Senin, 10 April 2017

Dinamika Perkembangan Religiusitas

A. Pengantar Saya diminta memberi masukan tentang religiusitas karena salah satu tujuan pendidikan di YA ini adalah meningkatkan mutu religiusitas para siswanya. Tugas itu jelas tak bisa dilimpahkan hanya kepada para guru agama (katekist) kerna setiap orang mempunyai tugas dan sumbangsih pribadinya juga: menjadi saksi, teladan dan pewarta imannya. (5 tugas/panggilan dasar warga Katolik: koinonia, diakonia, liturgia, kerugma, martyria = persekutuan, pelayanan, perayaan, pewartaan, dan kesaksian hidup). Religiusitas bisa diartikan sebagai dimensi afektif dari agama: dampak dari ajaran dan praktek agama dalam hati manusia; hubungan diantara agama dengan pelbagai arus perasaan yang silih berganti timbul dalam hati manusia saat ia mengarungi aneka tahapan dan problematika kehidupan. Berikut dengan singkat akan saya sampaikan visi dua pakar psikologi agama, Henri Nouwen dan Gordon Allport, tentang tiga (3) tahap dinamika perkembangan religiusitas manusia: tahap kanak-kanak, remaja dan dewasa. B. Religiusitas Tahap Kanak-Kanak Ada tiga (3) moment penting terjadi semasa periode kanak-kanak (1-12 thn): kesadaran bahwa ego bukanlah pusat dunia, tumbuhnya kemampuan berbahasa, dan pembentukan suara hati (superego). 1. Ego Bukan Pusat Dunia Sekitar usia 18 bulan, seorang bayi samar-samar menyadari bahwa dia itu bukanlah pusat dunia: bukan satu-satunya pusat perhatian keluarganya, khususnya ibunya. Dalam periuode sebelumnya, khususnya semasa dalam kandungan, seorang bayi itu menikmati “zone of comfort and security.” Anak & ibu itu sungguh menyatu kerna keberadaan sang ibu itu sungguh tercurah dan terserap demi survival sang bayi: segalanya langsung ada dan tersedia demi pemenuhuan kebutuhan lahir-batin bayi. Melalui serangkaian pengalaman pahit (frustasi), sang bayi mulai menyadari bahwa ibunya itu bukanlah perpanjangan tubuhnya, bahwa ibunya memnpunyai perhatian dan kesibukan lain disamping dirinya: jerit & tangisnya, rontaan & rengekannya tak langsung membawa kepuasaan yang diberikan sang ibu. Ringkasnya, bayi mulai menyadari ada dunia obyektif di luar dirinya: dunia yang terpisah dan tidak di bawah kontrolnya. Dalam kaitannya dengan agama, ada gejala bahwa orang dewasa pun mempunyai religiusitas yang kekanak-kanakan: ia merasa bahwa Allah adalah ekstensi/perpanjangan dari dirinya; bahwa tugas Allah adalah memberikan “instant comfort & security.” Perlahan-lahan kita harus menyadari bahwa Allah itu lain dari diri kita dan tidak berada di bawah control kita. Ringkasnya, orientasi religiusitas kita itu mesti berubah dari “Terjadilah kehendakku” menuju “Terjadilah KehendakMu.” 2. Kemampuan Berbahasa Sekitar usia dua tahun, seorang anak menunjukkan kemampuan linguistic: mampu menguasai kata, kalimat, bahasa. Ia ingin mengetahui nama dari segala benda, aktivitas dan peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Penghayatan bahasa seorang anak itu bersifat “magis dan imperative.”. Bahasa itu bersifat magis kerna dirasa mempunyai kekuatan untuk menciptakan dampak tertentu. Sebuah boneka plastic bisa dirasa/dialami sebagai seorang Putri atau Malaekat kerna dinamai “Princess or Angel.” (eg. ponakan dengan angel-nya). Seorang bayi hanya bisa menikmati setangkai bunga dengan cara meremasnya sampai hancur. Namun dengan kemampuan linguistiknya, seorang anak bisa menikmati bunga dengan menciumnya sambil berkata: “Flower is nice and beautiful.” (rasa “nice & beautiful” itu diciptakan oleh kata!). Bahasa kanak-kanak juga bersifat imperative kerna melalui bahasa, ia bisa mengatur dan memerintah orang-orang di sekitarnya, khususnya di Indonesia yang banyak PRT. Bahasa mempunyai peranan yang penting dalam hidup beragama kerna melalui bahasa kita mencoba untuk berkomunikasi dengan Allah. Namun bahasa religius orang dewasa pun bisa kekanak-kanakan kerna bersifat magis & imperative: melalui doa, novena, ziarah etc, kita berusaha mengatur Allah agar IA melakukan apa yang kita inginkan. Bahasa menjadi sarana untuk mengubah hati Allah agar IA berat sebelah ke arah nasib & keberuntungan kita (dan jika tidak terjadi… kita lalu marah dan frustasi kepada Allah). Bahasa religius yang sejati itu tidak bersifat magis & imperative melainkan mempunyai cirri-ciri sbb: - ekspresif = curhat yang confidential - reflektif = membangun niat dan motivasi yang luhur-mulia - konsultatif = dialog dengan Allah untuk mencari pencerahan. Doa St. Fransiskus : « Ya, Allah, berilah aku keberanian untuk mengubah apa yang harus diubah ; kepasrahan untuk menerima apa yang tak bisa diubah ; dan kebijaksanaan untuk mengetahui perbedaan di antara keduanya. » - imploratif = aneka jenis doa permohonan Ringkasnya : bahasa religius yang sejati adalah sarana untuk mengubah diri sendiri, dan bukannya mengubah Allah. 3. Pembentukan Superego Antara usia 3-8 tahun, seorang anak terlibat dalam proses pembentukan superego melalui mekanisme internalisasi : ia merekam dalam batinnya segala anjuran & larangan, segala teladan dan kelakuan orang-orang penting yang berada di sekitarnya. Otoritas eksternal menjadi otoritas internal : ia tidak lagi merampas mainan adik bukan kerna dimarah bapa melainkan kerna ia sendiri merasa itu dindakah yang salah. Bila otoritas eksternal itu terlampau keras dan kaku (tak pernah minta keterangan dan pertimbangan), maka superego anak pun akan terasa sebagai « internal policeman » : tugas utamanya adalah mengawasi, membekuk dan menjatuhkan hukuman ! Dalam hidup beragama pun Allah bisa dipandang sebagai “the Great Superego” (= The Spying God). Akibatnya, orang bisa menderita depressi kerna merasa terus menerus diawasi dan diancam oleh pelbagai larangan dan hukuman. Patut diingat bahwa “image Allah” dari Kitab Suci itu mengambarkan Allah sekaligus sebagai “Hakim yang Adil & Bapa yang Baik.” Hakim yang adil adalah hakim yang tidak menjatuhkan hukuman dengan sewenang-wenang tetapi selalu meminta keterangan dan kesaksian terlebih dahulu. Bapa yag baik adalah Bapa yang selalu memberi tempat bagi rasa sesal dan ampun, memberi kesempatan pada manusia untuk belajar dari kesalahan menuju kebaikan. Tanpa image tentang Allah sebagai Hakim & Bapa ini, maka agama bisa menjadi sumber dari collective neuroses (Freud). C. Religiusitas Tahap Kaum Remaja-Muda Dua moment penting menandai dan mempengaruhi religiusitas kaum muda, yakni: penemuan dunia batin (the internal world) dan pengaruh dari pandangan ilmiah (scientific viewpoint). 1. Eksplorasi Dunia Psikis (Jiwa) Minat dan perhatian utama seorang anak itu terutama tercurah pada dunia fisik yang berada di luar dirinya. Ia asyik mengeksplorasi segala yang bisa diamati oleh pancaindranya. Mulai masa remaja (teenage), seorang anak mulai menemukan adanya dunia yang lain, yakni dunia psikis dalam dirinya sendiri yang sarat diisi arus perasaan dan angan-angan (feelings & fantasies). Ia mulai mengeksplorasi dunia psikis itu, tenggelam dalam lamunan dan bayangan; asyik dengan buku harian, blog, FB & Twitter etc. Dunia psikis kaum muda itu bersifat “moody, conflictual and confusing.” - moody = berubah-ubah, up-down, muncul dan hilang berganti tanpa bekas dan sebab yang jelas - conflictual = sekaligus diisi oleh feelings & fantasies yang berbeda-beda, bahkan bertentangan satu sama lain: cinta X benci, agresif & kooperatif, sepi & ramai, antusias & cuek etc. - confusing = bingung kerna merasa menjadi korban perasaan intensif yang tak bisa dikendalikannya: korban dari rasa sedih, murung, kecewa; bahkan dari rasa benci atau cinta yang tak kenal batas dan perhitungan (korban kerna “kecelakaan” = korban perasaan intensif). Ada bahaya bahwa dalam hidup beragama, kita menerapkan pendekatan yang legalistic terhadap dunia psikis kaum muda ini: do not, do not, do not: jangan membunuh, jangan mencuri, jangan gossip, jangan narkoba, jangan dugem, jangan masturbasi, jangan pornografi, jangan kumpul kebo etc. Akibatnya, penghayatan agama seseorang itu bisa menjadi fanatic atau munafik: - fanatic: menghantam segala gejala haram yang berada di luar diri kita kerna takut gejala itu akan menggoda dan membakar dorongan haram yang bercokol dalam jiwanya (eksternalisasi dorongan jahat dan haram) - munafik: hidup yang mendua dan berkedok public yang palsu (sembunyi-sembunyi). Pihak agama hendaknya membantu kaum muda mengolah dunia psikisnya hingga ia bisa melakukan beberapa tindakan berikut: - introspeksi (mawas diri): mengenali dorongan baik dan buruk yang bercokol dalam jiwanya hingga ia sadar bahwa segala tuntutan perbaikan dan perubahan eksternal itu harus mulai secara internal dalam dirinya sendiri: “Mengapa engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui.” Mat. 7:3-4). - empati: (sambung rasa): kemampuan untuk ikut menanggung dan menanggulangi kesalahan & kesulitan orang lain . Kisah Yesus tentang perempuan yang tertangkap basah berzinah: ”Siapa yang tidak berdosa, hendaklah ia melemparkan batu yang pertama.” Empati Yesus: Ia tidak melempar batu, sebaliknya membungkuk dan mengangkat wanita itu agar bisa bangkit dari kesalahannya.etc. - compassion (welas asih): banyak niat, motivasi, idealisme dan gerakan yang luhur dalam sejarah itu timbul dari rasa compassion = prihatin: perih-hati (Gandhi, Alabama Woman; we are the world: para artis juga bisa menjadi pejuang kemanusiaan, eg. Lady Di & A. Jolie etc). 2. Pendekatan Ilmiah Bangku sekolah dan universitas adalah tempat kaum muda berkenalan dengan dunia ilmu dan pendekatan ilmiah. Sering mereka bingung kerna serasa ada konflik antara iman dan ilmu. Tugas para ilmuwan dan teolog untuk mencoba melakukan dialog antara iman dan ilmu tersebut. Kendati demikian, dunia ilmiah memang mempengaruhi pola religiusitas kaum muda. Tiga kata kuncinya adalah: hipotesis, eksperimentasi dan probabilitas: - hipotesis: agama dan Allah tidak dirasa sebagai dogma yang mutlak tapi sebagai hipotesis hidup (the God hypothesis): keberadaan Allah dan manfaat agama bukanlah suatu kepastian yang perlu ditelan bulat-bulat tapi suatu dugaan yang perlu dipertimbangkan dengan cermat. - eksperimentasi: Kepercayaan akan agama tertentu itu dibuat berdasarkan eksperimen pribadi: pengamatan perilaku orang beragama, perbandingan teoritis & praktis antar agama, pengalaman pribadi (jangan heran lihat kaum muda bereksperimen dalam gereja & di luar gereja: seperti kutu loncat). - probabilitas (kemungkinan yang rasional): keyakinan religius dianggap sebagai suatu probabilitas, artinya: suatu kebenaran yang relatif, bukan absolut. Kebenaran yang dianggap absolut itu mengharamkan pandangan yang berbeda: lain = salah. Pandangan yang relative itu mengakui adanya skala kebenaran (& kesalahan: tak langsung total benar/salah) dan ada ruang bagi perbedaan. Penilaian yang final diserahkan kepada Allah semata. D. Religiusitas Tahap Dewasa Dewasa dalam konteks ini tidak ditentukan oleh kategori usia seseorang melainkan oleh kematangan rohaninya. Religiusitas yang dewasa itu bertumpu pada rasa fiducia (basic trust) akan nilai kehidupan: dalam kondisi apapun dan kendati apapun yang menimpa diri kita, kita itu tetaplah mahluk yang berharga & tercinta (valuable & loveable being) kerna Allah tetap mencintai kita. St. Aloysius berkata ”Ad Maiora Natus Sum” (born for something great): something great = untuk merasakan kasih Allah serta untuk meneruskan & menyebarluaskan kasih Allah tersebut dalam dunia. Fiducia adalah trust akan kasih ilahi tersebut! Sebetulnya, untuk setiap tindakan dan segala kegiatan sehari-hari, kita itu membutuhkan kadar fiducia (trust) tertentu. Setiap kali kita naik mobil/pesawat atau membuat kontrak tertentu, kita itu percaya bahwa pesawat itu akan membawa kita dengan selamat ke tempat tujuan, atau mitra kontrak kita akan menepati janjinya etc. Fiducia itu disebut ”basic trust” kerna obyeknya adalah totalitas kehidupan kita: dalam segala situasi dan trahapan hidup, hidup kita itu tetap berharga dan bermakna (juga sbg embrio kecil atau lansia uzur). Contoh berikut mungkin bisa menjelaskan arti dari fiducia tersebut. Pada suatu hari, Bunda Terasa dari Kalkula melihat ada seorang pengemis terbaring di selokan. Tubuh pengemis itu kotor dan sekujur badannya penuh dengan bisul yang bernanah. Bunda Teresa lalu membawa pengemis itu ke Panti Nirmala, dan merawatnya dengan seksama dan penuh kasih. Setelah tiga hari, pengemis itu akhirnya meninggal dunia. Namun sebeleum menghembuskan nafas, ia sempat berkata kepada bunda T: ”You are an angel. Selama hidup, saya sering diperlakukan sebagai binatang, lebih sial dan nista ketimbang anjing. Tapi bunda telah memperlakukan saya sebagai seorang manusia yang berharga. You are an angel. Trimakasih.” Mendengar itu, bunda T lalu berkata: ”No, it is you who are truly an angel.” Pengemis itu lalu meninggal dengan wajah yang tenang dan tersenyum. Beberapa hari setelahnya, suster2 lain murid BT bertanya kepadanya: Bunda, kami mengerti mengapa pengemis itu menyebut bunda sbg angel. Tapi mengapa bunda memanggilnya juga sebagai an angel?” BT lalu menjawab:” Coba kalian perhatikan. Pengemis itu sepanjang hidupnya sudah menderita, sekujur tubuhnya itu sungguh terasa sakit. Tapi ia bisa mati dengan tenang, masih bisa mensyukuri setetes kebaikan yang ia rasakan. Ia tidak marah dan benci kepada siapapun: tidak marah kepada Allah, kepada pemerintah, kepada nasib, kepada apapun dan siapapun. Hatinya bisa tetap merasa damai dan trimakasih. Itu sebabnya ia adalah an angel!” Dalam kisah itu,kita mendengar tentang tingkah dua malaekat. Sang pengemius yang tetap bisa merasa damai dan trimakasih dalam hatinya; dan BT yang memperlakukan pengemis itu sebagai insan yang berharga: sbg anak Allah yang tetap layak dicintai. Keduanya meradiasikan arti dari fiducia: percaya bahwa hidup itu tetap berharga dan pantas dicinta. “Lord, than You for life, love and people!” E. Penutup. Dari buku Paulus Winarto (HOPE, p. 50), saya baca lelucon bijak berikut: Apa perbedaan antara orang miskin, orang kelas menengah dan orang kaya dalam hal makan? - Saat makan, orang miskin akan selalu bertanya:”Besok apa kita makan?” (untuk makan hari ini saja sudah sulit didapat, beson entah makan atau tidak). - Orang kelas menengah sebaliknya akan berkata: ”Besok kita makan apa?” (maksudnya: apa menu dan preferensi makan kita besok? = makan = pilihan). - Orang kaya tipe A (serakah) akan bertanya: “Besok kita makan siapa? (soal ”acquisition”: besok kita bisa merampas peluang dan rejeki siapa?). - Orang kaya tipe B (murah hati) sebaliknya akan bertanya: ”Besok kita kasih makan siapa?” (artinya: besok siapa yang mesti dibantu?). Rasanya kita mesti berusaha menanamnkan mentalitas orang kaya tipe B itu kepada anak didik kita. Mungkin figur seperti Bill Gates bisa dijadikan sebagai contoh. Separuh dari hartanya dicurahkan ke dalam Yayasan Sosial Melinda Foundation: Melinda nama dari istrinya, dan ia pernah jadi anak didik sekolah suster ursiline di masa remajanya. We are born for something great and beautiful: for loving and being loved! Agus Rachmat osc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar