Rabu, 08 Desember 2010

Si Bruce Dan Sepeda


Sore hari itu, agak gerimis, namun cuaca yang tak menentu ini tak menyurutkan niat Pastor Rob Stigter, OSC untuk segera berkemas. Dengan cekatan ia segera mengenakan ransel di punggungnya. Kemudian Pastor yang lahir di Den Haag, (Belanda) 71 tahun yang silam ini, berjalan dengan langkah tegap ke arah sepedanya. Sebelum sampai ke sepedanya, ia meluangkan waktu sejenak untuk menyapa Bruce, anjing peliharaannya.
Sebelum mengayuh sepedanya, ia sempat melipat kedua belah ujung kaki celananya, agar tak basah oleh percikan air hujan. Pastor Rob akan menghadiri sembahyang lingkungan yang diadakan sore hari itu di wilayah Paroki Santa Perawan Maria Sapta Kedukaan, Bandung.
Dalam aktifitasnya, Pastor Rob bersepeda tidak hanya dalam kunjungan ke lingkungan saja, namun juga sehari-hari, baik untuk pelayanan misa ke Stasi St. Theodorus, maupun untuk kunjungan ke lansia dan orang sakit. Bersepeda baginya bukan hanya bermanfaat bagi kesehatan, tapi juga ramah lingkungan. “Dan ajaibnya tak kan pernah ditilang bung polisi”, candanya. Dus, ramah polusi dan polisi.
Ia memang sosok yang senang berolah fisik. Setiap pagi, siang dan sore, dengan penuh kasih sayang ia mengajak Bruce untuk berjalan - jalan di sekitar gereja. Kegiatan ini juga sekalian untuk melatih fisiknya yang tampak tetap bugar di usianya yang terbilang tak muda lagi.
Pastor Rob yang sudah menjadi WNI ini mempunyai hobby naik gunung di masa mudanya. Beberapa gunung yang sempat ia daki, antara lain: G. Ciremay, G. Tampomas, G. Merbabu, G. Sumbing, dll.
Ketika ditanyakan, kapan naik gunung lagi, ia mengatakan, sekarang ia tidak naik gunung lagi. Sesuai usia, sesekali ia bersama Bruce naik bukit di daerah Dago Pakar sambil menikmati bandrek dan pisang bakar yang dijajakan di warung kopi yang berada disana.(Rosiany T. Chandra)
(dimuat di HIDUP No 50, 12 Des 2010)

Rabu, 24 November 2010

Tangga Aborsi


Ia tetap ada disana
walau terasah masa
menukik tajam ke lembah
curam menerjal batas usia
kokoh merekam detak sejarah

Kembali ku kesana
bertanya pada pohon beringin
sudah kah ia berkisah padamu tentangku?

Mendaki tangga menapak seirama
kita berkisah tentang dunia yang tak senada
Perih tetap terasa..
saat sepakat meniti jalan bersimpang
Genggaman tangan di gagang payung
masih terasa hangat menyentuh jemariku.
Serpih hujan awal November itu
Teriris hatiku menjadi jadi.

Masih kita melempar senyum
Di ujung tangga
Ku berpaling segera
menepis duka yang menghentak
tak tertahankan…

Sambil bergegas kutelan doa
semoga hidup menyapamu ramah

RTC

Tas Kain Perca


Saat ku tiba di sebuah toko batik ternama di kota Yogyakarta, hati ku sudah senang bukan kepalang. Akhir akhir ini aku memang lagi gandrung batik. Selain bahan batik enak dikenakan, rasanya ada kebanggaan tersendiri bila mendapatkan hasil ‘buruan’ desain dan corak warna batik yang cantik. Walau aku tak mengerti arti dari corak batik itu, aku tetap menikmatinya saat aku melumat keindahan aneka motif- motif tersebut dalam aneka corak dan warnanya.

Sore itu aku berhasil mendapatkan tiga helai blus. Harga nya pun tentu jauh lebih murah, sebelum ia memasuki mal ternama di kotaku. Usai berburu batik, Yogya rasanya makin menawan saja. Sebelum aku meninggalkan toko tsb, mataku masih mencari- cari apa yang masih bisa kubeli. Sesaat kemudian, mataku terarah pada tumpukan tas tas yang terbuat dari kain perca batik lawas. Seakan- akan ada kekuatan yang begitu kuat yang memaksaku, agar segera memasukkannya kedalam keranjang tas belanjaan ku. Tas batik ‘compang camping’ yang indah itu membawaku kepada sebuah kenangan..


Dalam ingatan masa kecilku, nenek ku amatlah cantik. Ia berkonde encim dan berkebaya encim pula. Kebayanya ada yang panjang dan ada yang pendek. Konon jika seorang encim memasuki usia tertentu, ia wajib mengganti kebaya pendeknya dengan yang panjang. Sepertinya jika seorang encim ‘memasuki’ usia kebaya panjang, ia telah ‘menjelma’ menjadi seorang yang lebih bijak dan dihormati. Demikian yang diceritakan kepadaku, saat aku masih kanak-kanak.

Sering aku mengagumi dan mengamati motif- motif kerancang bordir yang ada disetiap ujung segitiga kebaya nenekku. Biasanya kebaya si Mak, demikian aku memanggilnya, terbuat dari bahan yang tipis menerawang. Kerancang-kerancang itu menambah indahnya kostum sehari-hari Mak, yang terbordir rapih pada setiap ujung segitiga, kiri dan kanan kebayanya. Sebagai anak kecil, aku tentu belum bisa mengapresiasi keindahan itu. Yang ku ingat, aku sering meraba raba ujung segitiga kebaya Mak dan sesekali memilin milinnya dengan jari jari ku. Ada kedamaian dan keteduhan yang masih kurasakan, tatkala aku mengenangnya kembali kini.

Dibalik kebaya itu, ia memakai kutang jahitannya sendiri yang bertali-tali. Sering aku diminta untuk menyeratkan tali tali tersebut saat ia berdandan memoleskan bedak dingin disekujur leher dan wajahnya usai ia mandi. Bedak dingin yang bunder-bunder putih itu menebarkan semerbak aroma bunga melati.

Ketika terik matahari menampakkan wujudnya, Mak sering mengulen tepung beras menjadi butiran butiran kecil putih. Tak lupa ia bumbuhi dengan melati berkelopak lebat yang baru dipetik dari halaman depan rumahnya. Segera butiran butiran kecil putih yang dibunderkan dengan kedua belah telapak tangannya itu, memenuhi tampah yang menghias tepi sumur di halaman belakang rumah. Siap untuk dikeringkan dibawah sang surya.
Saya dan beberapa sepupu lainnya ikut ikutan membunderkan kelereng kelereng bola beras itu. Seringkali kami mempermainkan bola tepung beras itu ditangan kami yang kotor, sehingga ia menjadi berwarna kehitam-hitaman dan tidak layak guna lagi!

Itulah bedak dingin, dengan nama kerennya kini: foundation. Selain memberi rasa dingin di tubuh, mungkin ada daya tarik sendiri jika seorang ncim berpupur putih tampil dengan kebayanya yang menerawang. Yang pasti aku sangat terpesona dengan acara dandan si Mak.

Sesaat kemudian ia membuka almari bajunya. Banyak tumpukan kain batik yang tersusun rapi, disetiap ambal lemarinya. Diujung sana tampak tumpukan kain kain batik yang berwarna biru putih saja. Dari letak penyimpanannya, kelihatan deretan kain sarung ini jarang dipakai. Tak ada warna lain. Sejenak aku heran.. dan bertanya dalam dialek Minang: ”Mak, mengapa kain kain itu warnanya biru putih se?” Se itu bisa diartikan jeh dalam bahasa cerbon atau semacam dong atau deh dalam betawi. “ Sarong- sarong itu Mak pake, kalau Toa Ha saja”. Aku baru mengerti, rupanya sarung biru putih itu hanya dikenakannya jika ada sanak keluarga yang meninggal, jadi hanya untuk masa berkabung saja.

Sore itu, ia memakai kebaya dengan motif kerancang bunga krisan kuning kecil- kecil. Ada benang kuning yang terbordir diatas kain putih lenan itu. Ia membentuk sekelompok bunga dengan segitiga daun –daun yang mengitarinya. Indah sekali.. Berpadu dengan kain sarung motif kecoklatan, Mak tampak serasi mempesonaku.

Ia sudah lama menjanda. Bahkan aku tak pernah mengenal kakekku dari pihak ibuku ini. Sehari hari, ia menjajakan dari rumah ke rumah barang dagangannya, yakni bumbu rempah kambing, bumbu kue spekoek yang resep racikannya ia dapatkan turun temurun dari leluhurnya. Selain itu, ia menjajakan juga kain kain bahan baju dan kebaya yang ia kulak dari pusat pasar di kota Padang. Sepertinya, memakai istilah jaman sekarang, Mak ku adalah pedagang asong keliling. Jaman itu kan belum ada arisan. Jika ada, mungkin Mak ku bisa jadi disebut sebagai Ibu Arisan.

Mengetuk dari pintu ke pintu. Itulah model dagangan pada masa itu. Hampir semua ibu rumah tangga berada di rumah sepanjang hari. Mereka punya waktu untuk melayani Mak ku yang datang. Dari cerita yang ku cerna sekarang, tentu segala hot news yang terjadi di kota, tak luput pula menjadi bahan pembicaraan antara si pedagang keliling dan si nyonya rumah.

Nah, sore itu usai berdandan, ia siap berkeliling membawa barang dagangannya. Tumpukan kain kain itu, ia letakkan diatas kain segi empat yang dijahit dari berbagai corak batik kain perca. Ujung yang satu, ia simpulkan erat dengan ujung diagonal lainnya. Lantas ujung yang ketiga, ia tautkan dengan ujung keempat. Namun kali ini, tidak ia tarik dengan simpul yang erat. Ia sisakan ruang untuk tempat memasukkan tangan, agar ia bisa mengapit jinjingan itu diantara tangan dan sikutnya.
Kain perca segiempat itu telah menjelma menjadi sebuah tas yang rapih dan berseni. Berbekal sebuah payung bergagang kayu dan beratap kertas, ia siap menapaki jalan jalan di kota Padang. Aku masih ingat, tak lupa ia meneteskan minyak Kolonye di saputangannya. Barangkali, itulah bentuk cipratan parfum masa kini bagi perempuan yang jarang bersaputangan lagi.

Kenangan akan tas kain perca Mak ku ini telah menuntunku untuk segera membeli tas kain perca batik “compang camping”. Ia mampu membawaku sejenak kembali ke pesona tempo dulu dimana keindahan masih bertahta diatas nilai kejujuran semata.(Rosiany T. Chandra)

Senin, 30 Agustus 2010

PAKET CINTA


Sore itu aku mendapat sms dari tanteku, yang mengatakan bahwa dia baru saja mengirimkan sebuah paket dari Depok (tempat tinggalnya). Aku diminta untuk mengambil paket tersebut di pool Cipaganti di Cihampelas.

Aku tidak terlalu sering menjalin kontak dengan Tante Ceng ini. Tapi secara berkala, kami memang saling bertukar kabar via sms.

Tante Ceng ini orang Padang asli yang pintar memasak apa saja. Dari kue hingga masakan khas Padang yang enak enak. Sejak kepin dahannya ke Jakarta, ia memang berjualan aneka macam kue basah. Tiap pagi pagi buta, ia, saudara dan para pembantunya sudah siap dengan aneka macam kue yang menunggu untuk didistribusikan ke masing masing outlet.
Ini dilakukannya bertahun tahun dan tampaknya relatif cukup menghasilkan.

Sekarang dengan bertambahnya usia, ia tak berjualan kue lagi. Memang kegiatan berjualan kue ini sangat menguras tenaga fisik. Seiiring dengan waktu, mereka pun punya sumber penghasilan lain.

Sewaktu ayahku masih ada, mereka amat dekat. Tante Ceng tahu persis , apa saja jenis masakan kegemaran ayahku. Jika ayahku mau ke Depok, ia pasti sudah halo halo ke Tante Ceng. Tante Ceng segera menyiapkan masakan Padang, antara lain seperti gule pakis, kesukaan ayahku.

Gule pakis ini dimasak dengan sejenis ikan yang sudah diawetkan. Lalu dipadu dengan santan kental. Tante Ceng selalu tahu, pakis jenis mana yang pas untuk masakan ini. Selain dimakan bersama nasi, uniknya gulai ini sering pula dimakan dengan pisang goreng! Itulah ke khas san kuliner ranah Minang yang mungkin tak se populer rendang.

Jadi kembali ke cerita paket tadi, sepulang dari kantor, aku mampir ke pool Cipaganti untuk mengambil paket tersebut. Aku mengira, mungkin aku dikirimi kripik balado atau cemilan khas Padang lainnya. Sambil menyetir, aku masih menebak nebak dan selalu mencuri pandang paket yang 'duduk' disebelahku pada tiap lampu ' bang - jo' (abang -ijo). Hatiku senang bukan kepalang dapat paket sore tadi. Aku tak begitu perduli sebenarnya akan isinya.

Begitu sampai di rumah, aku segera mengambil gunting dan membuka isi paket tsb. Aroma masakan Padang segera menyapa hidungku. Wah..ternyata tak kusangka, isinya adalah enam buah bungkusan, yang masing masing isinya adalah gulai pakis, rendang dan dendeng balado.

Sekonyong -konyong, aku merasa amat dicinta dengan kedatangan paket ini. Ia seakan - akan juga mewakili " tradisi kehadiran" ayahku kembali.

Langsung saja kutelpon Tante Ceng dan kuluapkan emosi ku dengan berterima kasih kepadanya, sembari mengatakan ," Hari ini aku mendapatkan sebuah Paket Cinta!" (Rosiany T. Chandra)

Rabu, 11 Agustus 2010

Berkencan Hampa


Saat jiwa disergap hampa
berat bergayut kelam
ia bergeliat merambah kata

Menelisik rasa dan angan dalam puisi
membuka ruang baru dalam hati,
masuk lautan dimensi
mengeksplorasi imaginasi

Jiwa serasa meluas
laksana samudera tak bertepi

Oh..jiwa
kusambut pengalaman duniawi
hari ini

Namun kehampaan
tetap membayang
di tepi hati
satu saat
....nanti


Rosiany T. Chandra
Guriang

Minggu, 18 Juli 2010

AYO MEMASAK....!!




Malam itu aku, suami dan anakku duduk bersama di meja makan saat makan malam tiba. Aku menatap hidangan yang tersedia diatas meja. Menu hari itu yaitu; semur bola daging, sayur bening dan pergedel jagung.Tak satupun itu hasil olahanku.Tentu saja si Tusiyem dengan setia memasakkan untuk kami sekeluarga.
Secara tak sadar aku teringat kembali akan pertemuanku dengan seorang ibu sederhana yang biasa di panggil Mbak Tris (58) oleh sahabatku. Pertemuan ini amat mengesankan hatiku, sehingga aku memutuskan untuk menulisnya agar siapa tahu bisa menjadi sumber inspirasi bagi orang lain juga.
Mbak Tris adalah seorang janda yang telah ditinggal pergi oleh suaminya kira kira 10 tahun yang lalu.Tentu tak mudah menjanda dengan usia relaif muda, kurang lebih 48 tahun.
Sebenarnya saat pertemuanku dengannya, ia tak terlalu banyak berbicara juga. Tetapi dari apa yang diceritakannya, aku menangkap ia adalah sosok seorang ibu yang penuh cinta kasih kepada keluarga terutama kepada anak anaknya. Seorang ibu yang tanpa pamrih mengabdi untuk mengurus semua keperluan keluarga, seperti mengasuh anak anak, mendidik dan memasak untuk seluruh anggota keluarga. Nah..,kegiatan yang terakhir ini- kata sahabatku - adalah kegiatan yang paling disukainya. Katanya sayur lodeh bikinan Mbak Tris, adalah made in Cirebon yang bisa bikin sahabatku terkangen kangen!
Dari sejak awal pernikahannya Mbak Tris selalu memasak untuk suami dan anak anaknya. Entah mengapa, sesaat aku merenung teringat Mbak Tris, saat aku menatap masakan yang terhidang tadi malam diatas meja makanku. Aku menjadi malu sendiri dan menyadari kalau aku jarang memasak untuk suami dan anakku. Betapa aku tidak bisa menjadi seorang ibu yang mengabdi dan berbakti kepada keluarga yang semestinya sebagaimana yang telah dilakukan oleh Mbak Tris.
Melalui baktinya selama ini, Mbak Tris telah menuai ‘buah’ dari anak anaknya yang telah ‘mengembalikan’ cinta kasih dan perhatian mereka yang besar kepada ibu mereka. Anak anaknya telah hidup mandiri dan tak satupun dari mereka yang menyusahkan Mbak Tris. Semua ingin membahagiakannya walau empat dari anak anaknya tinggal di luar kota.
Pertemuanku dengan Mbak Tris mampu membuatku merenung tentang diriku sendiri yang tak ada apa apanya dibanding dengan apa yang sudah ia berikan kepada keluarganya.
Ia sosok sederhana, namun mampu memberikan yang terbaik bagi keluarganya. Ia layak dan harus percaya diri mendapat reward dari apa yang sudah ia berikan hingga kini. Sedangkan aku? Memasakpun aku tak mampu!
Aku menjadi maklum, kalau memang benar adanya, masakan adalah salah satu saluran bentuk cinta kasih yang tiada duanya!
Ayo kembali memasak dan mengabdi…!!(Rosiany T. Chandra, ditulis pada tanggal 17 Desember 2009)
Selamat Jalan Mbak Tris...

Senin, 31 Mei 2010

YANG TERTINGGAL HANYALAH CINTA…(IT REMAINS…LOVE)


Beberapa saat yang lalu, ibu saya mendapat kunjungan dari kakak perempuannya dan beberapa sanak saudara lainnya, termasuk keponakan keponakan dari Jakarta.

Ibu saya sudah sejak kira kira sepuluh tahun yang lalu menderita Parkinson desease. Semenjak ayah saya meninggal 9 tahun yang silam, ia tinggal sendirian di Jakarta. Namun lima tahun terakhir ini, ia tak mampu lagi untuk tinggal sendiri.Dengan berat hati ia mengikuti saran kami untuk mau tinggal bersama kami. Demikian juga kehendak kakak kakak ku yang bermukim di luar negeri.

Ibu pernah mengatakan bahwa, ia masih senang tinggal dirumahnya sendiri. Berada di tengah tengah suasana rumah serta perabot yang sarat akan kenangan kenangan hidup tentunya membawa arti tersendiri baginya. Selain itu, ia tentu merasa bahwa dirumahnya ia bisa melakukan hal hal sesuka hatinya tanpa harus memperhatikan keberadaan kami. Ia pernah mengutarakan contoh, bahwa seandainya ia ingin memaku dinding rumahnya untuk meletakkan foto misalnya, ia bisa melakukan sesuka hatinya tanpa meminta izin kepada kami sebagai pemilik rumah. Apapun alasannya, bisa dimengerti jika dimasa senja, ia tetap ingin hidup mandiri di rumahnya sendiri.

Pada sisi kami yang terbiasa hidup sekeluarga, tentu memerlukan masa penyesuaian agar bisa saling memahami dan memberikan pengertian. Beruntung saya mempunyai seorang suami yang banyak memberikan perhatian lebih kepada ibu saya, lebih dari apa yang bisa saya beri sebenarnya, jika saya berkata jujur. Ia bisa mengajak ibu saya mengobrol dan menceritakannya hal hal yang menarik baginya. Dari kecil saya memang tidak terbiasa menceritakan hal hal kecil kepada ibu. Kebiasaan ini berlanjut hingga saat ini. Kebiasaan ini dimanfaatkan oleh ibuku untuk menjalin kedekatan dengan menantunya.

Kunjungan kakak dan sanak saudara dari Jakarta menjadi seperti obat pelepas rindu. Serta merta gossip dan cerita seputar keluarga kembali mewarnai percakapan mereka sepanjang hari itu. Cerita cerita nostalgi jaman perang dan masa kecil kembali mendominasi obrolan mereka. Jika saya perhatikan, sebenarnya hal hal baru yang diceritakanpun selalu terkait dengan hal hal masa lampau yang amat lekat.

Saat tiba waktunya rombongan akan pulang ke Jakarta, ibu mengusulkan untuk doa bersama. Lantas seorang sepupuku memimpin doa. Lalu atas permintaan ibuku pula,
agar kita bernyanyi bersama sambil memuji namaNya. “ Nyanyinya harus lima lagu ya, lebih boleh, kurang tak boleh! “,ujar ibu penuh semangat.

Ibuku amat menikmati kebersamaan ini. Permohonan lagu itu sepertinya hanya sebagai sinyal agar ia boleh menikmati kebersamaan itu lebih lama lagi.

Kita tidak bisa memilih bagaimana bentuk keberadaan akan hari tua kita kelak. Kita pun tak bisa memilih apakah kita akan sehat selalu atau didera penyakit. Yang bisa kita lakukan hanyalah menjaga kesehatan dan kehidupan yang sudah diberi ini secara bertanggung jawab saat ini. Yang utama penuhilah jiwa dan batin kita dengan cinta kasih, karena hanya itulah yang kita miliki nan berarti esok hari saat kita tak berdaya…mencinta dan dicintai. Hanya itu yang bisa kita beri, terima dan rasakan.

Hanya itu saja yang tertinggal….untuk dinikmati

Kamis, 29 April 2010

DARAH BIRU


DARAH BIRU

Hari kamis (29/04/2010), seperti yang sudah disepakati beberapa hari sebelumnya, saya, Andy, Karina dan Adi berangkat ke Puncak untuk men survey tempat retret tahunan dari Lions Club Bandung Lestari, yakni sebuah wadah dimana kami bergabung dalam aktifitas sosial di luar pekerjaan kami sehari hari. Kami ingin melihat tempat yang telah dibooking untuk awal Juni ini apakah sudah sesuai dengan apa yang kami harapkan.

Karina dan Adi adalah pasangan suami istri yang menyenangkan dan sekaligus unik. Mereka datang dari latar belakang budaya yang berbeda. Namun tampaknya perpaduan ini justru menambah semarak suasana rumah tangga mereka. Adi yang bernama lengkap Raden Jozef Leonardus Soepraptomo Adipoetranto Oetomo Tjokrosoedarmo ini bertemu dengan Karina / Tjoa Huei Ling, kira kira 34 tahun yang silam di PK ( Pemuda Katolik ). Pada saat itu mereka sama sama aktif dalam organisasi kemahasiswaan ini. Saat mereka mulai bertaut hati, tentu saja hubungan ini ditentang oleh kedua belah pihak keluarga. Adi berasal dari keturunan keluarga darah biru dan kedua orang tuanya adalah pendidik. Ibunya, seorang alumnus sekolah puteri Mendut, mengajar di SMP St.Jusuf Bandung. Ayahnya adalah seorang guru di salah satu SMA di Bandung. Sedangkan Ling Ling, demikian ia akrab disapa, berasal dari keturunan etnis tionghoa, cucu seorang saudagar emas yang cukup terpandang saat itu.

Mereka terpaksa berpacaran backstreet selama lima tahun! Saat Adi berkuliah di negeri Belanda, mereka tetap menjalin cinta kasih melalui surat menyurat. Pada saat Adi kembali ke tanah air, konon surat surat tersebut dibawa pulang kembali ketanah air yang kala itu ditimbang beratnya ada dua kilo lebih!

Pada saat dimana orang tua Ling Ling belum merestui, suatu hari bertanyalah kakek Ling Ling kepadanya tentang alamat Adi di Belanda. Tanpa diduga oleh Adi, satu hari ia menerima sepucuk surat dari kakek Ling Ling yang berisikan surat perkenalan kakeknya kepada Adi. Alangkah senangnya Adi pada saat itu. Ia masih menyimpan surat itu sampai saat ini. Ternyata surat itu adalah pertanda lampu hijau bagi hubungan mereka.

Bersamaan dengan itu, kedua orang tua Ling Ling diberi pengertian oleh kakeknya. Sejurus kemudian Pastor Van Dorn yang mengenal baik keluarga Adi, ikut memberi masukan kepada kedua belah keluarga dan sekaligus ikut mendukung pasangan ini. Mulai saat itu, kedua belah pihak keluarga pun saling merestui. Ling Ling menceritakan betapa bahagianya ia saat itu, kala pertama kali Adi secara resmi apel kerumahnya. Kunjungan ini amat mengharukan mereka, karena sebelumnya mereka biasanya bertemu secara diam diam atas pertolongan teman teman melalui kegiatan sosial mereka.

Kini mereka telah hidup rukun selama 29 tahun! Adi tampaknya menjadi menantu kesayangan di keluarga Ling Ling. Mereka telah dikarunia tiga orang putra: Steven, Michael dan Andrew. Tak lama lagi Steven akan segera menikah dengan pilihan hatinya. Ketika anak anak ditanyakan, apa mereka merasa sebagai orang pribumi atau keturunan? Salah satu dari mereka menjawab: ipan-ipan, yang artinya dalam bahasa cina adalah setengah setengah! Kelebihannya, mereka justru bisa merasakan kenyamanan di lingkungan manapun mereka berada.

Rasa keanekaragaman yang tidak dimiliki oleh orang lain ! (Rosiany T.Chandra)

Senin, 26 April 2010

MENGENANG GUS DUR



Pada hari senin tanggal 12 April 2010 Gramedia Pustaka Utama bekerja sama dengan Majelis Jemaat & MY Cinema GKI menyelenggarakan diskusi MENGENANG GUS DUR di gedung Gereja Kristen Indonesia yang berada di Jalan Maulana Yusuf - Bandung. Dalam temu wicara ini, panitia mengundang beberapa nara sumber sebagai pembicara.

Mereka adalah Prof Dr Franz Magnis – Suseno (guru besar Filsafat STF Driyarkara-Jakarta & rohaniawan), Prof Dr Jalaluddin Rakhmat (Cendikiawan Muslim Indonesia) dan Damien Dematra , penulis buku Sejuta Hati Untuk Gus Dur.

Acara ini menjadi unik karena bertempat di Gereja Kristen Indonesia, dimana pembicaranya adalah seorang Romo dari gereja katolik dan seorang aktivis dari cendikiawan muslim. Suasana diramaikan pula oleh penampilan muda mudi dari Universitas Sunan Gunnung Jati dalam acara hiburan yang mempersembahkan lagu lagu yang berirama khasidah. Sepertinya tema yang diusung panitia malam itu : GUS DUR : Pemikiran, Karya dan Masa Depan Kehidupan Keberagamaan Di Indonesia sangat menggema gaungnya di tengah tengah hadirin yang memadati bangku bangku yang tersedia.

Romo Magnis, demikian ia sering disapa, memang seorang sahabat dari alm. Gus Dur. Ia menggambarkan bahwa sosok Gus Dur adalah satu perpaduan antara pribadi yang jujur dan licik. Ditambahkan pula bahwa secara pribadi Gus Dur yang ia kenal adalah seorang yang bicara ceplas ceplos seadanya. Namun dibalik semua itu, Gus Dur adalah seorang tokoh yang amat benci pada segala yang berbentuk fundamentalis. Ia amat terbuka dalam menerima segala perbedaan. Dari beliau pula tema pluralisme yang diusung acara ini menjadi milik keberagaman hadirin yang memenuhi ruangan malam hari itu.

Nilai nilai pluralisme itu sendiri terlihat dari kehadiran pengunjung yang berasal dari berbagai latar belakang suku, agama dan budaya. Lagu bernuansa islami yang bergema di awal dan sesi break acara di dalam gedung gereja menambah suasana kebersamaan dari lintas agama. Terdengar seorang ibu yang memakai jilbab berbisik dengan sesama pengunjung : “Saya baru pertama kali berkunjung ke gereja dan diterima dengan tangan terbuka”.

Boleh dibilang Gus Dur adalah seorang tokoh yang telah mengawali era keterbukaan ini. Kang Jalal, demikian Prof Dr Jalaluddin Rakhmat akrab disapa, menyampaikan bahwa Gus Dur adalah seorang sahabat yang telah merubah pola pikirnya yang tadinya adalah seorang fundamentalis. Ia mengenang banyak pengajaran-pengajaran Gus Dur itu lewat sebuah contoh dan lelucon yang membuat ia tertawa namun berfikir jauh.

Pembicara yang ketiga adalah Damien Dematra, penulis buku Sejuta Hati Untuk Gus Dur. Ia menjelaskan bahwa buku tersebut ditulis hanya dalam tempo waktu satu minggu setelah Gus Dur wafat. Buku ini adalah bentuk ekspresi rasa duka, rasa kecewa dan ‘amarah’ penulis kepada situasi yang ada. Damien mengatakan bahwa sebenarnya ia sedang menyiapkan pembuatan film dokumenter tentang Gus Dur yang seyogianya akan di launch tahun ini. “Keadaan berkata lain”, demikian ungkapnya tentang 'amarah' kekecewaannya.

Acara malam itu adalah gratis dan semua hadirin mendapat paket makan malam yang telah disediakan oleh panitia.Tersedia pula kopi dan teh sebagai pelengkap. Doorprize berupa buku buku dari Gramedia dibagikan kepada yang berhasil menjawab beberapa pertanyaan quiz yang diajukan MC.

Langkah awal tentang nilai pluralisme hidup keberagamaan yang telah dicanangkan oleh Gus Dur sepertinya mendapat wujud yang nyata dalam diskusi malam itu. Semoga sikap ini tak terbatas hanya di dalam ruangan saja, namun melintas jauh dan menempati banyak hati umat beragama di Indonesia.(Rosiany T.Chandra)