Sabtu, 14 Mei 2011

Pria Yang Ku Cinta



Masih dengan keringat bercucuran, aku membuka sarung tangan dan topi helmetku. Sinar mentari pagi yang terik membakar wajahku. Namun sepoi angin yang berhembus, sedikit menghalau gerah dan kegalauan hatiku. Aku berjalan ke arah dapur sederhana yang ada di ujung deretan kandang - kandang kuda. Ku seduh secangkir kopi pekat disana. Sambil menunggu air mendidih, mataku memandang ke arah kuda yang baru saja selesai kutunggangi. Aku kembali menghampiri mereka sambil menyuapkan wortel ke mulut si Drago yang dengan rakus melumatnya.

Drago, kuda kedua yang kutunggangi pagi itu. Mereka harus dipanasin setiap harinya , agar stamina dan kelenturannya tetap terjaga. Sambil menyeruput secangkir kopi hitam kesukaanku, aku berjalan menuju ranjang ayunan yang tertambat diantara dua pohon kembar yang berada tak jauh dari deretan kandang kuda. Kurebahkan diriku ke dalamnya. Amat nikmat terasa..

Pikiran ku melayang ke kontak FB tadi malam dengan salah seorang sahabat SMA ku. Heri bercerita bahwa Marcus telah kehilangan istri tercintanya, Vera saat melahirkan sepuluh tahun yang silam. Marcus, Vera, Heri dan yang lainnya adalah sahabat masa kecil ku. Selain akrab di sekolah semenjak SD hingga SMA, kami juga aktif sebagai misdinar di gereja yang letaknya bersebelahan dengan gedung sekolah kami. Vera dan Marcus memang sudah berpacaran sejak kelas I SMA. Usai tugas misa, biasanya kami masih berkumpul di belakang gereja sampai sampai pastor paroki seringkali ikut bergabung juga dalam permainan apa saja yang kami ciptakan bersama. Aku masih ingat, Heri sempat belajar mengemudikan mobil di halaman belakang parkiran gereja dengan komando Marcus yang belum mahir benar mengemudikan mobil ayahnya. Saat Vera dan Marcus menjalani pedekate, kami ikut usil menggoda mereka.

Marcus, sedikit berbeda dengan pemuda lain yang ku kenal saat itu. Ia putih, kurus, sensitif, pendiam namun murah senyum. Jika masa rekoleksi atau retret tiba, Marcus orang yang selalu bertanggung jawab dalam acara beres-beres, memasak dan mengemas segala perlengkapan lainnya. Dandanannya rapi dan selalu wangi. Jari jemarinya panjang dan terawat rapi. Selain itu ia seorang pemuda yang selalu mendengar, apapapun keluhanku. Kami bersahabat dekat waktu itu. Kendati tidak berkata banyak, namun jika sampai pada satu topik yang ia sukai, berjam –jam ia bisa bercerita dari sisi pengamatannya yang khas. Berbeda dengan diriku yang tomboy, cenderung kelelaki-lakian dan suka olahraga berkuda, diam diam aku menaruh hati padanya. Kiranya magnet perbedaan ini mempesona hatiku. Tiap minggu aku makin rajin ke gereja untuk bisa tugas bersama. Aku jatuh cinta padanya.

Dua dasa warsa telah berlalu, namun dalam setiap regukan kopi hangat pagi ini, ia telah menceritakan banyak tentang episode cintaku..
Tidak seorangpun tahu akan rahasia hatiku. Bukan zamannya pada saat itu mengumbar status di jejaring sosial. Kala itu terbersit juga keinginanku untuk menyampaikan padanya. Namun tak umum rasanya, seorang gadis mengutarakan apa yang ia rasakan pada saat itu. Lagipula, ia sudah amat dekat dengan Vera yang ditaksirnya. Bahkan ia sering men sharing kan dengan ku taktik pedekate nya yang tak dihiraukan oleh Vera. “ Karin, tolongin aku dong, bilangin Vera, jangan cuek- cuek amat!”, pinta Marcus kepada ku satu hari. Hatiku kecewa saat itu dan sedih juga sekaligus. Sebagai seorang sahabat yang baik kepada Marcus, tentu aku tak mau merusak pertemanan ini dan tetap menampilkan diriku yang siap menolong Marcus dan Vera.

Setelah mereka jadian, aku masih tetap menikmati kedekatan kami, walaupun dari waktu ke waktu terselip rasa bersalah. Sejurus dengan itu aku juga merasa lelah untuk mengalah. Marcus telah memilih hati dimana ia akan berlabuh. Dari tuturan Marcus maupun Vera, aku mengetahui mereka saling mencintai...

Rasa cinta itu masih kubawa selepas SMA. Tidak banyak yang kutahu lagi semejak kami kami berpisah. Panggilan yang sempat muncul pada saat aku masih SMP, datang lagi. Atas restu ibu bapak ku, aku berangkat ke Surabaya dan masuk salah satu biara disana.
Seiring waktu, aku menikmati suasana kehidupan religius disana. Tanpa kusadari, aku mengalami hal aneh di dalam diriku yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Perasaan ini muncul saat aku bergaul erat dengan salah satu suster disana. Satu hari, ketika tanganku tanpa sengaja bersentuhan dengan jemarinya, ada rasa mendesir yang berkecamuk didalam darahku yang membuatku berani untuk selanjutnya meletakkan jemariku dibalik jubahnya. Rupanya perbuatan tak senonoh ini telah dilaporkan kepada suster kepala biara. Tak pelak, esok harinya aku diminta untuk segera mengundurkan diri. Dengan rasa penyesalan yang mendalam, aku memohon ampun dan meminta maaf atas kejadian yang terjadi. Saat itu juga aku mengundurkan diri dalam rasa terpukul serta malu pada diriku sendiri.

Angin sepoi sepoi masih mengeringkan sisa keringatku di dalam buaian ayunan ini. Sebentar lagi murid-murid ku yang belajar menunggang akan tiba. Sudah hampir delapan tahun, bersama Vic, aku mengelola stable berkuda ini. Aku kembali menekuni hobbyku, sebagai profesi yang ku suka.

Pikiran tentang Marcus masih bermain dibenakku. Aku iba padanya yang telah ditinggal pergi istrinya. Aku masih mereguk tegukan terakhir dari cangkir kopiku. Lamunanku seketika buyar, ketika dari jauh kulihat murid-murid sudah berdatangan menghampiri.
Ketika aku menyiapkan segala sesuatunya, groom ku mengatakan ada seseorang yang ingin menemuiku untuk menanyakan tentang perihal sekolah berkuda ini. Aku berjalan ke arah sosok seseorang yang berperawakan kurus. Ia sedang membelai-belai kuda dan membelakangiku. “ Selamat siang , pak”, sapa ku padanya. Ia membalikkan tubuhnya. Aku amat terperanjat. “ Marcus?” Masih dalam keadaan terperangah…
Sesaat kemudian, kami berhamburan dalam pelukan dan pekikan riang gembira, sembari tak mampu berkata –kata.
“ Kamu ngapain disini?” tanyaku. “ Seseorang mengatakan bahwa tempat berkuda disini, aku bawa anakku yang ingin berkuda” katanya dengan polos.
Sorot matanya masih seperti dulu. Ia masih Marcus yang sensitif dan pendiam. Namun dari bahasa tubuhnya, aku menangkap bahwa ia senang bertemuku kembali. Aku pun demikian.

Vic, dari jauh memanggilku. Suaranya memecahkan keheningan yang terjadi diantara kami. Vic, memang orang yang sudah delapan tahun mendampingiku. My Victoria, wanita yang kucintai. Aku telah memilih hidup bersamanya dan nyaman bersamanya. Kupandangi Marcus sekali lagi sebelum aku beranjak mengajar, dia lah satu –satunya pria yang ku cinta!(Rosiany T Chandra)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar