Rabu, 23 Mei 2012

Perlu Jatuh Cinta

Pertama kali melihat Episiotomi, calon bidan ini langsung pingsan di tempat. Kemudian hari, justru ia malah sering melakukan tindakan ini untuk melancarkan proses kelahiran bayi.
Sudah sejak SD, Catharina Maria Retno Sunartyasih, S.Kep MH ingin menjadi seorang biarawati. Baginya sosok biarawati adalah figur yang anggun dan suci kerna memiliki ketenangan batin yang mantap. Keinginan ini disampaikanya kepada orang tuanya menjelang kelulusannya dari SMA Stella Duce, Yogyakarta (1969). Sebagai putri sulung dari delapan bersaudara, pada waktu itu ibunya tak merestui rencana Retno itu, demikian ia akrab disapa. Penolakan serupa pun terjadi saat ia diterima di fakultas Ekonomi dan Hukum Universitas Gajahmada, Yogyakarta. Walau kecewa, Retno tetap manut pada keinginan ibunya.
Ibunya, yang lulusan HIS Mendut pernah jatuh sakit dan dirawat selama tiga bulan di rumah sakit. Dalam doanya, ia berharap salah satu dari putrinya bisa menjadi seorang perawat atau bidan yang bisa membantu orang sakit. Kepala sekolah SMA Retno yang diam-diam sudah dihubungi ibunya, segera menawarkannya untuk mendaftar ke Sekolah Pendidikan Perawat Boromeus, di Bandung. Menjelang hari penutupan pendaftaran, dengan berat hati ia mendaftar dan akhirnya diterima sebagai siswa calon perawat.
Conditioning Learning
“ Awal masa pendidikan, saya berontak dan ingin kembali ke Yogya, sekaligus merasakan bahwa ini bukan bidang saya!”, seru Retno. Satu hari, dalam kegalauan hati, seseorang mengatakan kepadanya bahwa untuk tetap bertahan, ia perlu jatuh cinta kepada apa yang ia lakukan. “ Nasehat itu amat melekat dan meneguhkan hati saya, sehingga sejak saat itu saya mengkondisikan diri untuk mengambil segala konsekuensi dan memutuskan menjalani resiko pilihan saya dengan sepenuh hati”, ujarnya. Pola conditioning learning ini pula yang berpuluh tahun kemudian ia terapkan kepada ribuan siswanya. Retno, yang semasa SMA sudah aktif di koor dan Legio Mariae gereja Bintaran, akhirnya lulus sebagai perawat tiga tahun kemudian ( 1973).“ Ketika luka menganga seorang pasien yang saya rawat lalu menutup kembali seperti semula, disitulah saya merasakan pertama kali seberkas kebahagiaan dan kepuasan batin yang sekonyong-konyong mengobarkan semangat saya”, kata ibu dua putri ini. Pepatah tak kenal maka tak sayang itu berlaku pula pada Retno, yang akhirnya jatuh cinta pada profesinya.
Bukan Panggilan Hidup
Selaras dengan kegigihannya, keinginan untuk menuntut ilmu tetap membara. Sesuai dengan doa ibunya pula, Retno melanjutkan ke sekolah bidan di Boromeus. Sikapnya tetap pantang mundur, kendati pingsan saat pertama kali melihat episiotomi, tindakan pengguntingan yang dilakukan untuk melebarkan jalan kelahiran. Akhirnya satu setengah tahun kemudian ia lulus sebagai seorang bidan (1975). Seiring langkahnya sebagai bidan, keinginan masa kecilnya untuk menjadi seorang biarawati yang ia simpan rapat-rapat, muncul kembali. Tekadnya yang bulat membawa ia ke biara Carolus Boromeus. Selama dua minggu ia mengikuti kegiatan calon biarawati. Namun segala rutinitas yang ia alami di dalam biara, membuatnya urung untuk melangkah selanjutnya. “ Ini bukan panggilan hidup saya”, kata Retno sambil tersenyum.
Tak lama kemudian Retno bertemu dengan tambatan hatinya, Yoseph Albert Tompunu M. Mar. Eng, yang kini menjadi suaminya. Kecintaannya kepada profesi bidan yang kemudian ia nikmati dengan sepenuh hati, rupanya tak menghalanginya untuk tetap bekerja sambil mengurus rumah tangga dan mengasuh anak. “ Dalam sistem kerja bergilir (shift), saya berterima kasih pada suami yang tetap mendukung dan membantu dalam mengasuh anak-anak ”, ujar ibu dari Judith Tompunu (30) dan Niken Tompunu (25) ini. Kini puterinya yang sulung, lulusan S2 Akuntansi, UI sudah menikah, puteri bungsunya masih menimba S2 Hubungan Internasional di Belanda. Suaminya yang seorang Insinyur Kelautan sering mendapat tugas menangani proyek di luar negeri. “Kendati semua mempunyai kesibukan masing-masing, namun begitu ada kesempatan berkumpul, kami senantiasa pergi ke gereja bersama”, tutur umat paroki St Ignatius, Cimahi ini.
Krisis Iman
Satu waktu, saat puterinya masih balita, pernah ia mengalami krisis iman. Saat itu, ia merasa semua berjalan tanpa ada kemajuan apapun dan berada dalam posisi yang stagnan. Ia mulai mempertanyakan keberadaan Tuhan. Di tengah kegusaran hatinya, ia menemukan secarik kertas dari harian Kompas yang isinya kurang lebih berbunyi: Seorang pendaki dan peneliti Amerika menemukan bangkai perahu nabi Nuh di gunung Ararat, Turki. Setelah diselidiki, ternyata semua komponen yang ada di perahu tersebut, sama persis seperti yang teretera di kitab suci. Sejak membaca kutipan tulisan tersebut, Retno merasa seperti disapa oleh Tuhan atas ketidakyakinan akan kehadiran Tuhan dalam hidupnya. Sejak mengalami ini, imannya diteguhkan serta penghayatan akan kehidupan rohaninya menjadi lebih bermakna.
Ketua STIKES
Profesi bidan ia tekuni di RS St Boromeus hingga tahun 1994. Kemudian ia dipindahkan ke bagian pendidikan di Akademi Keperawatan Boromeus (kini namanya STIKES; Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan). Saat mengajar, ia merasa pendidikannya setara dengan siswa yang ia ajar dan merasa perlu untuk menimba ilmu dalam jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Tak ada kata terlambat baginya, lantas ia memutuskan untuk mengejar S1 pada bidang studi keperawatan di Univeristas Pajajaran, Bandung dan lulus pada usia 49. Sambil tetap mengajar, Retno seperti tak kenal lelah, program studi Master Hukum dalam bidang kesehatan diraihnya pula tak lama kemudian. Tesisnya tentang perlindungan hukum terhadap tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit sudah dipublikasikan dalam sebuah jurnal ilmiah.
Pada tahun 2008, Retno diangkat menjadi ketua STIKES hingga kini. Ia membawahi emparatus duapuluh siswa keperawatan, duapuluh emat dosen, lima belas staf administrasi, sambil tetap mengajar enam jam dalam seminggu. Kini STIKES mempunyai tiga program studi, yakni S1 Keperawatan, D3 Keperawatan dan D3 Rekam Medis yang sudah terakreditasi oleh Badan Akreditasi Perguruan Tinggi (Ban PT) dan Asosiasi Institusi Pendidikan Nursing Indonesia (AIPNI). “ Permintaan tenaga perawat lulusan STIKES sangat tinggi dari berbagai rumah sakit di Indonesia maupun luar negeri”, pesan Retno dengan antusias. “ Oleh sebab itu profesi perawat sangat menjanjikan dan tingkat penganggurannya sangat rendah”, imbuhnya sambil setengah berpromosi bagi lulusan SMA yang ingin segera bekerja.
Dalam meningkatkan mutunya, STIKES merajut kerjasama dengan Nanyang Poli Singapore dalam TOT ( Training Of Trainer). Gedung STIKES yang kini sudah tidak memadai dalam menampung seluruh kegiatannya, akan segera pindah dari Jl. Ir H Juanda, Bandung ke lokasi baru di Kota Baru Parayangan. Dalam kesibukannya sehari hari, ia masih sempat aktif sebagai anggota Lions Club Bandung Lestari untuk memberikan karya pelayanan sosialnya bagi sesama. Diatas semua itu, motto hidupnya ‘God is my pilot’ tetap ia pegang teguh. (Rosiany T Chandra)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar