Sabtu, 14 Mei 2011

Dari Gereja Di Lampung Hingga Madura




Pukul lima dini hari, Suster perawat Inge baru tiba di asrama keperawatan St Borromeus di Jl Suryakencana, Bandung. Ia baru saja turun dari bis malam, usai berlibur di Yogyakarta. Ia bergegas, karena harus segera dinas di Ruang Operasi RS St Borromeus subuh itu. Tatkala ia meloncati tapak landasan menuju lantai atas berikutnya, ia terpeleset ”Bruk…….!!”

Sesaat kemudian, tubuhnya pun tergeletak di lantai, terbanting dari ketinggian kira-kira enam meter ke bawah. Suara kegaduhan yang ditimbulkan, memecah keheningan dini hari itu. Seorang rekan yang bersamanya, segera berteriak minta tolong dan mengambil tandu dari rumah sakit Borromeus yang terletak di seberang asrama. Tak lama kemudian Suster Inge menjadi pasien rumah sakit ini, tempat dimana ia mengabdikan hampir seluruh usia produktifnya sebagai perawat.

Ia masih ingat betul, hari yang naas itu adalah tanggal 10 Oktober 1977. Selama 7 minggu ia bergelut dengan rasa sakit, setelah mengalami fraktur impressi pada tulang torakal dan lumbal serta servikal dari tulang lehernya. Ketika itu secara sadar ia tidak mau di operasi karena faham akan akibatnya berdasarkan pengalamannya selama tigabelas tahun sebagai suster kepala kamar bedah RS St Borromeus. Kendati sudah dinasehati oleh rekan dokter yang mengobatinya agar menjalani operasi, ia tetap memilih terapi teraksi, yakni sebuah terapi yang mengembalikan posisi tulang seperti semula oleh seorang dokter rehabilitasi medik.

Ditengah pergumulannya dengan rasa sakit dalam masa bedrest , ia berdoa dengan perasaan yang amat sedih. “ Sambil tersedu saya bilang pada Tuhan, ketika saya bekerja di ruang operasi, sering saya menerima pasien sudah dalam keadaan setengah sadar. Ketika pasien belum sadar betul dan tidak mampu mengucapkan terima kasih, saya tidak pernah pamrih dan tidak berharap apapun dari mereka, kecuali semata-mata hanya kesembuhan dari pasien yang saya tolong” tuturnya dengan lirih. “ Bapa, saat ini saya sangat kesakitan, kog saya diberi derita yang seperti ini?” jeritnya dalam salah satu doanya.

Melalui beberapa saat hening di ruang rawat inap yang berminggu ia lewati, ia melanjutkan doa-doanya : “ Tuhan Yesus, saya tidak mengharapkan apa apa dari Engkau, jika Engkau masih menghendaki aku bekerja sebagai perawat seperti sebelumnya, tolong berilah aku pemulihan seperti sedia kala”. Itulah satu-satunya permohonan yang ia ulangi dalam setiap doa-doa yang didaraskan.

Selepas masa perawatan, ia mendapat cuti selama satu bulan. Waktu ini ia pergunakan untuk berkeliling dari satu gereja ke gereja lainnya. Konon ada yang mengatakan padanya, jika seseorang datang mengunjungi gereja gereja yang belum pernah dikunjungi, ia boleh memohon tiga permintaan di gereja gereja itu yang bisa dikabulkan. Ziarahnya berawal dari arah barat, gereja di Lampung sampai ke arah timur, Surabaya dan Madura. Walau ada tiga permohonan yang bisa disampaikan, Suster Inge tetap hanya menyampaikan sebuah doa permohonan yang ia ulangi berkali–kali setiap masuk ke gereja baru : ”Sembuhkan saya ya Bapa seperti semula, agar saya mampu bekerja kembali seperti sedia kala”

Tiga bulan kemudian, ia pulih dan kembali bertugas di kamar operasi setelah sebelumnya, beberapa saat ditempatkan di bagian administrasi roentgen sebagai masa transisi. Beberapa minggu bertukar peran sebagai pasien, telah membuatnya lebih memahami akan kebutuhan pasien yang bukan hanya mengharapkan sebuah pelayanan medis saja, melainkan juga akan sentuhan kasih sayang perhatian pada saat seseorang tergolek lemah tak berdaya.

Pernah Bercita-Cita Jadi Dokter

Suster Inge Irawati lahir di Purwokerto 74 tahun yang silam. Sejak kecil ia bercita-cita ingin menjadi seorang dokter. Namun karena keterbatasan biaya, keinginan ini terpaksa dilupakannya. Keinginannya berkarir di bidang medis terwujudkan ketika ia diterima sebagai siswa Sekolah Pengatur Perawat RS St Borromeus pada tahun 1961 dan lulus pada tahun 1964 dengan Cum Laude. Ia menempuh masa pendidikan dibawah bimbingan salah satu direktrisnya, alm Sr biarawati Angelbertha CB yang terkenal sangat disiplin serta menerapkan pola kedisiplinan ini pula kepada murid-muridnya baik di sekolah maupun di asrama tempat mereka tinggal. Pedoman dasar kedisiplinan ini berpengaruh kelak dalam keseharian suster Inge. “Suster Inge orangnya jujur, disiplin baja, kerja keras tak kenal waktu, tapi hatinya lembut dan mau menghargai orang lain!”, demikian tutur salah satu mantan rekan kerjanya, dr. Kuswardono.

Setamat dari sekolah perawat, ia menjalani ikatan dinas selama satu tahun di RS St Borromeus dan dilanjutkan kemudian di berbagai tempat, dari bidang internis, bedah, UGD dll sampai menjadi suster kepala kamar bedah hingga tahun 1983. Karirnya menanjak terus ketika pada tahun yang sama, ia diangkat menjadi Kepala Bidang Perawatan, yang menjalankan fungsi wakil direktur perawatan hingga masa pensiunnya pada tahun 1993. Karena tanggung jawab dan loyalitas pengabdiannya sudah teruji beberapa dekade, ia dikontrak kembali selama enam tahun hingga 1999.

Tetap Bersemangat Di Usia Senja

Dari awal masa pensiun hingga kini, ia tetap ingat akan permohonan doanya yang dikabulkan Tuhan. Ia tetap ingin bekerja melayani sesama. Di Yayasan Dharma Ibu, selama dua periode (2000-2007) ia mengurus bagian pendidikan serta mengelola keuangan koperasi Lestari milik yayasan. Sebelum memasuki masa pensiun pun, pada tahun 1993 ia sudah aktif sebagai anggota Lions Club, organisasi internasional yang bergerak dibidang sosial. Selain itu , disela sela pekerjaannya, ia masih sempat berlatih untuk mengisi paduan suara di parokinya, Hati Tak Bernoda Santa Perawan Maria, Buahbatu-Bandung. Disini, kembali ia dipercaya sebagai bendahara koperasi Surya Kasih dari tahun 2000 hingga sekarang.

Dengan senyum khas di bibirnya, Suster Inge tetap semangat dalam setiap pelayanan yang ia lakukan. Sebulan dua kali, ia merebus sejumlah telur untuk dibagikan di posyandu kepada balita-balita sebagai program penambahan gizi dari Lions Club Bandung Lestari. Dengan tertatih–tatih dan dibantu dengan sebuah tongkat penyangga, ia tetap semangat siap berangkat, jika jadwal pembagian tiba. Setiap balita yang mendapatkan bingkisan tersebut darinya, disapanya dengan penuh cinta kasih.

Hingga masa tuanya, ia tidak pernah berkeluarga, walau mengalami beberapa kali masa pacaran. Ketika ini ditanyakan, apakah ia menyesali keputusannya untuk hidup sendiri. Ia mengatakan bahwa, di masa mudanya, kesempatan itu hilang begitu saja, dimana salah satunya akibat ia tetap harus berjaga stand by di kamar bedah, ada atau tidak ada pasien yang hendak di operasi. “Nyaris tidak ada waktu bergaul yang tersisa tempo itu” ujarnya . “Tenaga medis yang tersedia kala itu tidak sebanyak yang tersedia sekarang” sambungnya dengan sorot mata yang ramah.

Walau tenaga medis bertambah, ia mencermati bahwa nilai nilai spiritual yang mendasari pelayanan ini kini kian memudar. “Cinta kasih yang tercurahkan kepada pasien mutlak harus tetap terpelihara”, pesannya. “Jangan sampai ditengah penambahan fasilitas, terjadi penurunan kualitas”, demikian lanjutnya dengan mimik serius.
Kesendiriannya kini tidak pernah ia sesali, karena beragam pelayanan yang ia berikan telah memaknai titian kehidupannya sembari menorehkan aneka warna pelangi bagi semangat hidupnya.

Rosiany T Chandra(dimuat di majalah HIDUP Nr 20, 15 Mei 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar