Rabu, 23 Mei 2012

Lilin Ke Enam

Lieke panik di depan counter check in Bandara Chang I, Singapura. Rupanya e ticket ke Sydney yang ia pesan melalui internet tidak tercatat oleh system computer penerbangan. Entah mengapa itu terjadi, tidak dapat dimengerti oleh Lieke saat itu. Padahal ini adalah ke sekian kalinya ia mondar mandir antara Bandung dan Sydney dengan tiket elektronik tersebut.
Lieke terpaksa pindah antri ke counter penerbangan lain untuk membeli tiket baru. Sore itu ia baru saja transit beberapa jam dari Bandung. Untung antrian yang baru tidak seberapa panjang, sehingga tak lama kemudian, ia pun dilayani oleh seorang petugas yang ramah. “ Semoga saja masih ada tersisa satu seat untuk ke Sydney”, gumamnya dalam hati. Sambil menanti petugas mencermati layar komputernya, Lieke menyibakkan anak rambut yang menggerai di pelipisnya sambil menghela nafas panjang. Sejurus itu, sorot matanya menyapu antrian yang ada di sampingnya. Tatapannya sesaat beradu pandang dengan seorang bule yang antri persis di counter sebelah berikutnya. “Your ticket madam”, suara petugas itu sontak membuat Lieke segera memutar kembali tubuhnya yang atletis semampai. Raut wajahnya menyiratkan kelegaan dan kegembiraan, ketika petugas menyodorkan lembar tiket yang ia harapkan. “ Oh..great!..thank you”, ujarnya hampir berteriak. Setelah menyelesaikan pembayaran, Lieke segera bergegas menarik kopernya, sambil berlari kecil. Tak banyak waktu yang tersisa lagi. Panggilan boarding yang menyebutkan nomer penerbangannya sedang berkumandang dengan aneka bahasa.
Dengan nafas masih terengah, ia sudah mencapai mulut perut pesawat. Seorang pramugari menebarkan senyum termanisnya. Menemukan seat yang dituju, Lieke dengan sigap membungkuk dan mengambil ancang-ancang untuk mengayunkan kopernya keatas tempat bagasi. Ketika koper masih setengah mengudara, sebuah tangan kekar menangkap koper tersebut dan segera mengantarkannya ke kabin bagasi yg tepat berada diatas kepala Lieke. Sedetik Lieke terperanjat dan tak melihat sosok wajah si empunya tangan kekar. Liekepun segera berpaling dan secara reflex sambil tersenyum lebar menatap ke arah si bule tadi yang telah bermurah hati menolongnya. Kali ini si bule membalas senyuman Lieke ditambah sorot mata yang ramah.
Seperti banyak perkenalan yang diceritakan di novel-novel, mereka pun akhirnya duduk bersebelahan menuju Sydney. Percakapan dimulai dengan basa basi dan sapaan ramah tamah biasa. Akhir-akhir ini Lieke memang tidak terlalu terbuka dalam pergaulan akibat kegagalan perkawinannya empat tahun yang lalu. Sakramen perkawinannya enam tahun silam, masih meninggalkan luka yang mendalam di hatinya. Selain itu perasaan sesal dan dosa masih menggerogotinya. Kendati berulang kali ia mengaku dosa, perasaan bersalah itu kerap menderanya hingga kini. Beban tak mampu menjalankan janji perkawinan seperti yang pernah ia ucapkan, tak bisa pupus begitu saja.
“ Kamu tinggal di Sydney?”, tanya Kevin, demikian si bule memperkenalkan dirinya. “ Tidak, saya tinggal di Bandung, namun sering ke Sydney untuk menjenguk orang tua saya yang menetap disana”, jawab Lieke dengan bahasa Inggris yang fasih. Lieke memang sekolah semenjak bangku SMA hingga univeristas disana. Selanjutnya mereka terlibat dalam sebuah pembicaraan umum yang menyenangkan. Tak terasa beberapa jam kemudian, pesawat mendarat dengan mulus di negeri kangguru tersebut. Sebelumnya mereka sempat bertukar telepon dan alamat di Sydney.
Seminggu berlalu, pertemuan di pesawat itu hampir dilupakan Lieke. Namun hari jumat Lieke mendapat kabar dari Kevin, mengajak untuk bertemu minum kopi di sebuah café esok harinya. Lieke menyambut gembira, karena ia memang tak ada kegiatan khusus di Sydney selain mengunjungi orang tuanya. Selain itu Lieke juga berfikir, tak ada salahnya ia merajut sebuah pergaulan sambil rehat sejenak dari rutinitas agenda pekerjaan di hotel yang ia kelola. Pertemuan minum kopi berlanjut lain hari ke bush walking, yaitu jalan jalan ke taman di pinggiran kota. Akhir pekan berikutnya disambung dengan kayaking, mengayuh sampan bersama-sama di sebuah danau. Kalau dilukiskan pertemuan mereka persis seperti yang banyak ditayangkan di film-film. Tapi itulah kenyataan yang sebenarnya terjadi pada Lieke dan Kevin.
Seminggu sebelum kepulangan Lieke ke Bandung, persahabatan mereka kian intens. Mereka saling menemukan kecocokan dalam berkomunikasi. “ Aku bisa bercerita dan bertanya apa saja kepada Kevin “, chats Lieke pada sahabatnya, Anas di tanah air, sambil menceritakan kisah pertemuannya dengan Kevin. “ Hal yang tidak diketahuinya, di jawabnya dengan apa adanya” , sambung Lieke pada Anas. Kewajaran dan kesederhanaannya amat aku kagumi, papar Lieke kemudian. “Jatuh cinta?” goda Anas pada Lieke. “Entahlah.. aku tak tahu, sebenarnya pertanyaan yang sama aku ajukan pada diriku sendiri”, jawab Lieke tergelak.
Senin, Lieke sudah harus balik ke Bandung. Akhir pekan sebelum hari keberangkatannya, mereka lewatkan dengan melakukan aktifitas nonton bola dan makan malam bersama. Suasana makan malam di sebuah resto, di pinggir pantai kota Sydney itu amat romantis dengan kerlap kerlip lampu kota. Angin malam menusuk. Lieke membiarkan dirinya direngkuh dalam pelukan Kevin. Hangat.. dan ia menikmatinya. Lieke tak tahu pasti apa yang sedang ia rasakan. Semua seakan seperti mimpi dan sebelum mimpinya buyar, ia baru tersadar ketika sudah berada di bandara, siap untuk kembali ke Bandung.. Kevin mengantarnya dan kenyataan akhir yang harus dihadapi, mereka toh tetap harus berpisah dengan berat hati.
Ini hari ketujuh, semenjak Lieke menjejakkan kakinya kembali di tanah air. Komunikasi dengan Kevin semakin akrab via telpon dan skype. Hari ini adalah lilin ke enam yang ia nyalakan di gua Maria, yang berada di samping gereja, tempat ia dulu menerima sakramen perkawinan. Dengan khusyuk Lieke minta tuntunan Bunda Maria, apa yang harus ia lakukan dengan perasaan jatuh hatinya, sekaligus mohon belas kasih akan rasa takutnya menatap masa depan. “ Bunda Maria, apa yang harus saya lakukan, kalau satu saat aku tak kan bisa menikah lagi di hadapan PuteraMu yang amat aku kasihi ?”, ujar Lieke dalam doa yang ia bisikkan pada Bunda yang ia cintai. Lieke masih mengharapkan pencerahan dari lilin ke tujuh dan selanjutnya..( Rosiany T Chandra)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar