Minggu, 18 Agustus 2013

Pius : Pencipta Sosok Yesus dan Orang Kudus

Kini ia semakin betah di “sarang” baru yang ia bangun di bengkelnya. Disini ia bisa “liar” berkreasi, seakan-akan roh pada patung patung itu sendiri yang menghampiri, memberikan inspirasi pada dirinya.
Dahulu tidur- tiduran dan “bersarang” di ITB, bak di rumah sendiri selama hampir delapan tahun rupanya tak sia sia, bagi pria berkumis ini. Satu per satu teman seangkatan Pius Prio Wibowo lulus mendahuluinya. Mau tak mau Pius berjumpa serta berkenalan dengan teman teman dari angkatan baru yang segera menyusulnya. Namun mahasiswa Seni Murni Patung ini sedikit pun tak terusik, bahkan semakin betah dan akrab saja dengan lingkungan Lab Studio Patung Fakultas Seni Rupa dan Desain ( FSRD) Institut Teknologi Bandung. Disana ia seperti menemukan sebuah oasis yang memuaskan dahaga jiwanya. Disamping itu, pesona habitat artistik ini seakan telah menggelorakan kubangan magma inspirasi serta imaginasi yang tiada hentinya bergemuruh di benak dan kalbunya. “Belakangan baru saya sadari, bahwa jiwa kesenimanan saya banyak ditempa di situ”, kenang Pius dengan penuh nostalgia.
Kelak aneka bentuk patung dan salib Yesus yang tersebar di pelbagai gereja di nusantara adalah hasil buah karyanya sejak 1994 hingga kini. Selain patung Yesus dan aneka relief yang terpasang di meja altar gereja, ia juga menghasilkan puluhan patung Bunda Maria dan para Orang Kudus yang ada di beberapa gereja, antara lain yang tersebar dari Lampung (Gereja Hati Kudus, Metro) hingga Flores Gereja Santa Maria Magdalena di Nanga Hure, Maumere). Patung patung yang mendeskripsikan perjalanan sengsara Yesus di Taman Getsemani terpajang pula salah satunya di Jalan Salib Gereja Santa Perawan Maria, Karmel – Lembang. Bahkan beberapa kaligrafi serta relief bagi mesjid adalah hasil pahatannya pula, selain beberapa monumen serta kreasi medali penghargaan yang diciptakan untuk berbagai event.
Seni Lebih Kuat Dari Tarikan Otot
Awalnya, anak ke 10 dari 13 bersaudara, pasangan (alm) Yohanes Albertus Soeparlan dan (alm) Maria Helena Soepinah ini lebih tertarik ke bidang atletik. Semasa Sekolah Menengah Pertama, ia memang sempat menjuarai lomba sprint dan volley. Sejurus dengan prestasi di bidang olahraga ini, Pius sekaligus juga meraih juara dalam sebuah lomba gambar. Disamping itu, pelajaran prakarya juga adalah hal yang ia gemari. “Oleh sebab itu saya sering ikut membantu membuat patung pahlawan untuk perayaan 17 Agustus di lingkungan tempat tinggalku”, ujar Pius yang lahir dan besar di Bandung. Selulus SMP, Pius sempat bingung dalam menentukan bidang yang ingin ia tekuni. Sempat ia bersekolah di Sekolah Guru Olahraga (SGO). Namun sesaat kemudian ia menyadari bahwa naluri seninya bergema lebih kuat daripada tarikan ototnya. Alhasil iapun banting stir untuk melanjutkan ke Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) di Yogyakarta (1982).
Saat masa sekolah di Yogya ini, ia kerap berkunjung ke pelukis (alm) Affandi. Ia banyak belajar dari karya ekspresionisme Sang Maestro. Selain itu ia bergaul dengan kalangan seniman Yogya, antara lain ia kagum dengan seniman patung Edi Sunarso. Pius menyadari bahwa ia sangat menikmati ketika mengamati mereka berkarya. Hal ini yang selanjutnya memantapkan niatnya untuk memilih bidang seni yang ditekuninya hingga kini.
Titik Tolak Berkesenian
Tahun 1984 ia diterima di Fakultas Seni Rupa dan Desain, ITB jurusan Seni Murni Patung. Pius mengatakan bahwa daya tarik seni patung terletak pada media tri matra (tiga dimensi), yang memungkinkan ia melihat serta mewujudkan sesuatu dari sudut yang lebih lepas/ekspresif. “Sedangkan seni lukis hanya bermain di ranah dwi matra ( dua dimensi) dengan ekspresi internal” tutur suami seniman kaca patri, Sandra S. Hariadi. Selain itu ia menjelaskan, ada pula yang disebut lukisan semi tiga dimensi, yakni relief. “ Seorang pematung harus bisa menggambar”, ujar dosen dan kepala Studio Seni Patung ITB ini. “ Memahami anatomi manusia adalah bagian dari titik tolak dari berkesenian”, imbuhnya kemudian. Selanjutnya Pius membeberkan bahwa di dalam tubuh manusia terkandung unsur estetika yang perlu disingkapkan melalui sebuah karya seni. Untuk ini diperlukan teknik dasar modelling, carving, serta memahami berbagai bentuk dan komposisi yang didukung oleh sebuah konsep yang kokoh.
Semasa kuliah, ia sempat mengikuti lomba monumen yang diikuti pula oleh dosennya. Saat itu ia berhasil menjadi pemenang, dan sekaligus mengalahkan dosennya. Momen ini ia kenang sebagai hal yang menambah kepercayaan dirinya untuk kukuh berkarya di seni patung. Lulus 1991 dari ITB, ia bekerja pada seniman Sunaryo dan magang di mantan dosennya, Rita Widagdo. Selanjutnya ia ke Belanda, berguru kepada Prof Ans Hey untuk ‘Stone Carving’. Dilanjutkan kemudian ke Perancis untuk menimba ilmu kepada Prof Jean Kammal.
Pius mengaku bahwa ia lebih menyukai berkreasi di jalur abstrak. Menurutnya ini menjadi sebuah daya tarik karena “arena” ini tak mudah diintervensi, yang mengizinkan imaginasinya “liar” berkelana lebih jembar. “Meski demikian, esensi bentuk tubuh manusia yang telah berubah wujud menjadi sebuah bentuk abstrak tetap wajib memiliki nilai kontinuitas serta misi yang ingin disampaikan” pesan pria bersahaja dan halus budi ini.
Peduli Narapidana
Bersamaan dengan waktu ia diterima di ITB, Pius membangun sebuah Bengkel Seni Rupa. Awalnya bengkel ini bergerak di bidang pendidikan seni rupa yang menghasilkan teori pemahaman estetika bentuk. Namun seiring waktu, perusahaan mengembangkan diri di bidang yang lebih luas dan mengarah kepada praktika yang diwujudkan dalam khazanah ruang publik dan masyarakat, seperti monumental eksterior, patung, relief, piala, restorasi dll. Saat ini di bengkelnya Pius dibantu oleh beberapa orang berbakat eks narapidana. “Mereka perlu diberi hak kesempatan untuk berkerja kembali di dalam masyarakat”, ungkap pria yang masih sempat menjadi ketua lingkungan Santo Rafael, paroki Santa Odilia, Bandung.
Sejak ia masih bersekolah di SMP St. Yusuf – Bandung, berbagai rupa karyanya kerap dipamerkan hingga kini. Selain berpameran di berbagai kota besar di Indonesia, Pius juga diundang untuk memperkenalkan hasil karyanya ke segenap mancanegara, antara lain seperti Pameran “Marquis de Sade” et les Pleres de Lacoste, di Perancis ( 1993), Pameran Seni Rupa Asia di Kyungsung University, Pusan, Korea ( 1997), Taiwan dan Singapura. Disamping itu, monumen hasil rancangannya sebagian telah menjadi poros kota serta landmark di beberapa wilayah pemukiman. Salah satunya, sebut saja monumen ‘Rama’ di Gelora Bung Karno, Senayan –Jakarta dan patung Phitecanthropus Erectus di Museum Nasional.
Tak terhitung sejumlah relief indah telah menghiasi beberapa lobby bank, hotel serta gedung perkantoran terkenal di Jakarta serta kediaman pribadi para pecinta seni. Dalam merancang sesuatu ia selalu mengupayakan agar apa yang ia ciptakan dapat menggugah orang yang melihat, sehingga menjadi inspirasi bagi banyak orang. Terlebih lagi jika melalui hasil pahatannya, ia dapat menuntun orang untuk lebih khusyuk berdoa sehingga menjadi lebih dekat kepadaNya.
( Rosiany T. Chandra)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar