Senin, 10 April 2017

Pst Agus Rachmat OSC :Beriman Seperti Malaekat -Malaekat Kecil

Pengantar Dalam Kitab Suci, kita mengenal adanya kisah dan figur para malaekat. Mereka adalah utusan Allah, - the messengers of God-, pembawa pesan dan kekuatan ilahi ke dalam hati manusia. Misalnya, seorang malaekat tampil kepada Maria menyampaikan pesan bahwa ia dipilih menjadi Bunda Tuhan. Sekaligus malaekat itu menguatkan hati Maria agar ia jangan takut & gentar menanggapi panggilan ilahi tersebut. Demikian juga, pada saat Natal, muncullah rombongan malaekat yang menari dan menyanyi di langit yang terang berbintang untuk mewartakan bahwa bayi Yesus itu adalah Sang Mesias (Kristus), seorang bayi yang kelak akan menyelamatkan dunia dari bencana dosa, derita dan kematian. Dikisahkan juga bahwa malaekat datang melayani Yesus saat Ia digoda setan di padang gurun dan saat Ia mengalami pergumulan batin yang kritis di taman Getsemani: “Seorang malaekat dari langit menampakkan diri kepadaNya untuk memberi kekuatan kepadaNya.” (Lukas 22: 42). Malaekat di Taman Getsemani Siapakah malaekat itu? Apa peran dan sumbangan mereka bagi kehidupan rohani kita sebagai orang yang beriman? Malaekat adalah personifikasi dari relasi dan komunikasi yang intens di antara Allah dan manusia. Orang yang percaya akan malaekat adalah orang yang percaya bahwa Allah bukanlah Allah yang bisu dan bungkam, melainkan Allah yang terus bekerja dan berbicara sepanjang masa: Allah yang terus mencurahkan kekuatanNya dan menyampaikan pesan tentang KehendakNya kepada manusia. Pesan dan kekuatan ilahi itu masuk dalam kesadaran kita pada saat iluminasi: saat pencerahan batin. Iluminasi semacam itulah yang terjadi pada diri Yesus Kristus saat ia berada di taman Getsemani. Di tengah kegelisahan dan kegalauan yang melanda jiwanya tiba-tiba terbesit suatu kesadaran yang kuat & jelas (iluminasi) bahwa nasibnya akan berakhir di kayu salib; dan bahwa salib hidup itu akan segera menyergap dan mendera diriNya begitu Ia masuk kota Yerusalem. Kehadiran figur malaekat pada moment iluminasi itu menandakan bahwa kesadaran akan salib itu bukanlah sekedar kesimpulan logis dari pikiran Yesus semata mekainkan suatu pesan dan kekuatan ilahi yang tercurah kepadaNya. Allah seakan-akan berbisik di sanubari Yesus: “Ambillah salib itu kerna melalui salib itu, kasih dankuasa Allah akan menjadi nyata bagi dunia.” Malaekat menjadi tanda adanya kekuatan ilahi yang menyertai Yesus dalam perjalanannya memanggul salib menuju kebangkitan. Malaekat di Balik Badai Tsunami Malaekat adalah tanda (simbol) bahwa Allah terus bekerja mencurahkan pesan dan kuasaNya kepada manusia agar ia kuat menanggung salib kehidupannya sehari-hari dengan penuh iman dan harapan. Kehadiran malaekat semacam itu bisa dialami baik secara rohaniah maupun jasmaniah. Malaekat dialami secara rohaniah bila ia muncul melalui mimpi dan penglihatan batin (vision). Itulah yang dialami oleh pasangan Jusuf dan Maria dalam kisah Natal, misalnya. Namun malaekat itu bisa juga dialami secara jasmaniah dalam pergaulan dan perjumpaan kita dengan sesama manusia dalam kancah kesibukan hidup sehari-hari. Ada orang tertentu yang bisa berperan sebagai malaekat bagi kita, yakni orang yang menyampaikan pesan dan kekuatan ilahi agar kita bisa bangkit dari goncangan dan kegalauan hidup yang kita alami. Berikut adalah sebuah kisah bagaimana anak-anak bisa berperan sebagai malekat-malaekat kecil bagi para kurban gempa dan tsunami yang dahsyat yang menggoncangkan negri Jepang dua tahun yang lalu. Tiga bulan setelah bencana gempa dan tsunami, sekitar bulan Juni 2011, ada serombongan artis & seniman Jepang yang datang ke lokasi bencana guna menghibur para korban nyang tinggal di tempat penampungan darurat. Salah seorang diantaranya bernama Tatsua Ishi. Ishi adalah seorang komponis, pencipta lagu. Tugasnya adalah membuat sebuah lagu berdasarkan pengalaman dan perasaan anak-anak SD yang mengalami tsunami itu. Maka ia masuk ke dalam kelas empat sebuah SD yang jumlah muridnya sekitar 20 orang. Lalu Ishi meminta setiap anak untuk menulis satu kalimat yang mengungkapkan perasaan mereka saat dilanda tsunami. Berdasarkan kalimat-kalimat yang dibuat oleh anak-anak itu, Ishi lalu akan menyusun sebuah lagu lengkap dengan melodinya. Kerna itu semua anak lalu membuat kalimatnya masing-masing. Namun ternyata ada satu anak perumpuan yang tidak membuat kalimat apapun juga, layar laptopnya tetap kosong tanpa kata dan gambar apapun juga. Ketika Ishi bertanya kepada anak itu “Mengapa kamu tak menulis apapun juga”, anak itu tak menjawab sepatah kata pun, malah mendadak anak itu berlinangan air mata lalu menelungkupkan tubuhnya di atas meja dengan badan yang terguncang oleh rasa sedih yang mencekam. Ishi kemudian berkomentar demikian tentang peristiwa itu: “Laptop yang kosong dan airmata duka anak itu lebih menyayat hatisaya, lebih banyak berbicara kepada jiwa saya ketimbang semua kalimat yang ditulis oleh anak-anak yang lainnya. Semua anak itu sebetulnya mengalami sebuah tragedi yang sangat menakutkan, sebuah bencana traumatis yang tak sanggup mereka rumuskan dalam bahasa dan kalimat apapun juga!” Itu sebabnya (tadinya) dalam hati Ishi lalu merencanakan akan memberi judul “The Tears of Tsunami” (Airmata Tsunami) bagi lagu yang akan digubahnya itu. Setelah lagu dan melodinya lengkap dibuat, Ishi lalu kembali masuk ke kelas 4 SD itu. Untuk memancing kreativitas anak-anak, ia bertanya kepada mereka:” Apa judul yang paling tepat bagi lagu itu?” Lalu sama sekali di luar dugaan Ishi, anak perempuan yang tadinya menangis tanpa menulis apapun itu kini mengangkat tangannya! Setelah ditanya, anak itu lalu menjawab: “Baiknya, judul lagi itu adalah ‘Sekai ni arigato’ (Thank you for the world, Trimakasih bagi Dunia).” Ketika ditanya apa alasannya ia memilih judl itu, anak itu lalu menjawab: “Ketika kami sengsara, semrawutan dan kelaparan, saya melihat bahwa kami diberi bungkusan plastik makanan & minuman. Di setiap bungkusan itu, ada gambar bendera dan bahasa dari masing-masing negara pengirimnya. Saya lalu sadar bahwa kami tidak ditinggalkan sengsara sendirian. Ada banyak orang dari pelbagai penjuru dunia yang membantu kami. ‘Sekai ni arigato’, trimakasih dunia!” Mendengar penjelasan anak itu, Ishi lalu memutuskan untuk memberi judul ‘Sekai ni arigato’ bagi lagu yang digubahnya, bukan “The Tears of Tsunami.” Ia berkomentar berikut: “Entah kenapa, pada saat anak itu menyebut istilah ‘Sekai ni arigato’ dengan hati yang tulus, mendadak secara spontan muncul juga rasa trimakasih yang mendalam di hati saya, rasa trimakasih yang seperti fajar menyingsing perlahan-lahan mengusir rasa sedih dan frustasi yang tadinya mengganjal sebagai beban dalam hati saya!” Anak-anak nampaknya dianugerahi sensitivitas yang tinggi,kepekaan hati yang kuat dan tulus untuk mendeteksi adanya kebaikan dalam hidupnya, untuk merasakan dan menghargai anugerah kebaikan itu dengan ungkapan trimakasih yang jujur dan spontan. Dan anak-anak itu lalu berperan bukan hanya sebagai penerima kasih, melainkan juga sebagai penyalur kasih & trimakasih itu kepada orang-orang yang berada di sekitarnya. Pada masa krisis darurat tsunami itu, banyak anak SD & SMP yang diberi tugas untuk membagikan bungkusan-bungkusan makanan itu kepada para korban tsunami lainnya, khsususnya kepada para lansia yang banyak jumlahnya. Dengan riang, tertib dan bersemangat, anak-anak itu menjalankan tugasnya. Dan mereka itu bukan hanya membagikan makanan, melainkan juga menemani dan menghibur para lansia itu dengan aneka cerita, nyanyian dan tarian; dengan mengelus dan memijati bagian tubuh yang terasa pegal dan sakit kerna tidur di lantai bangsal yang kasar dan dingin. Kehadiran anak-anak itu di sekitar mereka, membangkitkan mental & moral para lansia itu: melalui anak-anak itu, para lansia yang menjadi korban tsunami itu bisa merasakan adanya denyutan kebaikan dan harapan yang terus bergetar dalam hati manusia di sepanjang sejarah. Seorang lansia menuturkan kesannya tentang anak-anak itu sebagai berikut: “The natural inclination of these children who faced disaster was to find goodness and hope even in the midst of it.” (Kecenderungan alamiah anak-anak yang mengalami bencana itu ialah menemukan kebaikan dan harapan bahkan di tengah drama bencana itu). Anak-anak tsunami itu sungguh berhati malaekat kerna mampu mendeteksi dan menghargai kebaikan di tengah tragedi kehidupan, dan menyalurkan kebaikan itu kepada orang yang berada di sekitarnya hingga mereka bisa bangkit dari rasa hampa dan putus asa. Mereka seakan-akan menjadi duta atau utusan Allah yang menyampaikan pesan religius bahwa kendati segala trauma sejarah dan tragedi alam, kasih & kuasa Allah itu tak akan pernah meninggalkan manusia melata dalam penderitaan dan keputusasaan. Penutup Terdapat sebuah lagu anak-anak Indonesia yang sederhana tetapi mempunyai pesan dan nuansa religius yang mendalam, yakni lagu “Kasih Ibu,” karangan ibu Soed alm. Kira-kira lagu itu berbunyi: “Kasih ibu kepada beta/ tak berhingga sepanjang masa./ Selalu memberi, tak penah kembali./ Bagai sang surya menyinari dunia.” Orang yang berhati seperti malaekat akan langsung merasa bahwa dalam lagu itu, kasih ibu kepada anaknya itu bukan hanya melambangkan kasih matahari kepada bumi melainkan juga kasih Sang Pencipta kepada semesta ciptaannya: Selalu memberi, tak pernah kembali! Kasih semacam itulah yang diperagakan Yesus saat itu tergantung di salib di puncak tengkorak, bukit Golgotha. Dan hanya orang yang berhatri seperti malaekat jugalah yang bisa mendeteksi arus kasih itu terus beredar dalam dunia di segala jaman, lalu berusaha merawat alam ciptaan berikut segala penghuninya agar bisa keluar dari lingkaran krisis dan tragedi. Agus Rachmat OSC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar