Rabu, 30 Mei 2012

Ungkapan Iman Melalui Busana Liturgis

Sudah lewat jam 03.00 dini hari. Salah seorang pegawainya Linda sudah tak kuat lagi dan ingin segera pulang. Bergegas ia mengeluarkan motornya. Tak disangka, ban motor kempes! Terpaksa ia kembali meneruskan jahitan kasulanya sambil menunggu datangnya sang fajar pagi.
“ Pekerjaan untuk Tuhan memang harus diselesaikan sampai tuntas “, ujar Linda kepada pegawainya itu, yang disambut derai tawa penghibur letih bersama. Lindawati Winata sehari-hari memang dibantu oleh delapan orang asisten penjahit. Malam itu Linda dan seluruh asistennya kerja lembur dan tidak tidur sampai pagi, karena siang harinya, ia harus segera menyerahkan pesanan 250 Stola, 50 kasula, dan dua lusin jubah putra altar berikut keperluan busana liturgis lainnya. Pesanan itu harus diselesaikan dalam waktu yang singkat. Dari sejak diumumkannya Mgr Johannes Pujasumarta sebagai Uskup Bandung pada saat itu, tidak banyak rentang waktu yang tersisa lagi sampai pada hari H pentahbisannya pada tanggal 16 Juli 2008.
Busana Liturgis
Sehari-hari Linda adalah seorang penjahit baju pesta pesanan para langganannya. Sejak ia menjadi umat paroki St Gabriel- Gandarusa, Bandung (1995), Linda dengan senang hati membantu dalam melengkapi segala keperluan liturgis parokinya. Bermula dari menjahit jubah misdinar dan prodiakon, kecintaannya pada busana liturgis ini seiring waktu lantas makin berkembang. Sejurus berselang, ibu tiga putri dan satu putra ini mulai menjahit stola dan kasula bagi pastor parokinya. “Awalnya saya belajar dari banyak kesalahan yang saya perbuat”, demikian paparnya sambil mengingat kembali bagaimana proses ketrampilannya itu makin terasah.
Pesanan tahbisan Uskup itu adalah order pertamanya dalam jumlah yang besar. “ Kendati tampaknya lebih mudah, ternyata menjahit stola itu jauh lebih sulit dari kasula! “, ujar istri pengusaha Solichin Tjahyo ini. Dalam finishing-touch-nya, diperlukan banyak ketrampilan kerja tangan yang halus guna merajut berbagai pola dan detail yang perlu dipermanis dan diperindah. “ Sebuah pengalaman pahit pernah terjadi, dimana ornament bordiran tidak simetris dan tidak sesuai dengan design yang diinginkan”, tutur Linda. Namun ia tetap semangat dan tetap berusaha mencari berbagai info untuk penyempurnaan proses penjahitan busana liturgis ini. Selain dari buku buku liturgi, Linda banyak mendapat bimbingan dan masukan dari Pastor C Harimanto Suryanugraha OSC, seorang imam pakar liturgi, yang bertugas di ILSKI ( Institut Liturgi Sang Kristus Indonesia), Bandung.
Motif Etnik
Dikemukakan oleh Linda bahwa, bahan yang ia gunakan sebisa mungkin dari dalam negeri. Namun tak urung untuk detail detail tertentu, tak bisa dihindari penggunaan bahan dari luar yang amat diperlukan. “Meski demikian, penggunaan bahan dari luar harus disesuaikan dengan iklim di negara kita”, imbuhnya kemudian. Selain itu busana liturgis juga harus terbuat dari bahan yang nyaman dipakai, terutama dalam mengantisipasi udara panas di Indonesia. Tambahan pula, unsur keindahan dan keanggunan menjadi tujuan yang penting baginya dalam merancang busana yang mencitrakan kekudusan ini. “ Keindahan dan keanggunan sebuah kasula atau stola bukan ditentukan oleh banyak dan mewahnya ornamen hiasan yang dipakai, melainkan pada bahan, bentuk pola serta potongannya”, jelas ibu yang lahir di Fak Fak, Papua ini. Selain itu, untuk setiap pesanan yang menginginkan hiasan yang berupa gambar atau lambang tertentu, Linda selalu bertanya pada Pastor Harimanto, apakah sesuai dengan makna dan suasana liturgi Ekaristi. Selaras dengan selera estetis Pastor Harimanto, Linda banyak berkreasi dengan menggunakan hiasan etnik dari berbagai daerah di Indonesia. “ Indonesia amat kaya dengan berbagai corak dan motif yang khas dari masing –masing daerah, kekayaan ini yang kini sedang kita kembangkan bersama” ujarnya dengan semangat.
Kiwari, Linda bersama dengan Sandra S Hariadi, Lina Dadi dan Pastor Harimanto, tergabung dalam satu tim kreatif busana liturgis ‘SangKris’, label yang berada dibawah ILSKI. Seiring waktu, pesanan kasula dan stola tidak hanya datang dari paroki di keuskupan Bandung saja, melainkan juga dari Keuskupan Jakarta, Bali, Yogyakarta hingga Asmat. Demikian pula dengan seragam tahbisan imam dan putera altar. Dari ratusan stola dan kasula yang sudah ia hasilkan, ia menjaga betul privasi karya yang dihasilkannya. Ia tidak akan dengan gegabah memberikan copy rancangannya tanpa seijin dari si empunya pesanan sebelumnya.
Linda tidak hanya lahir di Fak Fak, namun juga bersekolah dari TK hingga SMP di sekolah katolik disana. Pada masa sekolah itulah ia dibaptis menjadi katolik. Kemudian setelah lulus dari sebuah SMA negeri, ia mengambil kursus kecantikan dan ketrampilan menjahit di Singapura selama tiga tahun. Disana ia bertemu jodohnya, seorang pria asal dari Bandung. Sebelum menerima pesanan gaun pesta, Linda pernah membangun usaha konveksi. Namun sejak kerusuhan tahun 1998, keadaan pasar menjadi tidak menentu. Sejak itu ia mengalihkan usahanya ke made to order.
Karya Seni Bagi Tuhan
Kini, ia menemukan sebuah kepuasan baru dalam menjahit busana liturgis. "Kelelahan dalam menjahit seakan terlupakan, ketika karya seni ini pada akhirnya dapat saya nikmati pula saat menatap para imam mengenakannya”, ucapnya sambil tersenyum lega. “ Terutama saya amat bangga dan gembira, ketika menyadari bahwa saya ikut ambil bagian dalam pengerjaan sebuah stola, yang melambangkan pemakainya sedang melaksanakan sebuah tugas luhur dan resmi gereja” imbuhnya. Ditengah kesibukannya, Linda masih sempat berlatih koor dan melayani di komisi penataan kembang altar, Dorothea di keuskupan Bandung. Diatas itu semua, ia menandaskan bahwa ungkapan imannya terutama bisa ia wujudkan, ketika ia berhasil menghadirkan karya yang bernilai seni bagi gereja sambil tetap melestarikan motif etnik yang ada di Indonesia. ( Rosiany T Chandra)

1 komentar: