Senin, 04 Maret 2013

Jerat Dansa

Sebenarnya saya tidak banyak berfikir macam-macam saat saya memutuskan untuk belajar dansa hampir setahun yang lalu. Saya mengajak suami saya, Andy untuk belajar waltz, hanya gara gara kami ingin menghadiri pernikahan anak dari seorang sahabat baik kami di Bali. Andy menyambut baik ajakan saya. Tanpa pikir panjang kami pun berlatih di Bale Pertemuan Bumi Sangkuriang, sebuah heritage club house yang menyediakan fasilitas latihan dansa. Sudah hampir duapuluh lima tahun kami menjadi anggota club house ini. Fasilitas yang belum kami coba dari dulu adalah latihan dansa. Semua fasilitas olahraga yang lain tentu sudah kami nikmati, sejak masa anak anak bertumbuh dan berkembang di Bumi Sangkuriang yang kami cintai. Diantaranya tenis, nonton film bareng, fitness, senam, bilyar serta beberapa pengenalan budaya dan seni lainnya.
Kejar Target
Sebenarnya sudah lama kami mengetahui ada latihan dansa di Bumi Sangkuriang. Bahkan Ballroom Nite Bumi Sangkuriang yang diadakan setiap Jumat malam sudah sangat dikenal sejak zaman Opa Oma kita dulu, yang hingga kini tetap dipertahankan sebagai sebuah trademark di Bumi Sangkuriang. Meski demikian, dansa adalah satu-satunya aktivitas yang belum pernah kami coba. Mungkin ini disebabkan karena belum ketemu momentum yang pas saja. Jadi kembali ke peristiwa wedding tadi yang akan kami hadiri, itu sepertinya sebuah titik awal bagi kami untuk berlatih dansa. Sehingga peristiwa ini seperti “proyek kejar target” bagi kami. Artinya dalam waktu sebulan, kami sudah ingin bisa berdansa secara basic.
Motivator
Sebenarnya hampir lebih dua tahun yang lampau, Pak Koko Darmawan Saputra, kini salah satu pengurus Bumi Sangkuriang, yang sudah kami kenal di lapangan tenis, tak henti hentinya selalu mengajak untuk berlatih dansa pada setiap ada kesempatan jumpa. Saya sungguh kagum dengan keberhasilannya di lantai dansa. “ Pak Koko aja yang mantan petinju bisa jadi pedansa, masak saya ga bisa ya?”, demikian gurau saya setiap jumpa dengannya. Namun diam diam sebenarnya saya tetap penasaran yang disertai decak kagum ketika melihat ia berdansa dalam salah satu acara Bumi Sangkuriang.
Saat itu saya pun tidak tahu, saya mau belajar tarian apa. Meski saya pernah mendengar istilah tarian Ballroom, namun saya tidak faham pada saat itu tarian apa saja yang masuk kategori ballroom tersebut. “ Pokoknya saya mau belajar nari lagu ini”, demikian tukas saya pada Denny, salah satu pengajar di Bumi Sangkuriang sambil memperdengarkan CD lagu Waltz. Pak Koko teperanjat juga ketika melihat kami ujug ujug datang “menyerahkan” diri untuk latihan.
Selanjutnya dari nol kami belajar basic step dari tarian waltz ini. Wah..jangan ditanya apa rasanya, hampir putus asa juga sih …karena gerakan nya di ulang-ulang dan tak membuahkan hasil seperti yang diinginkan. Namun Denny dan bu Mey Mey, pakar guru dansa di BS, tetap memberikan semangat dan contoh tak henti-hentinya. “Aduh, sakit pinggang nih!”, keluh Andy, suami saya sambil menyeka keringat yang bercucuran. Demikian pula halnya pada diri saya. Saya tetap memberi semangat pada Andy, karena emang saya yang ngajak awalnya. Padahal saat itu saya juga berfikir mau udahan aja, karena rasanya ga maju maju dan badan serba kaku dan sulit membuat gerakan gerakan yang diinginkan.
Tak Tahu Dalamnya Lautan
Ketika tiba saatnya acara wedding di Bali, kami sudah sedikit menguasai teknik dasar yang 18 step itu. Ya..sedikit lega juga. Namun saat itu, saya ibaratnya belum mengetahui “dalamnya lautan”. Saya kira itu sudah semuanya tentang waltz..Ternyata saya keliru!!! Rupa-rupanya, belakangan baru saya sadari bahwa saya baru berada di tepian, sehingga kami masih jauh banget dari riak gelombang di pinggir pantai sekalipun. Akhir akhir ini, makin saya berlatih, rasanya makin banyak saja yang belum saya ketahui. Dan perlahan segalah teknis dasar yang sudah diketahui sebelumnya, makin diperhalus dan semakin dipoles.
Usai acara pernikahan, rasa penasaran sedikit demi sedikit mulai muncul seiiring dengan rasa kagum tentang pak Koko tadi mulai “mengganggu” saya kembali. “ Masak pak Koko bisa, kita ga bisa?”, gurauan antara kami kembali mengiang. Oleh sebab itu kami memutuskan untuk tetap berlatih terus. Ini adalah sebuah keputusan yang tak saya sesali kemudian. Selain berolahraga yang mengakibatkan keringat sangat hebat, ada keindahan yang dirasakan di sela sela setiap gerakan, yang menyusup ke dalam kalbu. Tak terlukiskan, namun bisa dirasakan..
Koneksi Pikiran Dan Otot
Sejurus berselang, saya ingin mencatat beberapa hal yang saya pelajari dalam proses belajar berdansa ini. Saya menemukan banyak hal baru diluar pelajaran teknik yang saya dapatkan. Sebagai pemula, memang kita harus siap “diisi” dengan segala teknik dasar yang kadang sangat membosankan, karena badan kita memang belum “menurut” seperti apa yang kita ingin kan di pikiran. Kita tahu apa yang musti kita kerjakan untuk menghasilkan gerakan yang dicontohkan. Namun “perintah” tersebut tidak “nyampe” kepada otot kita. Persoalannya menjadi bagaimana kita mampu untuk “meletakkan” pikiran kita pada otot kita, sehingga koneksi yang terbentuk itu, melalui latihan rutin akan menjadi semacam reflex yang spontan.
Sedikit demi sedikit, koneksi ini akan terbangun. Ketika hal ini sudah teratasi, latihan seakan menjadi lebih ringan. Tak urung semangat untuk bisa berdansa dengan baik dan benar tetap harus dipupuk bersama-sama dengan anggota komunitas dansa BS. Hanya melalui komunitas ini, kendala yang kita hadapi bisa kita bicarakan sehingga kita bisa mendapat masukan masukan yang berarti.
Ilmu Hidup
Selain masalah teknik yang saya sebutkan diatas, ternyata masih ada hal psikologis dan filosofis yang ternyata merasuk juga ke dalam dunia dansa. Dalam berdansa, secara otomatis sebenarnya kita membangun sebuah kedekatan dengan partner dansa kita. Sebagai lady, kita harus mampu membaca gerakan apa yang diinginkan oleh partner dansa kita. Artinya kepekaan kita dalam proses ini diasah. Kita tidak boleh mendahului dalam membuat gerakan tertentu. Tetap pedansa lelaki adalah leadernya dalam memainkan melodi tarian tersebut. Oleh sebab itu, dalam berdansa ballroom, tubuh bagian atas( sedikit dibawah dada)harus nempel pada tubuh bagian atas partner kita. Ibaratnya seperti engsel pintu yang bisa bergerak kian kemari, namun tak lepas dalam perubahan arah maupun gerak tarian. Ketika diamati, tempelan tubuh dua pedansa membuka keatas seperti huruf V. Dengan demikian, koneksi antara dua tubuh akan menghasilkan gerakan terpadu membentuk sebuah formasi yang harmonis.
Seperti pada umumnya banyak komentar yang datang dari non pedansa, yang sedikit bernada miring jika kita tidak berdansa pada pasangan hidup, memang bisa dimaklumi. Namun sebenarnya pada kenyataan, kedekatan itu tidak timbul akibat kedekatan fisik itu semata. Banyak hal hal diluar itu yang memungkinkan segala kemungkinan bisa terjadi, sama seperti halnya juga relasi di luar dunia dansa yang kerap rentan pula terhadap hal hal yang berbau sensualitas dan romantisme.
Karena jika kita secara serius berlatih dan berkonsentrasi pada gerakan tertentu, fokus kita tentu pada bagaimana caranya agar gerakan itu berhasil dengan baik. Itu saja.
Pelajaran apa yang bisa kita dapatkan saat bagaimana seorang pedansa memperlakukan ladynya, ini juga merupakan hal yang patut kita cermati. Saya tidak ingin berlarut dalam persoalan teknis, namun saya ingin menyorot dampak psikologisnya. Seorang pedansa yang baik akan mempersilahkan ladynya untuk beraksi pada saat yang tepat. Disini terjadi transaksi take and give. Mereka akan silih berganti seiring dan sepakat dalam melangkah dan mundur. Dari sisi filosofisnya, manfaat nilai yang sama tersebut terjadi dalam kehidupan sehari –hari di dalam membangun kehidupan yang nyata. Saling asih, asah dan asuh.
Untuk menghasilkan gerakan yang sempurna, tak mungkin jika kita mau menangnya sendiri melangkah tanpa memperdulikan atau mempersilahkan langkah partner kita untuk mendahului ataupun menunggu kita. Disini diperlukan koordinasi yang baik dalam mengasah kepekaan bersama yang diperlukan. Pelajaran berharga dalam seiring sejalan di dalam kehidupan berumah tangga.
Disamping itu, seberapa besar langkah yang kita ambil, sewajarnya menjadi pedoman bagi partner kita untuk mengimbanginya, meski itu ada kalanya terlalu besar ataupun terlalu kecil putarannya. Disini kita ditemukan dengan peran solidaritas yang juga kita temui dalam nilai kehidupan di masyarakat. Hal ini dilakukan bukan hanya demi sebuah bela rasa yang ingin dicapai, namun juga untuk menjaga sebuah stabilitas gerakan dansa yang sudah direncanakan. Secara filosofis, ini adalah sebuah teamwork yang membutuhkan sebuah kesatuan, meski masing masing pedansa melakukan kewajibannya sendiri sendiri. Rasa ini perlu kita asah pula dalam menjalin pertemanan dan relasi dengan siapapun.
Hal lain yang saya dapatkan dari pelajaran berdansa adalah dimana kita berhasil merefleksi diri kita dari cermin yang terpantul dari gerakan yang dihasilkan oleh partner kita. Dalam gerakan gerakan tertentu, kita mengimitasikannya, sehingga itu menjadi sebuah gerakan yang seirama, sebentuk, tapi berbalik arah bagi diri kita sendiri. Dalam arti konkretnya, apa yang kita dapatkan dari partner kita sebenarnya adalah hasil feed back/”bayangan” yang dipantulkan oleh diri kita sebelumnya. Makna filosofisnya, apa yang kita beri pada partner hidup kita, itulah yang kita dapatkan kembali. Dalam kata bijaknya, kira kira berbunyi demikian: Apa yang kamu beri, itulah yang akan kamu dapatkan. Selain itu, pada akhirnya tentu menghasilkan ringan sama dijinjing, berat sama dipikul, bila distribusi tenaga dua pedansa untuk menghasilkan sebuah gerakan yang terpadu, telah terbagi berimbang
Makin saya amati, berdansa ini makin menarik, karena selain olah fisik yang membuat kita makin bugar, dansa sarat akan nuansa nuansa ilmu kehidupan. Itulah mungkin salah satu sebab mengapa saya makin cinta saja pada olahraga ini. Disamping itu, satu aspek lain yang ingin saya tambahkan adalah, rasanya tidak ada cara lain yang lebih optimal dalam menghayati sebuah musik, selain dengan berdansa! Ketika kita berdansa, musik yang kita dengar seolah-olah mencapai klimaks nya bak sebuah orgasme, saat kita mampu mengekspresikannya dalam sebuah gerakan tubuh yang seirama dan “senyawa” dengan alunan lagu yang sedang kita nikmati tersebut. Sensasi ini terjadi berulang –ulang, dan berbeda beda nikmatnya seiring dengan perubahan alunan irama, kata-kata yang dinyanyikan dari lagu, maupun suasana yang dihasilkan oleh lagu tersebut.
Ada kalanya, suasana hati kita bisa menjadi melankolis, romantis, namun tak urung seketika bisa berubah menjadi dramatis atau riang gembira. Sensasi ini yang saya kira bisa membuat seseorang refresh sejenak dari rutinitas sehari hari. Hal ini tentunya mempengaruhi seluruh system yang ada di tubuh. Jika ada yang mengatakan bahwa dengan berdansa, sesorang akan awet muda, mungkin ada benarnya, karena olahraga ini tidak hanya membentuk fisik, namun juga jiwa dan pikiran.
Mari tetap berdansa!
5/3/2013 ( Rosiany T Chandra)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar