Minggu, 18 Agustus 2013

Kulihat Ada Cahaya

Aku melihat dengan jelas apa yang sedang dirundingkan oleh tim dokter yang sedang mengelilingi ranjangku. Salah satu diantaranya memeriksa data di monitor yang terpasang di atas samping kepalaku. Tiba tiba aku bisa berada diantara dimensi yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku berada di saat kini, di masa lalu dan di masa yang akan datang sekaligus.. Aku bingung sendiri, aku kini sedang berada di mana ya? Rasanya aku seperti ada di pojok atas ruangan yang berbau steril tersebut. Sedikit di atas atap ruang ICCU tersebut. Namun dengan pandangan mata elang yang terekam 360*. Bahkan aku mendengar dengan jelas apa saja yang sedang dibicarakan tim dokter tersebut. “ Aku melihat sorot mata Kartika, adikku yang tertunduk lesu, sambil membiarkan air matanya mengalir “, bisikku lirih kepada sebuah cahaya terang yang tiba tiba menyapaku. “ Kami memutuskan untuk tidak menambah dosis obat, biarkan semua mengalir apa adanya. Mari kita doakan”, ucap provinsial, mantan muridku itu yang disertai persetujuan kakakku.
Aku ingin berucap sesuatu, serta merta ingin menyetujui keputusan keluarga tersebut atas tubuhku yang terbujur ringkih dan kaku oleh kanker yang telah menggerogotinya. Sekonyong-konyong rasa sakit yang menyiksa tak kurasakan lagi.. Aku seperti dilepaskan dari rasa nyeri tak kepalang yang menghujam tubuhku beribu ribu laksa. “ Kalimat kalimatku yang berupa teriakan keras rupanya tak terdengar oleh mereka”, laporku pada cahaya tersebut. Aku juga bingung kenapa mereka tak bisa mendengarku. Padahal jelas jelas aku menujukan jeritanku kepada mereka.
Cahaya itu Tersenyum
“ Anakku yang kukasihi..mari ikutilah Aku..!” perintah suara dibalik cahaya yang menyilaukanku. Sejenak aku ragu.. Aku melihat sekumpulan umat dari parokiku datang menjengukku. Pak Supit dan ibu memegang tanganku. Hangat terasa genggaman tangan mereka di kiri kanan tubuhku…mereka sedang berdoa bagiku. Aku amat terharu. Sehari hari mereka banyak membantuku baik sebagai anggota dewan paroki, maupun sebagai sahabat bersepeda jika hari Sabtu tiba. Sesaat kemudian, aku bisa mendengar segala pembicaraan yang terjadi di ruang tunggu di luar kamar ICCU yang aku tempati. “ Pastor Robert adalah Pastor moderator kami yang sangat bijaksana dan senantiasa menghangatkan suasana dengan gaya jenakanya.”, jelas Bu Vera kepada salah satu ibu, umatku dari Cigugur yang sudah puluhan tahun tak pernah ku jumpa. Aku lupa lupa ingat siapa namanya. Namun parasnya tak banyak berubah. Salah satu anggota mudika yang aktif di masa aku bertugas sebagai salah satu pastor rekan di sana. Wajahnya menyiratkan keprihatinan ketika mendengar dari bu Vera bahwa harapan hidupku tinggal mujizat dari Yang Kuasa saja.
Pastor Andika tampak sedang memimpin doa bagi semua umat yang ku kenal satu persatu. Sangkin banyaknya mereka di luar sana, tak semuanya mendapat kesempatan masuk ke dalam ruangan dimana tubuhku berada. Doa yang mereka lambungkan sangat mententramkan hatiku. “ Aku baik baik saja disini…tak usah kuatir!”, ujarku sekuat tenaga di telinga mereka satu persatu…Aneh, mereka tetap tak mendengarku. Aku mulai kecewa dan panik juga. Doa Rosario meneduhkan dan menyamankan jiwaku yang galau. Kepada cahaya tersebut ku katakan bahwa aku ingin kembali kepada mereka. Umatku membutuhkanku. “Biarlah aku bersama mereka”, pintaku separuh memelas. Cahaya itu tersenyum kepadaku…”Aneh juga ya, cahaya bisa tersenyum, hal yang baru bagiku”, kataku lirih kepada almarhum ayahku yang berada disampingku. Kehadirannya sedikit banyak menghilaukan kegalauanku.
Tentram Di Keraguan
Anehnya saat itu, bukan hanya rasa sakit yang hilang, namun kedamaian yang bukan dari bumi, yang belum pernah kurasakan sebelumnya datang bersemayam di jiwaku. Aku melihat paru paru ku penuh dengan air, dengan selang oksigen di hidungku. Tubuhku yang ringkih dan makin kecil mengejutkan diriku sendiri. Aku sebenarnya tak mau kembali lagi ke tubuh yang sakit dan tak nyaman itu. Aku seolah berdiri di depan pintu kematian, sebuah pintu yang tidak dibatasi oleh apapun seperti yang ada di dunia. Pintu ini adalah sebuah tempat yang tanpa batas. Aku tak bisa mengatakan bahwa itu adalah pintu surga. Tapi aku merasa begitu dekat sekali dengan makna sebuah cinta yang memelukku sehingga aku tak memiliki rasa takut lagi.
Suara manik manik Rosario yang gemerincing dari seorang sahabatku yang sedang berdoa di samping tempat tidurku semakin memantapkan langkahku dan sekaligus meneduhkan hatiku. Aku bukan diriku lagi saat itu. Aku berjalan semakin jauh..meski bibirku ingin melontarkan luapan rasa terima kasihku, namun aku tak mampu lagi. Aku berjalan semakin jauh dengan iringan lagu lagu yang didengarkan melalui CD player yang terletak di samping tempat tidurku.” Biar kini daku bersyukur, Tuhan, merasa tenteram di keraguan..”. Lagu ini semakin jelas terdengar di telingaku.
Sejurus hal ini, semua menjadi begitu jelas.. jelas sekali terekam semua kisah perjalanan kilas balik yang aku alami dalam hidup pelayananku. Kini, tak sedikitpun ada rasa cape dan lelah akibat jadwal pelayanan yang padat yang kurasakan. Bahkan rasa kecewa yang pernah aku rasakan ketika tak memiliki waktu untuk menulis lagi sirna saat itu juga. Langkahku semakin ringan dan mantap melangkah, memenuhi panggilan Yang Kuasa. “Aku tidak terpaksa meninggalkan kenikmatan dunia.., karena disini aku baik baik saja, bahkan mungkin kenyamanan yang ku alami ini adalah kenikmatan surgawi sejati yang tak dimiliki oleh para sahabatku yang aku tinggalkan!”
( Rosiany T Chandra) Dimuat di majalah Komunikasi Agustus 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar