, antusias & cuek etc. - confusing = bingung kerna merasa menjadi korban perasaan intensif yang tak bisa dikendalikannya: korban dari rasa sedih, murung, kecewa; bahkan dari rasa benci atau cinta yang tak kenal batas dan perhitungan (korban kerna “kecelakaan” = korban perasaan intensif). Ada bahaya bahwa dalam hidup beragama, kita menerapkan pendekatan yang legalistic terhadap dunia psikis kaum muda ini: do not, do not, do not: jangan membunuh, jangan mencuri, jangan gossip, jangan narkoba, jangan dugem, jangan masturbasi, jangan pornografi, jangan kumpul kebo etc. Akibatnya, penghayatan agama seseorang itu bisa menjadi fanatic atau munafik: - fanatic: menghantam segala gejala haram yang berada di luar diri kita kerna takut gejala itu akan menggoda dan membakar dorongan haram yang bercokol dalam jiwanya (eksternalisasi dorongan jahat dan haram) - munafik: hidup yang mendua dan berkedok public yang palsu (sembunyi-sembunyi). Pihak agama hendaknya membantu kaum muda mengolah dunia psikisnya hingga ia bisa melakukan beberapa tindakan berikut: - introspeksi (mawas diri): mengenali dorongan baik dan buruk yang bercokol dalam jiwanya hingga ia sadar bahwa segala tuntutan perbaikan dan perubahan eksternal itu harus mulai secara internal dalam dirinya sendiri: “Mengapa engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui.” Mat. 7:3-4). - empati: (sambung rasa): kemampuan untuk ikut menanggung dan menanggulangi kesalahan & kesulitan orang lain . Kisah Yesus tentang perempuan yang tertangkap basah berzinah: ”Siapa yang tidak berdosa, hendaklah ia melemparkan batu yang pertama.” Empati Yesus: Ia tidak melempar batu, sebaliknya membungkuk dan mengangkat wanita itu agar bisa bangkit dari kesalahannya.etc. - compassion (welas asih): banyak niat, motivasi, idealisme dan gerakan yang luhur dalam sejarah itu timbul dari rasa compassion = prihatin: perih-hati (Gandhi, Alabama Woman; we are the world: para artis juga bisa menjadi pejuang kemanusiaan, eg. Lady Di & A. Jolie etc). 2. Pendekatan Ilmiah Bangku sekolah dan universitas adalah tempat kaum muda berkenalan dengan dunia ilmu dan pendekatan ilmiah. Sering mereka bingung kerna serasa ada konflik antara iman dan ilmu. Tugas para ilmuwan dan teolog untuk mencoba melakukan dialog antara iman dan ilmu tersebut. Kendati demikian, dunia ilmiah memang mempengaruhi pola religiusitas kaum muda. Tiga kata kuncinya adalah: hipotesis, eksperimentasi dan probabilitas: - hipotesis: agama dan Allah tidak dirasa sebagai dogma yang mutlak tapi sebagai hipotesis hidup (the God hypothesis): keberadaan Allah dan manfaat agama bukanlah suatu kepastian yang perlu ditelan bulat-bulat tapi suatu dugaan yang perlu dipertimbangkan dengan cermat. - eksperimentasi: Kepercayaan akan agama tertentu itu dibuat berdasarkan eksperimen pribadi: pengamatan perilaku orang beragama, perbandingan teoritis & praktis antar agama, pengalaman pribadi (jangan heran lihat kaum muda bereksperimen dalam gereja & di luar gereja: seperti kutu loncat). - probabilitas (kemungkinan yang rasional): keyakinan religius dianggap sebagai suatu probabilitas, artinya: suatu kebenaran yang relatif, bukan absolut. Kebenaran yang dianggap absolut itu mengharamkan pandangan yang berbeda: lain = salah. Pandangan yang relative itu mengakui adanya skala kebenaran (& kesalahan: tak langsung total benar/salah) dan ada ruang bagi perbedaan. Penilaian yang final diserahkan kepada Allah semata. D. Religiusitas Tahap Dewasa Dewasa dalam konteks ini tidak ditentukan oleh kategori usia seseorang melainkan oleh kematangan rohaninya. Religiusitas yang dewasa itu bertumpu pada rasa fiducia (basic trust) akan nilai kehidupan: dalam kondisi apapun dan kendati apapun yang menimpa diri kita, kita itu tetaplah mahluk yang berharga & tercinta (valuable & loveable being) kerna Allah tetap mencintai kita. St. Aloysius berkata ”Ad Maiora Natus Sum” (born for something great): something great = untuk merasakan kasih Allah serta untuk meneruskan & menyebarluaskan kasih Allah tersebut dalam dunia. Fiducia adalah trust akan kasih ilahi tersebut! Sebetulnya, untuk setiap tindakan dan segala kegiatan sehari-hari, kita itu membutuhkan kadar fiducia (trust) tertentu. Setiap kali kita naik mobil/pesawat atau membuat kontrak tertentu, kita itu percaya bahwa pesawat itu akan membawa kita dengan selamat ke tempat tujuan, atau mitra kontrak kita akan menepati janjinya etc. Fiducia itu disebut ”basic trust” kerna obyeknya adalah totalitas kehidupan kita: dalam segala situasi dan trahapan hidup, hidup kita itu tetap berharga dan bermakna (juga sbg embrio kecil atau lansia uzur). Contoh berikut mungkin bisa menjelaskan arti dari fiducia tersebut. Pada suatu hari, Bunda Terasa dari Kalkula melihat ada seorang pengemis terbaring di selokan. Tubuh pengemis itu kotor dan sekujur badannya penuh dengan bisul yang bernanah. Bunda Teresa lalu membawa pengemis itu ke Panti Nirmala, dan merawatnya dengan seksama dan penuh kasih. Setelah tiga hari, pengemis itu akhirnya meninggal dunia. Namun sebeleum menghembuskan nafas, ia sempat berkata kepada bunda T: ”You are an angel. Selama hidup, saya sering diperlakukan sebagai binatang, lebih sial dan nista ketimbang anjing. Tapi bunda telah memperlakukan saya sebagai seorang manusia yang berharga. You are an angel. Trimakasih.” Mendengar itu, bunda T lalu berkata: ”No, it is you who are truly an angel.” Pengemis itu lalu meninggal dengan wajah yang tenang dan tersenyum. Beberapa hari setelahnya, suster2 lain murid BT bertanya kepadanya: Bunda, kami mengerti mengapa pengemis itu menyebut bunda sbg angel. Tapi mengapa bunda memanggilnya juga sebagai an angel?” BT lalu menjawab:” Coba kalian perhatikan. Pengemis itu sepanjang hidupnya sudah menderita, sekujur tubuhnya itu sungguh terasa sakit. Tapi ia bisa mati dengan tenang, masih bisa mensyukuri setetes kebaikan yang ia rasakan. Ia tidak marah dan benci kepada siapapun: tidak marah kepada Allah, kepada pemerintah, kepada nasib, kepada apapun dan siapapun. Hatinya bisa tetap merasa damai dan trimakasih. Itu sebabnya ia adalah an angel!” Dalam kisah itu,kita mendengar tentang tingkah dua malaekat. Sang pengemius yang tetap bisa merasa damai dan trimakasih dalam hatinya; dan BT yang memperlakukan pengemis itu sebagai insan yang berharga: sbg anak Allah yang tetap layak dicintai. Keduanya meradiasikan arti dari fiducia: percaya bahwa hidup itu tetap berharga dan pantas dicinta. “Lord, than You for life, love and people!” E. Penutup. Dari buku Paulus Winarto (HOPE, p. 50), saya baca lelucon bijak berikut: Apa perbedaan antara orang miskin, orang kelas menengah dan orang kaya dalam hal makan? - Saat makan, orang miskin akan selalu bertanya:”Besok apa kita makan?” (untuk makan hari ini saja sudah sulit didapat, beson entah makan atau tidak). - Orang kelas menengah sebaliknya akan berkata: ”Besok kita makan apa?” (maksudnya: apa menu dan preferensi makan kita besok? = makan = pilihan). - Orang kaya tipe A (serakah) akan bertanya: “Besok kita makan siapa? (soal ”acquisition”: besok kita bisa merampas peluang dan rejeki siapa?). - Orang kaya tipe B (murah hati) sebaliknya akan bertanya: ”Besok kita kasih makan siapa?” (artinya: besok siapa yang mesti dibantu?). Rasanya kita mesti berusaha menanamnkan mentalitas orang kaya tipe B itu kepada anak didik kita. Mungkin figur seperti Bill Gates bisa dijadikan sebagai contoh. Separuh dari hartanya dicurahkan ke dalam Yayasan Sosial Melinda Foundation: Melinda nama dari istrinya, dan ia pernah jadi anak didik sekolah suster ursiline di masa remajanya. We are born for something great and beautiful: for loving and being loved! Agus Rachmat osc

Pst Agus Rachmat OSC :Beriman Seperti Malaekat -Malaekat Kecil

Pengantar Dalam Kitab Suci, kita mengenal adanya kisah dan figur para malaekat. Mereka adalah utusan Allah, - the messengers of God-, pembawa pesan dan kekuatan ilahi ke dalam hati manusia. Misalnya, seorang malaekat tampil kepada Maria menyampaikan pesan bahwa ia dipilih menjadi Bunda Tuhan. Sekaligus malaekat itu menguatkan hati Maria agar ia jangan takut & gentar menanggapi panggilan ilahi tersebut. Demikian juga, pada saat Natal, muncullah rombongan malaekat yang menari dan menyanyi di langit yang terang berbintang untuk mewartakan bahwa bayi Yesus itu adalah Sang Mesias (Kristus), seorang bayi yang kelak akan menyelamatkan dunia dari bencana dosa, derita dan kematian. Dikisahkan juga bahwa malaekat datang melayani Yesus saat Ia digoda setan di padang gurun dan saat Ia mengalami pergumulan batin yang kritis di taman Getsemani: “Seorang malaekat dari langit menampakkan diri kepadaNya untuk memberi kekuatan kepadaNya.” (Lukas 22: 42). Malaekat di Taman Getsemani Siapakah malaekat itu? Apa peran dan sumbangan mereka bagi kehidupan rohani kita sebagai orang yang beriman? Malaekat adalah personifikasi dari relasi dan komunikasi yang intens di antara Allah dan manusia. Orang yang percaya akan malaekat adalah orang yang percaya bahwa Allah bukanlah Allah yang bisu dan bungkam, melainkan Allah yang terus bekerja dan berbicara sepanjang masa: Allah yang terus mencurahkan kekuatanNya dan menyampaikan pesan tentang KehendakNya kepada manusia. Pesan dan kekuatan ilahi itu masuk dalam kesadaran kita pada saat iluminasi: saat pencerahan batin. Iluminasi semacam itulah yang terjadi pada diri Yesus Kristus saat ia berada di taman Getsemani. Di tengah kegelisahan dan kegalauan yang melanda jiwanya tiba-tiba terbesit suatu kesadaran yang kuat & jelas (iluminasi) bahwa nasibnya akan berakhir di kayu salib; dan bahwa salib hidup itu akan segera menyergap dan mendera diriNya begitu Ia masuk kota Yerusalem. Kehadiran figur malaekat pada moment iluminasi itu menandakan bahwa kesadaran akan salib itu bukanlah sekedar kesimpulan logis dari pikiran Yesus semata mekainkan suatu pesan dan kekuatan ilahi yang tercurah kepadaNya. Allah seakan-akan berbisik di sanubari Yesus: “Ambillah salib itu kerna melalui salib itu, kasih dankuasa Allah akan menjadi nyata bagi dunia.” Malaekat menjadi tanda adanya kekuatan ilahi yang menyertai Yesus dalam perjalanannya memanggul salib menuju kebangkitan. Malaekat di Balik Badai Tsunami Malaekat adalah tanda (simbol) bahwa Allah terus bekerja mencurahkan pesan dan kuasaNya kepada manusia agar ia kuat menanggung salib kehidupannya sehari-hari dengan penuh iman dan harapan. Kehadiran malaekat semacam itu bisa dialami baik secara rohaniah maupun jasmaniah. Malaekat dialami secara rohaniah bila ia muncul melalui mimpi dan penglihatan batin (vision). Itulah yang dialami oleh pasangan Jusuf dan Maria dalam kisah Natal, misalnya. Namun malaekat itu bisa juga dialami secara jasmaniah dalam pergaulan dan perjumpaan kita dengan sesama manusia dalam kancah kesibukan hidup sehari-hari. Ada orang tertentu yang bisa berperan sebagai malaekat bagi kita, yakni orang yang menyampaikan pesan dan kekuatan ilahi agar kita bisa bangkit dari goncangan dan kegalauan hidup yang kita alami. Berikut adalah sebuah kisah bagaimana anak-anak bisa berperan sebagai malekat-malaekat kecil bagi para kurban gempa dan tsunami yang dahsyat yang menggoncangkan negri Jepang dua tahun yang lalu. Tiga bulan setelah bencana gempa dan tsunami, sekitar bulan Juni 2011, ada serombongan artis & seniman Jepang yang datang ke lokasi bencana guna menghibur para korban nyang tinggal di tempat penampungan darurat. Salah seorang diantaranya bernama Tatsua Ishi. Ishi adalah seorang komponis, pencipta lagu. Tugasnya adalah membuat sebuah lagu berdasarkan pengalaman dan perasaan anak-anak SD yang mengalami tsunami itu. Maka ia masuk ke dalam kelas empat sebuah SD yang jumlah muridnya sekitar 20 orang. Lalu Ishi meminta setiap anak untuk menulis satu kalimat yang mengungkapkan perasaan mereka saat dilanda tsunami. Berdasarkan kalimat-kalimat yang dibuat oleh anak-anak itu, Ishi lalu akan menyusun sebuah lagu lengkap dengan melodinya. Kerna itu semua anak lalu membuat kalimatnya masing-masing. Namun ternyata ada satu anak perumpuan yang tidak membuat kalimat apapun juga, layar laptopnya tetap kosong tanpa kata dan gambar apapun juga. Ketika Ishi bertanya kepada anak itu “Mengapa kamu tak menulis apapun juga”, anak itu tak menjawab sepatah kata pun, malah mendadak anak itu berlinangan air mata lalu menelungkupkan tubuhnya di atas meja dengan badan yang terguncang oleh rasa sedih yang mencekam. Ishi kemudian berkomentar demikian tentang peristiwa itu: “Laptop yang kosong dan airmata duka anak itu lebih menyayat hatisaya, lebih banyak berbicara kepada jiwa saya ketimbang semua kalimat yang ditulis oleh anak-anak yang lainnya. Semua anak itu sebetulnya mengalami sebuah tragedi yang sangat menakutkan, sebuah bencana traumatis yang tak sanggup mereka rumuskan dalam bahasa dan kalimat apapun juga!” Itu sebabnya (tadinya) dalam hati Ishi lalu merencanakan akan memberi judul “The Tears of Tsunami” (Airmata Tsunami) bagi lagu yang akan digubahnya itu. Setelah lagu dan melodinya lengkap dibuat, Ishi lalu kembali masuk ke kelas 4 SD itu. Untuk memancing kreativitas anak-anak, ia bertanya kepada mereka:” Apa judul yang paling tepat bagi lagu itu?” Lalu sama sekali di luar dugaan Ishi, anak perempuan yang tadinya menangis tanpa menulis apapun itu kini mengangkat tangannya! Setelah ditanya, anak itu lalu menjawab: “Baiknya, judul lagi itu adalah ‘Sekai ni arigato’ (Thank you for the world, Trimakasih bagi Dunia).” Ketika ditanya apa alasannya ia memilih judl itu, anak itu lalu menjawab: “Ketika kami sengsara, semrawutan dan kelaparan, saya melihat bahwa kami diberi bungkusan plastik makanan & minuman. Di setiap bungkusan itu, ada gambar bendera dan bahasa dari masing-masing negara pengirimnya. Saya lalu sadar bahwa kami tidak ditinggalkan sengsara sendirian. Ada banyak orang dari pelbagai penjuru dunia yang membantu kami. ‘Sekai ni arigato’, trimakasih dunia!” Mendengar penjelasan anak itu, Ishi lalu memutuskan untuk memberi judul ‘Sekai ni arigato’ bagi lagu yang digubahnya, bukan “The Tears of Tsunami.” Ia berkomentar berikut: “Entah kenapa, pada saat anak itu menyebut istilah ‘Sekai ni arigato’ dengan hati yang tulus, mendadak secara spontan muncul juga rasa trimakasih yang mendalam di hati saya, rasa trimakasih yang seperti fajar menyingsing perlahan-lahan mengusir rasa sedih dan frustasi yang tadinya mengganjal sebagai beban dalam hati saya!” Anak-anak nampaknya dianugerahi sensitivitas yang tinggi,kepekaan hati yang kuat dan tulus untuk mendeteksi adanya kebaikan dalam hidupnya, untuk merasakan dan menghargai anugerah kebaikan itu dengan ungkapan trimakasih yang jujur dan spontan. Dan anak-anak itu lalu berperan bukan hanya sebagai penerima kasih, melainkan juga sebagai penyalur kasih & trimakasih itu kepada orang-orang yang berada di sekitarnya. Pada masa krisis darurat tsunami itu, banyak anak SD & SMP yang diberi tugas untuk membagikan bungkusan-bungkusan makanan itu kepada para korban tsunami lainnya, khsususnya kepada para lansia yang banyak jumlahnya. Dengan riang, tertib dan bersemangat, anak-anak itu menjalankan tugasnya. Dan mereka itu bukan hanya membagikan makanan, melainkan juga menemani dan menghibur para lansia itu dengan aneka cerita, nyanyian dan tarian; dengan mengelus dan memijati bagian tubuh yang terasa pegal dan sakit kerna tidur di lantai bangsal yang kasar dan dingin. Kehadiran anak-anak itu di sekitar mereka, membangkitkan mental & moral para lansia itu: melalui anak-anak itu, para lansia yang menjadi korban tsunami itu bisa merasakan adanya denyutan kebaikan dan harapan yang terus bergetar dalam hati manusia di sepanjang sejarah. Seorang lansia menuturkan kesannya tentang anak-anak itu sebagai berikut: “The natural inclination of these children who faced disaster was to find goodness and hope even in the midst of it.” (Kecenderungan alamiah anak-anak yang mengalami bencana itu ialah menemukan kebaikan dan harapan bahkan di tengah drama bencana itu). Anak-anak tsunami itu sungguh berhati malaekat kerna mampu mendeteksi dan menghargai kebaikan di tengah tragedi kehidupan, dan menyalurkan kebaikan itu kepada orang yang berada di sekitarnya hingga mereka bisa bangkit dari rasa hampa dan putus asa. Mereka seakan-akan menjadi duta atau utusan Allah yang menyampaikan pesan religius bahwa kendati segala trauma sejarah dan tragedi alam, kasih & kuasa Allah itu tak akan pernah meninggalkan manusia melata dalam penderitaan dan keputusasaan. Penutup Terdapat sebuah lagu anak-anak Indonesia yang sederhana tetapi mempunyai pesan dan nuansa religius yang mendalam, yakni lagu “Kasih Ibu,” karangan ibu Soed alm. Kira-kira lagu itu berbunyi: “Kasih ibu kepada beta/ tak berhingga sepanjang masa./ Selalu memberi, tak penah kembali./ Bagai sang surya menyinari dunia.” Orang yang berhati seperti malaekat akan langsung merasa bahwa dalam lagu itu, kasih ibu kepada anaknya itu bukan hanya melambangkan kasih matahari kepada bumi melainkan juga kasih Sang Pencipta kepada semesta ciptaannya: Selalu memberi, tak pernah kembali! Kasih semacam itulah yang diperagakan Yesus saat itu tergantung di salib di puncak tengkorak, bukit Golgotha. Dan hanya orang yang berhatri seperti malaekat jugalah yang bisa mendeteksi arus kasih itu terus beredar dalam dunia di segala jaman, lalu berusaha merawat alam ciptaan berikut segala penghuninya agar bisa keluar dari lingkaran krisis dan tragedi. Agus Rachmat OSC

Romo Kartono : Wartawan Kehidupan ( Tulisan Oleh Pst Agus Rachmat OSC)

Pada saat Romo Kartono bertugas di Roma sebagai anggota Dewan Pimpinan Umum OSC pada tahun 2004-2010, ia menemukan satu kegemaran baru, yakni menulis berita dan laporan untuk Majalah HIDUP. Secara berkala dan berkesinambungan, ia mengisi rubrik Mancanegara HIDUP dengan berita-berita segar dan aktual tentang aneka peristiwa menarik yang terjadi di kota Roma dan Vatikan. Dengan cara itu, ia ikut memperluas cakrawala berita HIDUP dengan wawasan Gereja Universal dan sekaligus juga mendekatkan pesan & keprihatinan Sri Paus di Vatikan dengan kondisi umat Katolik di Indonesia. Ringkasnya, Romo Kartono berkeyakinan bahwa sebagai orang Katolik, kita itu harus mempunyai wawasan "Glocal", yakni global & lokal sekaligus! Namun sebetulnya terdapat segi lain di samping wawasan Glocal itu yang jauh lebih menarik perhatiannya, yakni segi personal: hasrat dan minatnya yang kuat untuk mengenal riwayat hidup seseorang dengan mendalam dan kemudian menggubah riwayat itu menjadi sebuah Kisah Teladan yang menarik guna disampaikian kepada kalangan umum yang lebih luas. Sambil separuh bercanda, Romo Kartono pernah berkata: "Cita-cita saya bukanlah menjadi wartawan HIDUP, melainkan menjadi Wartawan Kehidupan!" Maksudnya, ia ingin menjadi seorang penulis dari "moments of epiphany," saat-saat cahaya ilahi berkelebat masuk menerobos perjuangan hidup seseorang hingga ia bisa keluar dari krisis dan kemelut yang tengah merajut nasibnya. Dalam perjalanan imamatnya sendiri, Romo Kartono secara pribadi pernah mengalami saat epifani semacam itu hingga ia bisa keluar dengan selamat dari krisis panggilan yang pernah menggoncangkan nasib dan identitasnya sebagai imam. Dan ia sungguh percaya bahwa moment epifani semacam itu dialami oleh banyak orang lain juga: "Ketika semua pintu telah tertutup, Allah justru berkelebat masuk!" Didorong oleh kepekaan intuitifnya akan moment epifani itu, Romo Kartono dengan rajin dan cermat lalu menuliskan pengamatan dan renungannya tentang pelbagai kisah hidup orang yang dikenalnya itu dalam berbagai media: buku harian, blog "Batur Sajalur," aneka artikel di rubrik kesaksian & eksponent majalah HIDUP. Aneka tulisan yang berserakan itu kemudian dikumpulkan dan diterbitkan menjadi lima (5) buku berikut: ( - Buku pertama: "Ketika Semua Jalan Telah Tertutup" Ini adalah koleksi kesaksian umat yg ditemui dalam kisah perjalanan imamatnya. - Buku kedua: "Kersaning Allah". Ini Memoir dari Ganda Kusuma. - Buku ketiga: "Doewe, Tokoh Pelopor Sunda Katolik." Ini adalah kisah pendiri gereja Katolik di kota Ciledug - Cirebon, tempat Romo Kartono menjalani masa kecinya. - Buku Keempat: "Asyiknya Jadi Romo." Ini adalah kumpulan pe- ngalaman pastoralnya bersama umat. - Buku kelima:"Dibakar Semangat Pelayanan". Ini adalah koleksi kisah orang-orang yang dikenal dan dikagumi secara pribadi oleh Romo Kartono. Ada satu hal yang menarik dan menonjol dari kelima buku tersebut: semuanya bercerita tentang perjalanan hidup & perjuangan iman dari orang-orang yang dikenal secara pribadi oleh Romo Kartono. Ada dua akibat ajaib yang muncul dari cara penulisan semacam itu. Pertama, tulisan-tulisannya itu telah mengakibatkan Romo Kartono masuk dalam kancah & jejaring pergaulan yang luas dengan orang dari pelbagai kalangan dan latar-belakang yang berbeda: guru, dosen, artis, wartawan, seniman, pengusaha, dokter, rohaniwan/wati, celebriti dan lainnya. Kedua, tulisan-tulisannya itu telah menciptakan suatu "relasi yang intim" di antara sang penulis dan orang yang ditulis: nama Romo Kartono pun seakan-akan tertulis secara abadi dalam lubuk hati orang-orang yang pernah diceritakannya. Dalam perjalanan imamatnya, Romo Kartono pernah mengalami suatu krisis panggilan. Namun sejak awal April yang lalu, ia mengalami suatu krisis yang jauh lebih mencekam, yakni krisis kehidupan yang menyebabkan hari-harinya menjadi nampak gelap sebab serba tidak pasti dan membangkitkan pertanyaan yang penuh kecemasan. Semoga seperti Tuhan Yesus di taman Getsemani, ia pun mengalami moment epifani: " Seorang malaekat dari langit menampakkan diri kepadaNya untuk memberi kekuatan kepadaNya." (Lukas 22:42). Agus Rachmat OSC