Rabu, 30 Mei 2012

Mencairkan Firman Tuhan

Sisilia Srinawa Astuti Menjelang Paskah, Sisilia Srinawa Astuti teringat kembali saat awal pelayanannya sebagai lektor. Pada tahun 2009, sebagai ketua komuni I anaknya yang bungsu, ia mendapat tugas membaca narasi dalam misa Jumat Agung di St. Petrus (katedral) Bandung. Suaranya yang merdu memikat koordinator lektor yang segera membujuknya untuk bergabung sebagai lektor. Meski awal mulanya Sisil, demikian ia akrab disapa, tidak begitu yakin akan talenta yang ia miliki, namun seiiring waktu kepercayaan dirinya bertambah.
Ibu yang awet muda ini makin giat berlatih, saat menyadari bahwa melalui suaranya ia bisa berbagi sesuatu kepada umat dan Tuhan. Dari mulai misa harian, kemudian beranjak ke misa mingguan ia jalani dengan tekun dan penuh semangat. Sejurus berselang, ibu dari tiga puteri dan satu putera ini pun berlatih bermazmur. Nostalgia akan rekaman lagu-lagu rohani semasa SMA di Batu, Malang mengusiknya kembali. Semangat berbaginya bertambah ketika ia diberi kepercayaan menjalankan tugas lektor pada saat misa krisma, misa penutupan 800 tahun OSC ( Ordo Salib Suci)pada tahun 2010 dan pada misa perpisahan Uskup di Bandung pada tahun yang sama.
Selain menjadi koordinator pemazmur di katedral, istri dari Albertus Sadtyatmadja Dwisulami ini adalah koordinator Lektor & Pemazmur di Stasi St Theodorus dan pemazmur di paroki Santa Perawan Maria Sapta Kedukaan, Bandung. Disamping itu ia adalah anggota staf redaksi majalah ‘Berkat’ di katedral.
Selain tetap tekun berlatih dan senantiasa membuka diri dalam menerima kritikan, Sisil menyampaikan pentingnya rasa tanggung jawab dan kesiapan fisik dan mental sebagai kunci keberhasilannya. “Setiap mau bertugas, kita perlu doa mohon kerendahan hati agar menghayati peran kita yang hanya sebagai media untuk mencairkan firman Tuhan yang beku”, demikian ungkap Sisil, lulusan Sospol UNPAD (1989).(Rosiany T Chandra)

Ungkapan Iman Melalui Busana Liturgis

Sudah lewat jam 03.00 dini hari. Salah seorang pegawainya Linda sudah tak kuat lagi dan ingin segera pulang. Bergegas ia mengeluarkan motornya. Tak disangka, ban motor kempes! Terpaksa ia kembali meneruskan jahitan kasulanya sambil menunggu datangnya sang fajar pagi.
“ Pekerjaan untuk Tuhan memang harus diselesaikan sampai tuntas “, ujar Linda kepada pegawainya itu, yang disambut derai tawa penghibur letih bersama. Lindawati Winata sehari-hari memang dibantu oleh delapan orang asisten penjahit. Malam itu Linda dan seluruh asistennya kerja lembur dan tidak tidur sampai pagi, karena siang harinya, ia harus segera menyerahkan pesanan 250 Stola, 50 kasula, dan dua lusin jubah putra altar berikut keperluan busana liturgis lainnya. Pesanan itu harus diselesaikan dalam waktu yang singkat. Dari sejak diumumkannya Mgr Johannes Pujasumarta sebagai Uskup Bandung pada saat itu, tidak banyak rentang waktu yang tersisa lagi sampai pada hari H pentahbisannya pada tanggal 16 Juli 2008.
Busana Liturgis
Sehari-hari Linda adalah seorang penjahit baju pesta pesanan para langganannya. Sejak ia menjadi umat paroki St Gabriel- Gandarusa, Bandung (1995), Linda dengan senang hati membantu dalam melengkapi segala keperluan liturgis parokinya. Bermula dari menjahit jubah misdinar dan prodiakon, kecintaannya pada busana liturgis ini seiring waktu lantas makin berkembang. Sejurus berselang, ibu tiga putri dan satu putra ini mulai menjahit stola dan kasula bagi pastor parokinya. “Awalnya saya belajar dari banyak kesalahan yang saya perbuat”, demikian paparnya sambil mengingat kembali bagaimana proses ketrampilannya itu makin terasah.
Pesanan tahbisan Uskup itu adalah order pertamanya dalam jumlah yang besar. “ Kendati tampaknya lebih mudah, ternyata menjahit stola itu jauh lebih sulit dari kasula! “, ujar istri pengusaha Solichin Tjahyo ini. Dalam finishing-touch-nya, diperlukan banyak ketrampilan kerja tangan yang halus guna merajut berbagai pola dan detail yang perlu dipermanis dan diperindah. “ Sebuah pengalaman pahit pernah terjadi, dimana ornament bordiran tidak simetris dan tidak sesuai dengan design yang diinginkan”, tutur Linda. Namun ia tetap semangat dan tetap berusaha mencari berbagai info untuk penyempurnaan proses penjahitan busana liturgis ini. Selain dari buku buku liturgi, Linda banyak mendapat bimbingan dan masukan dari Pastor C Harimanto Suryanugraha OSC, seorang imam pakar liturgi, yang bertugas di ILSKI ( Institut Liturgi Sang Kristus Indonesia), Bandung.
Motif Etnik
Dikemukakan oleh Linda bahwa, bahan yang ia gunakan sebisa mungkin dari dalam negeri. Namun tak urung untuk detail detail tertentu, tak bisa dihindari penggunaan bahan dari luar yang amat diperlukan. “Meski demikian, penggunaan bahan dari luar harus disesuaikan dengan iklim di negara kita”, imbuhnya kemudian. Selain itu busana liturgis juga harus terbuat dari bahan yang nyaman dipakai, terutama dalam mengantisipasi udara panas di Indonesia. Tambahan pula, unsur keindahan dan keanggunan menjadi tujuan yang penting baginya dalam merancang busana yang mencitrakan kekudusan ini. “ Keindahan dan keanggunan sebuah kasula atau stola bukan ditentukan oleh banyak dan mewahnya ornamen hiasan yang dipakai, melainkan pada bahan, bentuk pola serta potongannya”, jelas ibu yang lahir di Fak Fak, Papua ini. Selain itu, untuk setiap pesanan yang menginginkan hiasan yang berupa gambar atau lambang tertentu, Linda selalu bertanya pada Pastor Harimanto, apakah sesuai dengan makna dan suasana liturgi Ekaristi. Selaras dengan selera estetis Pastor Harimanto, Linda banyak berkreasi dengan menggunakan hiasan etnik dari berbagai daerah di Indonesia. “ Indonesia amat kaya dengan berbagai corak dan motif yang khas dari masing –masing daerah, kekayaan ini yang kini sedang kita kembangkan bersama” ujarnya dengan semangat.
Kiwari, Linda bersama dengan Sandra S Hariadi, Lina Dadi dan Pastor Harimanto, tergabung dalam satu tim kreatif busana liturgis ‘SangKris’, label yang berada dibawah ILSKI. Seiring waktu, pesanan kasula dan stola tidak hanya datang dari paroki di keuskupan Bandung saja, melainkan juga dari Keuskupan Jakarta, Bali, Yogyakarta hingga Asmat. Demikian pula dengan seragam tahbisan imam dan putera altar. Dari ratusan stola dan kasula yang sudah ia hasilkan, ia menjaga betul privasi karya yang dihasilkannya. Ia tidak akan dengan gegabah memberikan copy rancangannya tanpa seijin dari si empunya pesanan sebelumnya.
Linda tidak hanya lahir di Fak Fak, namun juga bersekolah dari TK hingga SMP di sekolah katolik disana. Pada masa sekolah itulah ia dibaptis menjadi katolik. Kemudian setelah lulus dari sebuah SMA negeri, ia mengambil kursus kecantikan dan ketrampilan menjahit di Singapura selama tiga tahun. Disana ia bertemu jodohnya, seorang pria asal dari Bandung. Sebelum menerima pesanan gaun pesta, Linda pernah membangun usaha konveksi. Namun sejak kerusuhan tahun 1998, keadaan pasar menjadi tidak menentu. Sejak itu ia mengalihkan usahanya ke made to order.
Karya Seni Bagi Tuhan
Kini, ia menemukan sebuah kepuasan baru dalam menjahit busana liturgis. "Kelelahan dalam menjahit seakan terlupakan, ketika karya seni ini pada akhirnya dapat saya nikmati pula saat menatap para imam mengenakannya”, ucapnya sambil tersenyum lega. “ Terutama saya amat bangga dan gembira, ketika menyadari bahwa saya ikut ambil bagian dalam pengerjaan sebuah stola, yang melambangkan pemakainya sedang melaksanakan sebuah tugas luhur dan resmi gereja” imbuhnya. Ditengah kesibukannya, Linda masih sempat berlatih koor dan melayani di komisi penataan kembang altar, Dorothea di keuskupan Bandung. Diatas itu semua, ia menandaskan bahwa ungkapan imannya terutama bisa ia wujudkan, ketika ia berhasil menghadirkan karya yang bernilai seni bagi gereja sambil tetap melestarikan motif etnik yang ada di Indonesia. ( Rosiany T Chandra)

Rabu, 23 Mei 2012

Perlu Jatuh Cinta

Pertama kali melihat Episiotomi, calon bidan ini langsung pingsan di tempat. Kemudian hari, justru ia malah sering melakukan tindakan ini untuk melancarkan proses kelahiran bayi.
Sudah sejak SD, Catharina Maria Retno Sunartyasih, S.Kep MH ingin menjadi seorang biarawati. Baginya sosok biarawati adalah figur yang anggun dan suci kerna memiliki ketenangan batin yang mantap. Keinginan ini disampaikanya kepada orang tuanya menjelang kelulusannya dari SMA Stella Duce, Yogyakarta (1969). Sebagai putri sulung dari delapan bersaudara, pada waktu itu ibunya tak merestui rencana Retno itu, demikian ia akrab disapa. Penolakan serupa pun terjadi saat ia diterima di fakultas Ekonomi dan Hukum Universitas Gajahmada, Yogyakarta. Walau kecewa, Retno tetap manut pada keinginan ibunya.
Ibunya, yang lulusan HIS Mendut pernah jatuh sakit dan dirawat selama tiga bulan di rumah sakit. Dalam doanya, ia berharap salah satu dari putrinya bisa menjadi seorang perawat atau bidan yang bisa membantu orang sakit. Kepala sekolah SMA Retno yang diam-diam sudah dihubungi ibunya, segera menawarkannya untuk mendaftar ke Sekolah Pendidikan Perawat Boromeus, di Bandung. Menjelang hari penutupan pendaftaran, dengan berat hati ia mendaftar dan akhirnya diterima sebagai siswa calon perawat.
Conditioning Learning
“ Awal masa pendidikan, saya berontak dan ingin kembali ke Yogya, sekaligus merasakan bahwa ini bukan bidang saya!”, seru Retno. Satu hari, dalam kegalauan hati, seseorang mengatakan kepadanya bahwa untuk tetap bertahan, ia perlu jatuh cinta kepada apa yang ia lakukan. “ Nasehat itu amat melekat dan meneguhkan hati saya, sehingga sejak saat itu saya mengkondisikan diri untuk mengambil segala konsekuensi dan memutuskan menjalani resiko pilihan saya dengan sepenuh hati”, ujarnya. Pola conditioning learning ini pula yang berpuluh tahun kemudian ia terapkan kepada ribuan siswanya. Retno, yang semasa SMA sudah aktif di koor dan Legio Mariae gereja Bintaran, akhirnya lulus sebagai perawat tiga tahun kemudian ( 1973).“ Ketika luka menganga seorang pasien yang saya rawat lalu menutup kembali seperti semula, disitulah saya merasakan pertama kali seberkas kebahagiaan dan kepuasan batin yang sekonyong-konyong mengobarkan semangat saya”, kata ibu dua putri ini. Pepatah tak kenal maka tak sayang itu berlaku pula pada Retno, yang akhirnya jatuh cinta pada profesinya.
Bukan Panggilan Hidup
Selaras dengan kegigihannya, keinginan untuk menuntut ilmu tetap membara. Sesuai dengan doa ibunya pula, Retno melanjutkan ke sekolah bidan di Boromeus. Sikapnya tetap pantang mundur, kendati pingsan saat pertama kali melihat episiotomi, tindakan pengguntingan yang dilakukan untuk melebarkan jalan kelahiran. Akhirnya satu setengah tahun kemudian ia lulus sebagai seorang bidan (1975). Seiring langkahnya sebagai bidan, keinginan masa kecilnya untuk menjadi seorang biarawati yang ia simpan rapat-rapat, muncul kembali. Tekadnya yang bulat membawa ia ke biara Carolus Boromeus. Selama dua minggu ia mengikuti kegiatan calon biarawati. Namun segala rutinitas yang ia alami di dalam biara, membuatnya urung untuk melangkah selanjutnya. “ Ini bukan panggilan hidup saya”, kata Retno sambil tersenyum.
Tak lama kemudian Retno bertemu dengan tambatan hatinya, Yoseph Albert Tompunu M. Mar. Eng, yang kini menjadi suaminya. Kecintaannya kepada profesi bidan yang kemudian ia nikmati dengan sepenuh hati, rupanya tak menghalanginya untuk tetap bekerja sambil mengurus rumah tangga dan mengasuh anak. “ Dalam sistem kerja bergilir (shift), saya berterima kasih pada suami yang tetap mendukung dan membantu dalam mengasuh anak-anak ”, ujar ibu dari Judith Tompunu (30) dan Niken Tompunu (25) ini. Kini puterinya yang sulung, lulusan S2 Akuntansi, UI sudah menikah, puteri bungsunya masih menimba S2 Hubungan Internasional di Belanda. Suaminya yang seorang Insinyur Kelautan sering mendapat tugas menangani proyek di luar negeri. “Kendati semua mempunyai kesibukan masing-masing, namun begitu ada kesempatan berkumpul, kami senantiasa pergi ke gereja bersama”, tutur umat paroki St Ignatius, Cimahi ini.
Krisis Iman
Satu waktu, saat puterinya masih balita, pernah ia mengalami krisis iman. Saat itu, ia merasa semua berjalan tanpa ada kemajuan apapun dan berada dalam posisi yang stagnan. Ia mulai mempertanyakan keberadaan Tuhan. Di tengah kegusaran hatinya, ia menemukan secarik kertas dari harian Kompas yang isinya kurang lebih berbunyi: Seorang pendaki dan peneliti Amerika menemukan bangkai perahu nabi Nuh di gunung Ararat, Turki. Setelah diselidiki, ternyata semua komponen yang ada di perahu tersebut, sama persis seperti yang teretera di kitab suci. Sejak membaca kutipan tulisan tersebut, Retno merasa seperti disapa oleh Tuhan atas ketidakyakinan akan kehadiran Tuhan dalam hidupnya. Sejak mengalami ini, imannya diteguhkan serta penghayatan akan kehidupan rohaninya menjadi lebih bermakna.
Ketua STIKES
Profesi bidan ia tekuni di RS St Boromeus hingga tahun 1994. Kemudian ia dipindahkan ke bagian pendidikan di Akademi Keperawatan Boromeus (kini namanya STIKES; Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan). Saat mengajar, ia merasa pendidikannya setara dengan siswa yang ia ajar dan merasa perlu untuk menimba ilmu dalam jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Tak ada kata terlambat baginya, lantas ia memutuskan untuk mengejar S1 pada bidang studi keperawatan di Univeristas Pajajaran, Bandung dan lulus pada usia 49. Sambil tetap mengajar, Retno seperti tak kenal lelah, program studi Master Hukum dalam bidang kesehatan diraihnya pula tak lama kemudian. Tesisnya tentang perlindungan hukum terhadap tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit sudah dipublikasikan dalam sebuah jurnal ilmiah.
Pada tahun 2008, Retno diangkat menjadi ketua STIKES hingga kini. Ia membawahi emparatus duapuluh siswa keperawatan, duapuluh emat dosen, lima belas staf administrasi, sambil tetap mengajar enam jam dalam seminggu. Kini STIKES mempunyai tiga program studi, yakni S1 Keperawatan, D3 Keperawatan dan D3 Rekam Medis yang sudah terakreditasi oleh Badan Akreditasi Perguruan Tinggi (Ban PT) dan Asosiasi Institusi Pendidikan Nursing Indonesia (AIPNI). “ Permintaan tenaga perawat lulusan STIKES sangat tinggi dari berbagai rumah sakit di Indonesia maupun luar negeri”, pesan Retno dengan antusias. “ Oleh sebab itu profesi perawat sangat menjanjikan dan tingkat penganggurannya sangat rendah”, imbuhnya sambil setengah berpromosi bagi lulusan SMA yang ingin segera bekerja.
Dalam meningkatkan mutunya, STIKES merajut kerjasama dengan Nanyang Poli Singapore dalam TOT ( Training Of Trainer). Gedung STIKES yang kini sudah tidak memadai dalam menampung seluruh kegiatannya, akan segera pindah dari Jl. Ir H Juanda, Bandung ke lokasi baru di Kota Baru Parayangan. Dalam kesibukannya sehari hari, ia masih sempat aktif sebagai anggota Lions Club Bandung Lestari untuk memberikan karya pelayanan sosialnya bagi sesama. Diatas semua itu, motto hidupnya ‘God is my pilot’ tetap ia pegang teguh. (Rosiany T Chandra)

Orasi Dies Natalis Unpar ke 57

Orasi Dies dengan tema “Dekonstruksi Neokolonial: Sebuah Upaya Menuju Telologi Postkolonial” disampaikan oleh Pastor Dr. Ignatius Eddy Putranto, OSC saat Perayaan Dies Natalis Universitas Katolik Parahyangan yang ke 57 di GSG Unpar, Jl. Ciumbuleuit 94, Bandung pada tanggal 17 januari 2012 yang lalu.
Melalui tema orasinya, Dosen Fakultas Filsafat Unpar ini menandaskan bahwa proyek Teologi Postkolonialisme pada dasarnya adalah sebuah metode pencarian makna dan kajian kritis atas wacana-wacana resistensi terhadap pengalaman traumatis era kolonial sebagai bagian upaya artikulasi jati diri yang tengah berkembang di tengah masyarakat( bekas ) jajahan. Berkat upaya kritis ini diharapkan timbullah sebuah reorientasi konseptual yang bisa menyembuhkan luka sejarah dan mengubah rasa inferioritas yang kerap hidup di kalangan masyarakat yang terjajah.
“Namun pada kenyataannya, berakhirnya masa kolonialisme modern tidak dengan sendirinya menciptakan suatu kehidupan yang sungguh merdeka. Pemerintahan baru yang terdiri dari para bumi putera dengan kental masih mewarisi tabiat kolonial dengan memandang rakyat dengan cara pandang kolonial”, ujar pastor Eddy dengan berapi-api. Lain kata, para pejabat negara masih memandang dirinya sebagai penguasa dan melihat rakyat sebagai budak dan hamba, bukan sebagai warga negara. Akibatnya, kesejahteraan rakyat kerap dikurbankan demi kesejahteraan penguasa. "Azas kedaulan rakyat kerap pudar di bawah bayang-bayang azas kedaulatan (penguasa) negara!" Itulah warisan kolonial yang kerap masih bertahan dalam era kemerdekaan.
Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa akibatnya kelanjutan kolonialisme di era postkolonial saat ini mengambil wujud baru secara informal dalam rupa Neo-kolonialisme, seperti imperialisme baru yang sulit dilacak siapa siluman yang bertindak dan bertanggung jawab. Salah satunya disebutkan bahwa kapitalisme global telah menjadi alat Neo-kolonialisasi.
Dalam akhir orasinya, ia memaparkan bahwa agenda Teologi Postkolonial pantas menjadi sebuah wacana nasional agar bisa mengembalikan warga negara menjadi subyek sejarah dengan narasinya sendiri tentang peluang membangun hidup baru di sebuah negara yang adil, merdeka dan sejahtera, Selain itu semoga investigasi teologis dalam mencari pemahaman tentang apa arti jatidiri sebagai warga negara yang merdeka itu bisa menjadi semacam gugatan kegelisahan manusia ditengah maraknya kekerasan, kelaparan dan migrasi lokal dan global yang tumbuh pesat di dunia saat ini.
Sebelum orasi telah diadakan pula misa syukur yang dipimpin oleh Vikaris Jendral Keuskupan Bandung, Pastor Paulus Wirasmohadi Soerjo, Pr. Lalu ada kata sambutan dari Rektor Unpar, Prof. Dr. Robertus Wahyudi Triweko, ketua pengurus yayasan, Prof. Dr. B. Kusbiantoro, dan Koordinator Kopertis Wil IV, Prof. Dr. Abdul Hakim Halim. Dalam kata sambutanya, Pak Triweko, menyampaikan bahwa ada empat hal penting yang hendak mendapat prioritas selama empat tahun ke depan, yaitu revitalisasi nilai-nilai dasar, konsolidasi internal sumber daya manusia, penataan sistem, serta meningkatkan kualitas pendidikan dan penelitian yang relevan dengan pembangunan bangsa. Hal ini dilaksanakan sebagai upaya menuju terciptanya komunitas akademik humanum yang bersemangat kasih dalam kebenaran (caritas in veritate).
Dirgahayu Universitas Katolik Parahyangan! (Rosiany T Chandra)

Sapaan Bapa Kardinal Dalam Misa Krisma

Seragam kasula yang dikenakan kurang lebih seratus imam dari Keuskupan Bandung seakan mengisyaratkan, tak ada perbedaan yang tampak antara imam diosesan dan biarawan. Semua bersatu erat untuk merayakan Misa Krisma di Gereja Katedral Bandung, St Petrus, Rabu ( 4/4) sore itu. Kendati Keuskupan Bandung satu-satunya Keuskupan di Indonesia yang sede vacante, semangat kolegialitas terajut dalam penerimaan Sakramen Penguatan yang diperbaharui.
Intimewanya, misa ini dipimpin oleh satu-satunya kardinal yang dimiliki Indonesia, yaitu Yulius Kardinal Darmaatmadja. Di dalam perayaan Ekaristi khusus ini, Bapa Kardinal yang mewakili Administrator Apostolik Keuskupan Bandung, Mgr Ignatius Suharyo memberkati tiga minyak, yaitu: Minyak Katekumen, Minyak Krisma dan Minyak Orang Sakit. Ini menandakan fungsi imamat seluruh Gereja diperbaharui.
Dalam homilinya, Bapa Kardinal menyampaikan bahwa inti dan pokok kekuatan fungsi imamat Gereja adalah kasih Allah sendiri yang terjelma nyata dalam Yesus yang sengsara dan wafat di salib. “ Peran Imamat Kristus dalam GerejaNya akan diperbaharui lewat pembaruan diri para imam, biarawan-biarawati dan umat beriman yang mengemban tugas imamat umum berkat sakramen baptis dan Krisma “ pesan Bapa Kardinal. Peran Tuhan Yesus sebagai Imam Agung yang berkorban diri bagi keselamatan semua orang dihadirkan dalam Gereja lewat para imam tertahbis maupun lewat imamat umum yang diemban mereka. “ Peran penyelamatan semua orang inilah yang kita perbaharui hari ini” serunya.
Aksi penyelamatan ini tidak hanya ditujukan kepada mereka yang sudah ada dalam pangkuan gereja, namun juga membuka pastoral kepada semua orang di luar Gereja Katolik. Bapa Kardinal juga mengajak para imam untuk menyemangati dan mengarahkan kekuatan kekuatan kekuatan pastoral yang sudah ada di Keuskupan. Selain itu, sapaan ini juga ditujukan kepada awam di bidang pendidikan, kesehatan dan sosial lainnya, juga orang katolik yang sudah dalam posisi strategis yang menggarami kehidupan sosial, ekonomi dan politik, seperti: penulis, penerbit koran atau majalah.
“ Adalah tugas para imam untuk menyemangati dan mengarahkan kegiatan mereka ke fokus utama: makin berbakti kepada Allah dan makin baik berperilaku menuju terbinanya budaya hidup baru yang lebih baik” pesan Bapa Kardinal mengakhiri homilinya. Sehari sebelumnya, Bapa Kardinal memberikan rekoleksi kepada para imam Keuskupan Bandung (3-4 April) di Hotel Gumilang Sari, Lembang.( Rosiany T Chandra)

Keluarga Therapeutis Sekar Mawar

Suasana di ruang keluarga Yayasan Sekar Mawar tampak biasa seperti umumnya ruang keluarga yang kita kenal. Ada seperangkat sofa, sebuah organ dan sepiranti komputer terletak di salah satu pojok ruangan tersebut. Pagi menjelang siang itu, Yohanes, 17 (nama samaran) sedang tergelak riang bersama dengan Ibnu, 21 (nama samaran) ketika mereka duduk bersama di depan layar monitor komputer.
Sepintas mereka layaknya seperti kakak beradik yang tumbuh dalam sebuah keluarga. Yohanes dan Ibnu adalah dua residen dari sementara, enam penghuni Panti Rehabilitasi Yayasan Sekar Mawar. Yayasan yang beralamat di Jl. Tangkuban Perahu, Lembang - Bandung 40391 itu adalah sebuah yayasan sosial dalam naungan Keuskupan Bandung yang bergerak di bidang pencegahan dan penanggulangan masalah penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya).
Kala itu, pada tahun 1999, dr. Adjitijo A. Amidjojo, Sp.B dan beberapa rekan dokter sejawatnya serta beberapa aktivis dari berbagai paroki di Keuskupan Bandung prihatin berat akan kondisi Panti Rehab itu yang tidak memadai lagi guna menampung jumlah penderita yang kian meningkat. Mereka bertekad untuk berbuat sesuatu yang nyata. Beberapa waktu kemudian, disepakatilah pendirian Yayasan Sekar Mawar yang dikelola oleh awam, namun didukung penuh oleh (alm) Mgr. Alexander Djajasiswaja, Uskup Bandung saat itu.
Dari awal pengadaan gedung panti, hingga kini untuk biaya operasional sehari-hari, pendanaan diperoleh dari sumbangan para donatur, baik personal maupun lembaga, entah sumbangan tetap atau tak tetap; dan tentu juga juga dari Keuskupan Bandung.
Therapeutic Community
Dr. Adjitijo mengatakan bahwa, Yayasan Sekar Mawar itu didirikan atas dasar keprihatinan dan kepedulian terhadap gelagat semakin meningkatnya jumlah korban Napza di tengah kehidupan masyarakat, terutama di kalangan generasi muda. “Gejala kecanduan itu tentu saja dapat menjadi jerat yang sangat mengerikan yang dapat menghancurkan kehidupan pribadi dan masa depan korban itu sendiri “, ujarnya dengan nada prihatin. Selain itu ia menyampaikan bahwa keberadaan yayasan ini juga seiring sejalan peranannya dengan upaya pemerintah dalam membantu, mengatasi, mencegah dan menanggulangi kondisi sosial yang semakin memprihatinkan bangsa Indonesia ini.
“ Dalam menjalankan semua kegiatan di yayasan, kami bekerja secara professional dengan pendekatan holistik & komprehensif, dengan menggunakan metoda rehabilitasi yang disebut sebagai pendekatan Therapeutic Community (TC)”, papar dr. Adjitijo selanjutnya. Konsep TC ini berbasis prinsip “man helps man to help himself/herself”, yang kurang lebih maknanya adalah, "dibantu untuk mampu membantu dirisendiri dalam sebuah keluarga." Metoda dari Amerika ini dikemas oleh satu team professional yang terdiri dari psikiater, psikolog, pararelawan/wati (guru, guru agama dll), para konselor (mantan pecandu yang sudah mendapatkan pendidikan dan pelatihan khusus). Tugas mereka diawasi dan diarahkan oleh beberapa konselor profesional dan seorang Program Manager.
Jeremias, Program Manager yang ditemui di panti mengatakan bahwa hingga saat ini, Yayasan Sekar Mawar telah “meluluskan” kurang lebih seratus orang residen yang kembali ke masyarakat dengan “bersih”. Ia mengakui bahwa standar keberhasilan ini kendati bisa diukur pada mantan residen, tetap diperlukan sebuah supervisi yang ketat untuk memantau tingkat keberhasilan yang akurat dan permanen." Memang ada beberapa mantan residen yang kemudian terjerat kembali, namun tak urung banyak juga yang sudah berhasil kembali ke masyarakat dengan ketrampilan dan pekerjaan yang baik.”, tutur Bro Jerry, demikian ia akrab disapa oleh residen di keluarga Sekar Mawar.
Family Concept
Lebih jauh, konsep Therapeutic Community ini selain berbasis pada sisi spiritual, juga berpola pada "behavior shaping (pembentukan perilaku), vocational skill (kemampuan ketrampilan) dan therapeutic session" ( sesi terapi). Selanjutnya ia menandaskan bahwa selain mentaati program pemulihan diatas, residen dikondisikan hidup bersama dalam sebuah pola family concept, yakni hubungan mereka dibina seperti layaknya dalam sebuah keluarga normal. Dengan demikian, antara lain mereka mendapat tugas, seperti memasak, mencuci dan pekerjaan rumah tangga lainnya, sesuai jadwal masing-masing. Sejurus ini, residen dipersiapkan dan dibekali pula dengan berbagai ketrampilan yang ia minati, agar siap terjun kembali dengan produktif ke dalam masyarakat. “Ketika diterapkan pada residen, konsep TC ini memang menjadi sebuah acuan, namun acapkali perlu ada penyesuaian tertentu sesuai latar belakang masing-masing residen” , imbuh Bro Jerry.
Yohanes, salah satu residen yang ditemui siang itu mengatakan, bahwa tak sia-sia ia dibawa oleh orang tuanya dari Singkawang, Kalbar ke keluarga therapeutis ini. “ Saya sudah memakai inhaler sejak usia sepuluh tahun, yang kemudian meningkat ke ganja “, ujarnya. Ia sudah tinggal di keluarga Sekar Mawar selama lima belas bulan. “ Kini saya sudah boleh keluar sendiri untuk beberapa jam”, ujarnya dengan bangga. Bro Jerry yang juga seorang mantan pecandu menyampaikan bahwa setelah dievaluasi perkembangannya, seorang residen perlu mendapatkan sebentuk kepercayaan kembali yang telah musnah akibat ketergantungannya.
“Pelecehan fisik dan verbal yang dialami seorang anak membuat ia mempunyai mental yang rapuh. Demikian pula faktor suasana keluarga yang tidak harmonis sangat mempengaruhi kestabilan jiwa seorang anak. “ papar Bro Jerry. Ditambah kemudian oleh pengaruh lingkungan, yang membuat pola pikirnya melenceng dan lari kepada sebuah “pembenaran semu”, yang ditemukannya pada zat zat adiktif tersebut.
Badan Narkotika Nasional
Selain memberikan program rehabilitasi kepada residen, Yayasan Sekar Mawar membina kerja sama dengan BNN ( Badan Narkotika Nasional) dalam memberikan penyuluhan masalah NAPZA dan penanggulangannya bagi masyarakat. Aksi ini dilaksanakan di berbagai tingkat lembaga pendidikan, gereja serta instansi terkait lainnya. Disamping itu secara berkala, pelayanan konsultasi juga diberikan bagi penderita, keluarga dan masyarakat umum. Sebagai kegiatan pendukung, Family Support Group telah dibentuk dengan tujuan untuk menata kembali kehidupan keluarga residen dan mantan residen. Pemulihan dalam keluarga ini diperlukan untuk mengatasi berbagai ganggguan dan masalah yang muncul akibat sikap dan perilaku anggota keluarga yang menjadi pecandu.
Dr Adjitijo menyampaikan bahwa sementara ini, kapasitas yang tersedia di keluarga Sekar Mawar adalah untuk lima belas orang. “ Kami hanya menerima residen pria saja, karena keterbatasan ruangan yang ada”, ujar suami dari dr. Widyastuti Amidjojo ini dengan nada sesal. Disamping keprihatinan tentang residen yang kabur, keterbatasan dana yang tersedia juga menjadi kecemasan tersendiri dari pihak pengelola. Namun dr Adjitijo tetap optimis upaya regenerasi kepengurusan yang sedang dipersiapkan bisa terlaksana dengan baik. Dengan begitu, kepedulian Gereja terhadap sesama yang menderita, khususnya para korban narkoba, bisa dilestarikan sesuai dengan integritas moral dan falsafah yayasan.( Rosiany T Chandra)

“KOMUNIKASI”, SEBAGAI LAHAN BELAJAR

Menyambut Hari Komsos 20 Mei 2012 “KOMUNIKASI”, SEBAGAI LAHAN BELAJAR Salah satu komisi yang beranung di bawah Dewan Karya Pastoral (DKP) Keuskupan Bandung adalah Komisi Komunikasi Sosial (KOMSOS). Dalam usaha menjadi komunitas basis dalam pewartaan melalui media, program kerjanya dibagi menjadi empat unit kerja, yaitu : Sanggar Pratikara, Teknologi Informasi, Mimbar Agama Katolik dan Majalah Komunikasi.
Masing-masing unit memiliki program kerja yang dijalankan secara berkesinambungan dengan mengacu pada tema Pastoral Keuskupan Bandung. Unit Sanggar Pratikara dibentuk pada tahun 1979 oleh Pst.(alm) R. Mertens, OSC dan diresmikan oleh (alm)Mgr. Petrus Marinus Arntz, OSC tahun 1980. Unit ini memproduksi siaran rohani, renungan-drama, baik program harian maupun bulanan. Sejauh ini kerjasama telah dibentuk dengan sebuah stasiun radio swasta di Bandung dan RRI Regional I Bandung.
Selain memfokuskan diri dalam aktivitas membangun forum komunikasi serta pengembangan sarana teknologi informasi Keuskupan Bandung (www.keuskupanbandung.org), unit Teknologi Informasi berperan sebagi konsultan dalam pemanfaatan TI dalam lingkup kerja paroki. Sensus Umat Katolik Keuskupan Bandung pada tahun 2011 adalah salah satu program kerja yang telah difasilitasi oleh unit ini.
Mimbar Agama Katolik dihadirkan pada tahun 2010 sebagai sarana pewartaan yang berbentuk audio visual. Unit ini bekerja sama baik secara internal dengan komisi-komisi yang ada di DKP dan paroki-paroki, maupun dengan pihak eksternal. Sejauh ini program kerjasama acara sudah terbentuk dengan Komsos KAJ, Studio Audio Visual Puskat-Yogyakarta, Spacetoon TV, RCTI dan TV lokal STV.
Unit kerja media cetak yang didirikan oleh oleh Mgr.(alm) Petrus Marinus Arnzt, OSC) adalah majalah Komunikasi yang terbit secara rutin tiap bulan sejak 1980. Sejak itu, penerbitan majalah keuskupan ini dikelola oleh awam volunteer bersama-sama dengan Romo pembimbing yang ditunjuk oleh keuskupan. Ketua Komsos Keuskupan Bandung saat ini adalah Pastor Yustinus Nana Sujana, OSC yang sekaligus adalah Pemimpin Redaksi Komunikasi. Ia mengatakan bahwa kendala yang kerap dihadapi dalam setiap periode pengelolaan adalah sumber daya yang tidak konstan menetap. Hal ini diakibatkan oleh kesibukan masing-masing volunteer di parokinya masing-masing. Meski demikian, kontinuitas penerbitan tetap berlangsung dengan baik berkat pengelolaan manajemen yang tanggap. “ Kekompakan personil dalam sebuah tim di periode tertentu adalah kunci keberhasilan yang amat menentukan bagi penampilan Komunikasi”, ujar Pastor Heri Kartono, OSC, mantan Pemimpin Redaksi Komunikasi ( 1990-1995).
“ Sebagai volunteer, Komunikasi sering dijadikan lahan belajar bagi para mahasiswa yang bergelut di media cetak”, ujar Pastor Nana. “ “Beberapa dari mereka dulu yang membantu, sekarang sudah bekerja sebagai wartawan professional di berbagai media cetak terkenal di tanah air.”, sambungnya kemudian. Selain itu, ikatan kekeluargaan yang sudah terbina, berkelanjutan mengakar hingga ke antar generasi. “Komunikasi kini didukung oleh beberapa penulis tetap, kontributor dan wartawan volunteer”, jelas Pastor kelahiran Kuningan ini. Di sisi lain, ia mengatakan bahwa tak dipungkiri saat ini, sulit mencari sumber daya manusia yang berkomitmen. Hal ini disebabkan, salah satunya oleh banyaknya fasilitas yang membuat seseorang asyik sendiri.
Sejauh ini, pendaanan Komunikasi didapatkan dari swadaya iklan, yang ditambah subsidi rutin dari Keuskupan. Setiap tema penerbitan, biasanya disesuaikan dengan perpaduan antara kalender liturgi gereja, event tertentu maupun fokus pastoral di keuskupan. Tiap bulan dicetak kurang lebih 1000 buku, dengan harga jual Rp. 10.000,-/buku. Dari jumlah tersebut, sebagian secara gratis dibagikan ke berbagai paroki, biara, seminari dan sebagian keuskupan di Indonesia. Selain itu jaringan distribusi penjualan adalah melalui paroki dan agen-agen.
“ Tampilan dan isi Komunikasi saat ini lebih berbobot, namun kerap jaringan distribusi masih agak tersendat”, ujar Maria Sugianti, umat dari stasi St Theodorus, paroki Santa Perawan Maria Sapta Kedukaan, Bandung. Melalui pembenahan manajemen internal yang sedang berlangsung saat ini, diharapkan Komunikasi dan tiga unit lainnya dapat mendukung Komisi Komsos Keuskupan Bandung dalam mengakomodasi berbagai kebutuhan DKP dan paroki, untuk bertindak sebagai pelaksana, fasilitator dan motivator pewartaan melalui media. ( Rosiany T Chandra)

Menemukan Misteri Adorasi Ekaristi

Kedatangan Pastor Antoine Thomas CSJ di Bandung ( 17-23 Feb 2012) telah mengawali rangkaian berbagai acara dalam menyambut ulang tahun Keuskupan Bandung yang ke 80. Sesuai dengan tema Tahun Ekaristi yang telah dicanangkan, panitia Tahun Ekaristi Keuskupan Bandung 2012 bekerja sama dengan Tim Kapel Adorasi Abadi Pradipa Kumara telah mengundang Pastor Antoine untuk membangkitkan kegairahan umat dalam menghayati misteri penebusan Tuhan dalam Ekaristi.
Adorasi adalah salah satu cara yang bisa dilakukan untuk menimba kekuatan rohani dari karya penebusan yang ada dalam Sakramen Ekaristi. Melalui program “ Children Love Play But They Also Love To Pray”, Pastor Antoine mengajak anak-anak sedini mungkin untuk menimba kekuatan kasih dari Ekaristi.
Selama kunjungannya di Bandung, Pastor Antoine mengunjungi beberapa sekolah, diantaranya SD St. Jusuf, SD St Angela, SD St Aloysius dan SD Pandu. Di setiap sekolah, anak anak dibimbing untuk melakukan Jam Suci, yakni adorasi kepada Sakramen Mahakudus dalam bentuk beberapa rangkaian sembah sujud, doa permohonan dan saat hening yang telah dikemas secara sederhana dan di format khusus bagi anak-anak. Pastor Antoine, seorang imam berkebangsaan Perancis menyampaikan pentingnya membawa anak-anak kepada Hati Kudus Yesus. Menurutnya, melalui Adorasi anak-anak dapat merasakan kehadiran Allah di dalam Tabernakel; merasakan apa itu Sakramen Maha Kudus. Pada umumnya anak-anak hanya diceritakan kisah Yesus dan diajak misa tanpa mengerti betul akan kehadiran Allah, sekaligus tanpa merasakan bahwa Allah benar-benar hadir dihadapan mereka.
Selain mengajar anak-anak untuk beradorasi, Pastor Antoine juga memberikan seminar dua hari berturut-turut di gereja Santa Perawan Maria Sapta Kedukaan (20 - 21 Feb). Seminar yang mengambil topik ‘Marilah datang Menyembah Dia’ ini mendapat respons yang antusias, tidak hanya dari umat berbagai paroki di Bandung, namun juga dari para biarawan dan biarawati. Tiket terjual habis dan kapasitas tempat duduk di dalam gereja terisi maksimal.
Dalam seminar ini dipaparkan beberapa pencerahan kepada umat, termasuk di dalamnya bagaimana Pastor Antoine berbagi pengalamannya dalam mendampingi anak-anak, remaja dan keluarga dalam beradorasi. Pastor yang kini menetap di New Zealand ini mempunyai pengalaman bertahun tahun sebelumnya sebagai pastor sekolah yang banyak mendampingi siswa- siawa disekolahnya.
Dikatakannya, perlunya sebuah pendampingan awal sehingga kita semua bisa mengalami “ perjumpaan dengan Yesus” dalam keheningan adorasi Ekaristi yang kita lakukan.” Saya sangat senang datang ke Bandung dan sekaligus merasa kaget dan kagum atas sambutan yang begitu meriah dari anak-anak dan umat disini”, demikian paparnya dalam seminar. Disamping memberikan seminar, Pastor Antoine memimpin beberapa misa konselebrasi di paroki St Laurentius, St Paulus dan Pandu. Usai misa, acara dilanjutkan kemudian dengan Adorasi keluarga, anak-anak dan remaja sesuai jadwal yang telah diumumkan sebelumnya di masing-masing paroki. Bagi yang ingin mengetahuinya lebih lanjut, silakan kunjungi website: childrenofhope.org dan nzstjohn.wordpress.org (Rosiany T Chandra)

Cempaka Duka

Kelam malam
Melumat kepedihan
Yang tersembunyi
Di celah dedaunan
Di bayang rimbun cempaka
Malaikat datang menyapa
Menyeka air mata
Berbisik tentang dendang surga.
Hanya selemparan batu jauhnya
Antara surga dan nestapa.
Ketika jarak itu pula
Yang menerpa jiwa entah kemana
Laksana harum cempaka
Yang sirna dibawa angin malam
Rosiany T Chandra( 8 Mei 2012 )

PEGANG ERAT SALIBNYA

“Ueeenaaak…!!!”, itu adalah jawaban standar Bruder Samidi, ketika mengomentari rasa makanan yang sedang disantapnya. Hal ini merupakan salah satu yang disampaikan Pastor Darno tentang Bruder Samidi dalam homili misa requiem sore itu, Selasa, tanggal 20 Maret 2012 Bruder Justinus Samidi, OSC telah menghadap Yang Kuasa pagi harinya, pada pkl 7.30 di RS St Boromeus. Sejak ia dibawa ke rumah sakit pada tanggal 19 Feb yang lalu, paramedis telah berusaha maksimal melakukan yang terbaik baginya, namun kondisinya pasca operasi kian menurun. Konfrater di Pandu secara bergiliran menemaninya malam hari di Boromeus. Senin malam itu, giliran Fr Mammouth yang bermalam disana hingga esok paginya. Malam hari itu, Bruder tidur tenang dengan nafas teratur, meski lemah. Pagi hari Selasa, Pst Rob datang untuk menjenguknya. Sesaat kemudian, mereka terkejut mendapati alat bantu medis mencatat angka 0.. Bruder telah pergi selamanya dalam damai… “ Pada hari Minggu yang lalu, saat saya menjenguk Bruder Samidi, ia minta maaf pada saya”, demikian ucap Pastor Darno dalam homilinya. “ Ia memohon maaf atas segala sikapnya yang mungkin tak berkenan pada pastor paroki, termasuk salah satunya mencuri-curi dalam merokok”, sambung Pastor Darno. Bruder Samidi mengatakan bahwa ia lelah dan ingin beristirahat dan pergi pada bulan Paskah. Agaknya, Tuhan memang telah menjemput sesuai dengan waktu yang diinginkannya. Selanjutnya Pastor Darno menyampaikan bahwa Bruder Samidi adalah sosok pribadi yang sederhana, namun memiliki keyakinan dan iman yang teguh. Disamping itu, prinsip logikanya tidak mudah untuk dipahami. Meski demikian, Bruder Samidi telah membawa warna sendiri dalam komunitas di Pandu. Selain itu, Bruder Samidi adalah seorang konfrater yang tak pernah mengeluh akan sakitnya. Saat di rumah sakit, ketika ditanyakan padanya, apa yang sakit, ia senantiasa berucap; “Tidak ada yang sakit.” Sehingga dokter pun memuji sekaligus “bingung” atas daya tahannya. Beberapa hari menjelang ajalnya, Bruder Samidi meminta untuk diberikan salib yang bisa dipegangnya terus menerus. Tampaknya, penderitaannya telah ia persatukan dengan Salib Kristus. Oleh sebab itu, hingga ajalnya tak sedikitpun ia gentar dan goyah akan iman yang diyakininya, bahwa Allah akan menyediakan tempat yang luar biasa indah baginya kelak. “ Bruder Samidi adalah sosok yang sangat perhatian kepada sesama konfrater di rumah dan tak pernah marah”, ujar Pastor Rob Stigter. “ Selain itu, ia amat menikmati hidupnya dengan ringan tanpa keluh kesah “, sambung Pastor Rob kemudian. Disampaikan juga bahwa ia suka memasak nasi goreng dan sup daging babi dalam waktu senggang. Selebran utama dalam misa adalah Pastor Agustinus Sudarno, OSC yang didampingi oleh Pastor Anton Subianto, OSC dan Pastor Johanes Jino Widyasuharjo, OSC sebagai konselebran. Pastor Widyo, demikian ia biasa disapa, adalah keponakan dari Bruder Samidi. Pastor Widyo mengatakan bahwa , pamannya adalah sosok yang amat mempengaruhinya dalam pilihan hidupnya sebagai biarawan. “ Kalau saya saja diterima sebagai biarawan, kamu pasti juga bisa!”, bujuk Bruder Samidi kepadanya. Pastor Widyo juga menyampaikan bahwa pamannya adalah seorang yang sederhana, jujur dan tulus hatinya. “ Selain itu, ia suka memuji orang lain” kata pastor Widyo yang kini bertugas di paroki St Ignatius, Cimahi. Pastor Widyo mengungkapkan bahwa dulu saat ia memutuskan ingin menjadi pastor, ia malah tak meminta izin ke ayahnya. Ia hanya bilang ke Bruder Samidi, yang memang tinggal serumah dengan kedua orang tuanya, yang adalah kakak dari almarhum. Di penghujung homili, Pastor Darno menyampaikan rasa terima kasihnya kepada seluruh umat yang telah memberi perhatian, membantu dan mempersiapkan segala sesuatu dalam waktu yang singkat. “ Kita semua kehilangan Bruder Samidi, namun perlu bersyukur, bahwa ia telah hadir untuk memberi keyakinan dalam mewartakan iman kepada kita : Penderitaan kita tak ada apa apanya dibanding dengan penderitaan Kristus, ketika kita mampu memegang erat salibNya hingga akhir hayat”, ujar Pastor Darno menutup homilinya. RIP Bruder..(Rosiany T Chandra)

Lilin Ke Enam

Lieke panik di depan counter check in Bandara Chang I, Singapura. Rupanya e ticket ke Sydney yang ia pesan melalui internet tidak tercatat oleh system computer penerbangan. Entah mengapa itu terjadi, tidak dapat dimengerti oleh Lieke saat itu. Padahal ini adalah ke sekian kalinya ia mondar mandir antara Bandung dan Sydney dengan tiket elektronik tersebut.
Lieke terpaksa pindah antri ke counter penerbangan lain untuk membeli tiket baru. Sore itu ia baru saja transit beberapa jam dari Bandung. Untung antrian yang baru tidak seberapa panjang, sehingga tak lama kemudian, ia pun dilayani oleh seorang petugas yang ramah. “ Semoga saja masih ada tersisa satu seat untuk ke Sydney”, gumamnya dalam hati. Sambil menanti petugas mencermati layar komputernya, Lieke menyibakkan anak rambut yang menggerai di pelipisnya sambil menghela nafas panjang. Sejurus itu, sorot matanya menyapu antrian yang ada di sampingnya. Tatapannya sesaat beradu pandang dengan seorang bule yang antri persis di counter sebelah berikutnya. “Your ticket madam”, suara petugas itu sontak membuat Lieke segera memutar kembali tubuhnya yang atletis semampai. Raut wajahnya menyiratkan kelegaan dan kegembiraan, ketika petugas menyodorkan lembar tiket yang ia harapkan. “ Oh..great!..thank you”, ujarnya hampir berteriak. Setelah menyelesaikan pembayaran, Lieke segera bergegas menarik kopernya, sambil berlari kecil. Tak banyak waktu yang tersisa lagi. Panggilan boarding yang menyebutkan nomer penerbangannya sedang berkumandang dengan aneka bahasa.
Dengan nafas masih terengah, ia sudah mencapai mulut perut pesawat. Seorang pramugari menebarkan senyum termanisnya. Menemukan seat yang dituju, Lieke dengan sigap membungkuk dan mengambil ancang-ancang untuk mengayunkan kopernya keatas tempat bagasi. Ketika koper masih setengah mengudara, sebuah tangan kekar menangkap koper tersebut dan segera mengantarkannya ke kabin bagasi yg tepat berada diatas kepala Lieke. Sedetik Lieke terperanjat dan tak melihat sosok wajah si empunya tangan kekar. Liekepun segera berpaling dan secara reflex sambil tersenyum lebar menatap ke arah si bule tadi yang telah bermurah hati menolongnya. Kali ini si bule membalas senyuman Lieke ditambah sorot mata yang ramah.
Seperti banyak perkenalan yang diceritakan di novel-novel, mereka pun akhirnya duduk bersebelahan menuju Sydney. Percakapan dimulai dengan basa basi dan sapaan ramah tamah biasa. Akhir-akhir ini Lieke memang tidak terlalu terbuka dalam pergaulan akibat kegagalan perkawinannya empat tahun yang lalu. Sakramen perkawinannya enam tahun silam, masih meninggalkan luka yang mendalam di hatinya. Selain itu perasaan sesal dan dosa masih menggerogotinya. Kendati berulang kali ia mengaku dosa, perasaan bersalah itu kerap menderanya hingga kini. Beban tak mampu menjalankan janji perkawinan seperti yang pernah ia ucapkan, tak bisa pupus begitu saja.
“ Kamu tinggal di Sydney?”, tanya Kevin, demikian si bule memperkenalkan dirinya. “ Tidak, saya tinggal di Bandung, namun sering ke Sydney untuk menjenguk orang tua saya yang menetap disana”, jawab Lieke dengan bahasa Inggris yang fasih. Lieke memang sekolah semenjak bangku SMA hingga univeristas disana. Selanjutnya mereka terlibat dalam sebuah pembicaraan umum yang menyenangkan. Tak terasa beberapa jam kemudian, pesawat mendarat dengan mulus di negeri kangguru tersebut. Sebelumnya mereka sempat bertukar telepon dan alamat di Sydney.
Seminggu berlalu, pertemuan di pesawat itu hampir dilupakan Lieke. Namun hari jumat Lieke mendapat kabar dari Kevin, mengajak untuk bertemu minum kopi di sebuah café esok harinya. Lieke menyambut gembira, karena ia memang tak ada kegiatan khusus di Sydney selain mengunjungi orang tuanya. Selain itu Lieke juga berfikir, tak ada salahnya ia merajut sebuah pergaulan sambil rehat sejenak dari rutinitas agenda pekerjaan di hotel yang ia kelola. Pertemuan minum kopi berlanjut lain hari ke bush walking, yaitu jalan jalan ke taman di pinggiran kota. Akhir pekan berikutnya disambung dengan kayaking, mengayuh sampan bersama-sama di sebuah danau. Kalau dilukiskan pertemuan mereka persis seperti yang banyak ditayangkan di film-film. Tapi itulah kenyataan yang sebenarnya terjadi pada Lieke dan Kevin.
Seminggu sebelum kepulangan Lieke ke Bandung, persahabatan mereka kian intens. Mereka saling menemukan kecocokan dalam berkomunikasi. “ Aku bisa bercerita dan bertanya apa saja kepada Kevin “, chats Lieke pada sahabatnya, Anas di tanah air, sambil menceritakan kisah pertemuannya dengan Kevin. “ Hal yang tidak diketahuinya, di jawabnya dengan apa adanya” , sambung Lieke pada Anas. Kewajaran dan kesederhanaannya amat aku kagumi, papar Lieke kemudian. “Jatuh cinta?” goda Anas pada Lieke. “Entahlah.. aku tak tahu, sebenarnya pertanyaan yang sama aku ajukan pada diriku sendiri”, jawab Lieke tergelak.
Senin, Lieke sudah harus balik ke Bandung. Akhir pekan sebelum hari keberangkatannya, mereka lewatkan dengan melakukan aktifitas nonton bola dan makan malam bersama. Suasana makan malam di sebuah resto, di pinggir pantai kota Sydney itu amat romantis dengan kerlap kerlip lampu kota. Angin malam menusuk. Lieke membiarkan dirinya direngkuh dalam pelukan Kevin. Hangat.. dan ia menikmatinya. Lieke tak tahu pasti apa yang sedang ia rasakan. Semua seakan seperti mimpi dan sebelum mimpinya buyar, ia baru tersadar ketika sudah berada di bandara, siap untuk kembali ke Bandung.. Kevin mengantarnya dan kenyataan akhir yang harus dihadapi, mereka toh tetap harus berpisah dengan berat hati.
Ini hari ketujuh, semenjak Lieke menjejakkan kakinya kembali di tanah air. Komunikasi dengan Kevin semakin akrab via telpon dan skype. Hari ini adalah lilin ke enam yang ia nyalakan di gua Maria, yang berada di samping gereja, tempat ia dulu menerima sakramen perkawinan. Dengan khusyuk Lieke minta tuntunan Bunda Maria, apa yang harus ia lakukan dengan perasaan jatuh hatinya, sekaligus mohon belas kasih akan rasa takutnya menatap masa depan. “ Bunda Maria, apa yang harus saya lakukan, kalau satu saat aku tak kan bisa menikah lagi di hadapan PuteraMu yang amat aku kasihi ?”, ujar Lieke dalam doa yang ia bisikkan pada Bunda yang ia cintai. Lieke masih mengharapkan pencerahan dari lilin ke tujuh dan selanjutnya..( Rosiany T Chandra)